Latest Post


 

SANCAnews – Ekonom senior, Rizal Ramli (RR), menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) layak untuk dipolisikan karena dianggap banyak menebar berita bohong.

 

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, mengatakan, pernyataan Rizal Ramli tersebut cukup dengan hanya dimaklumi.

 

"Harap maklum saja lah," kata Jazilul saat dihubungi Suara.com lewat pesan singkat, Selasa (14/9/2021).

 

Pria yang akrab disapa Gus Jazil tersebut kemudian menilai bahwa kebohongan bukan merupakan delik pidana. Menurutnya, hal tersebut berbeda dengan penipuan.

 

"Sejak kapan kebohongan menjadi delik pidana. Kalau penipuan, penggelapan, pencurian itu baru kriminal," katanya.

 

Lebih lanjut, Gus Jazil menilai jika kebohongan banyak dilakukan juga oleh setiap individu. Menurutnya, hal itu wajar dilakukan.

 

"Bukankah setiap manusia pasti pernah berbohong?," tandasnya.

 

Jokowi Layak Dipolisikan

 

Semua bermula dari Hersubeno menjadi sorotan warganet sebab menyebut kalau Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sedang sakit kritis di rumah sakit.

 

Hal ini membuat Gardu Banteng Marhaean (GBM) meminta polisi memenjarakan Hersubeno.

 

Ekonom senior, Rizal Ramli, merespons hal itu dan mengatakan jika seandainya Hersubeno bisa dipenjara karena pernyataan tak benar, maka Presiden Jokowi layak mendapat perlakuan serupa.

 

Sebab mantan Gubernur DKI Jakarta itu kerap membohongi rakyat melalui janji dan perkataannya.

 

"Jurnalis senior Hersubeno Arief dipolisikan GBM, dianggap sebar berita hoaks tentang kondisi Megawati," tulis Ekonom senior, Rizal Ramli, melansir hops.id--jaringan Suara.com, Minggu (12/09/2021).

 

"Jika itu terjadi Presiden Jokowi jauh lebih layak dipolisikan. Jokowi banyak menebar berita bohong, seperti mobil Esemka, impor dan stop uang," lanjutnya. []



 

SANCAnews – Aparat kepolisian yang berada di lapangan diminta untuk memiliki kebijaksanaan dan menghindari tindakan represif dalam menjalankan tugas.

 

Ketua Komisi III DPR, Herman Herry bahkan mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membuat instruksi demi memastikan hal tersebut benar-benar terwujud.

 

Dia mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi merupakan amanah konstitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap HAM. Meski demikian, patut digarisbawahi juga bahwa kebebasan berekspresi bukan serta merta hak yang tidak dapat dibatasi.

 

Penegasan tersebut disampaikan Herman Herry menyikapi penangkapan warga dan mahasiswa oleh aparat kepolisian saat Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Blitar dan Solo beberapa waktu lalu.

 

"Seperti contoh, pasal 19 ayat 2 UU 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, menyatakan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi itu dibatasi dengan 2 batasan, yaitu: untuk alasan keamanan nasional dan untuk menghormati harkat dan martabat orang lain," katanya kepada wartawan, Selasa siang (14/9).

 

Herman menuturkan, aparat kepolisian sebagai penegak hukum dan pelaksana UU sedianya memiliki wawasan kebebasan berekspresi dan keamanan nasional sebagaimana amanah konstitusi.

 

“Saya sebagai Ketua Komisi III meminta Kapolri agar menginstruksikan kepada seluruh jajarannya di lapangan agar memiliki kebijaksanaan dalam mencari keseimbangan antara jaminan atas kebebasan berekspresi dan jaminan atas keamanan nasional serta penghormatan atas harkat dan martabat orang lain," tuturnya.

 

Lebih lanjut, politikus PDI Perjuangan itu berharap, aparat kepolisian ke depan menghindari tindakan represif dan berlebihan, namun harus lebih mengedepankan upaya persuasif dan humanis dalam menjalankan tugasnya.

 

"Dan juga saya harap kepada Kapolri, untuk meminimalisir tindakan represif terhadap aksi-aksi yang serupa dengan mengedepankan upaya-upaya persuasif dan pencegahan," demikian Herman. (rmol)



 

SANCAnews – Penangkapan 10 mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) saat kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Kota Solo, Jawa Tengah, Senin (13/9), membuat yakin publik akan kemerosotan demokrasi Indonesia di kepemiminan Presiden Joko Widodo.

 

Begitu penilaian Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gde Siriana Yusuf, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (14/9).

 

"Saya kira situasi ini (penangkapan mahasiswa UNS) karena Presiden Jokowi tidak paham makna demokrasi," ujar Gde Siriana.

 

Kejadian penangkapan yang dilakukan aparat kepada 10 mahasiswa UNS saat menyampaikan aspirasinya menggunakan poster, dinilai Gde Siriana, seharusnya tidak terjadi.

 

Karena sepatutnya Kepala Negara mendengarkan dan bukan mengerahkan aparat di Jalanuntuk membuat kondusif masyarakat. Di samping itu, kejadian ini juga terulang setelah sebelumnya dialami pria peternak unggas saat Jokowi kunjungan kerja ke Blitar

 

"Ketidakpahaman demokrasi ini juga dilihat dari giant koalisi di kabinet, sehingga check and balance di DPR jadi tidak ada atau tidak efektif," tutur Gde Siriana.

 

Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) ini menambahkan, kepemimpinan politik yang tidak memahami demokrasi yang berjalan di nearanya sama saja dengan kegagalan pemerintahan.

 

"Jadi enggak pernah nyambung dengan apa yang dituntut rakyat dan mahasiswa," demikin Gde Siriana Yusuf. []



 

SANCAnews – Peningkatan harta kekayaan para pejabat negara yang terungkap dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di masa pandemi Covid-19 perlu dijelaskan oleh para pihak yang bersangkutan.

 

Penjelasan tersebut dinilai penting karena telah menuai polemik di kalangan masyarakat yang masih kesusahan akibat pandemi.

 

Menurut Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, penjelasan tersebut juga sekaligus untuk meredam emosi rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil.

 

"Harusnya yang bersangkutan mengklarifikasi, atau KPK turun tangan ya,” ucap Anwar kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (14/9).

 

Sosok yang concern di bidang ekonomi ini menambahkan, dengan munculnya data LHKPN penyelenggara negara bernilai fantastis, akan merusak citra pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo lantaran banyak masyarakat berasumsi harta kekayaan tersebut didapat dari tindakan tidak terpuji.

 

"Menurut saya ya adalah sangat buruk ya image dan citra pemerintahan Jokowi dengan adanya data dan fakta seperti itu. Padahal belum tentu naiknya pendapatan mereka terjadi tindakan tidak terpuji," jelasnya.

 

"Namanya ditabayunkan, bisa mendapatkan data yang sebenarnya, sehingga data itu bisa bicara. Kalau salah ya sebut salah, benar ya benar,” katanya.

 

Di sisi lain, pemerintah juga perlu segera membentuk tim untuk melakukan kajian dan memverifikasi harta kekayaan para pejabat agar tidak menjadi bola liar di tengah masyarakat.

 

"Bagi saya langkah yang paling arif membentuk tim kajian, sehingga kalau memang hartanya naik secara wajar ya masak kita sebagai rakyat harus marah?" lanjut Anwar Abbas.

 

"Ini isu agak berbahaya karena ini merusak citra pemerintah. Kalau seandaikan mereka dapat dari korupsi emang pantas itu ya (merusak citra pemerintah)," tandasnya. []



 

SANCAnews – Laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) yang disetorkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup mencengangkan masyarakat.

 

Sebab, ada sejumlah menteri yang memiliki harta kekayaan fantastis selama menjadi menteri.

 

Menyikapi hal tersebut Wakil Ketua MUI Anwar Abbas menyampaikan, meningkatnya harta kekayaan pejabat negara bisa dari banyak faktor salah satunya bisnis sampingan mereka yang bisa menjadi pemicu meningkatkan harta kekayaan mereka.

 

"Jadi itu harus dipelajari, jadi jangan cepat curiga. Kalau bagi saya, ya memang mengejutkan. Tetapi nilai kekayaan orang itu banyak sebabnya. Kalau seandainya dia pegang saham, misalkan saham-saham tertentu naik, kalau naik apa sebabnya kalau turun kan tidak ada yang turun,” ucap Anwar kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (14/9).

 

Tokoh Muhammadiyah ini meminta agar pemerintah membentuk suatu tim yang netral untuk melakukan pemeriksaan secara detail dari mana sumber harta kekayaan pemerintah.

 

Sampai saat ini, masyarakat menilai seperti tidak masuk akal di tengah situasi sulit akibat pandemi ini, harta kekayaan pejabat malah meningkat tajam.

 

"Jadi kalau bagi saya supaya tidak menjadi fitnah ya, harusnya ada satu tim mempelajari, mengklarifikasi dan memverifikasi supaya ini tidak menjadi isu liar. Kalau ada yang naiknya seribu persen, ya mungkin ada sebab-sebabnya,” ujarnya.

 

Menurutnya, langkah paling bijak agar tidak berpolemik dan merusak citra pemerintah di mata masyarakat, harus membentuk tim khusus.

 

Tujuannya, untuk memverifikasi harta kekayaan para pejabat agar tidak ada isu tersebut tidak berkembang liar.

 

"Supaya tidak menjadi bola liar dan supaya tidak menjadi isu yang negatif dan supaya tidak ada fitnah menurut saya harus ada tim yang menjelaskan kenapa? Kan juga bisa karena faktor lain penyalahgunaan jabatan kan juga bisa ya,” katanya.

 

"Kenapa duitnya bertambah karena ada duit pemerintah yang dia korup. Tapi pertanyaannya betulkah? Itu kan perlu diselidiki tuh,” imbuhnya menutup. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.