Latest Post


 

SANCAnews – Korban meninggal akibat kebakaran Lapas Kelas I Tangerang menjadi 45 orang. Tragedi kebakaran yang terjadi Rabu dini hari (8/9) itu mendapat perhatian khusus dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

 

Kepada Kantor Berita Politik RMOL, Wakil Sekjen Bidang Hukum MUI Ikhsan Abdullah mengungkapkan ucapan belasungkawa atas tragedi yang menelan korban puluhan orang. Ia berharap proses identifikasi cepat dan jenazahnya dikuburkan dengan baik.

 

Ikhsan mengatakan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas tragedi ini. Sebab, sebagai pembantu Presiden Joko Widodo, kematian 45 orang warga binaan Lapas mengindikasikan buruknya tata kelola Lapas.

 

"Ini menunjukkan betapa buruknya tatakelola Rumah Lembaga Pemasyarakatan yang dilakukan oleh Kemenkumham di bawah Dirjen Lapas, sehingga gagal melindungi nyawa para Napi dan terpanggang hidup-hidup," demikian catatan Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) ini.

 

Atas kegagalan melindungi warga keselamatan warga binaan Lapas, Ikhsan mengatakan, seharusnya Yasonna bersedia menyerahkan jabatannya. Selain itu, Yasonna bisa meminta Jokowi menunjuk sosok yang tepat menjalankan tugas perbaikan tata kelola Lapas.

 

"Konsekuensi dari tragedi ini, maka Menkumham harus menyerahkan jabatanya sebagai pembantu Presiden dan meminta Presiden dapat menunjuk orang yang memiliki kemampuan," demikian kata Ikhsan.

 

Doktor ilmu Hukum Universitas Jember ini juga meminta audit forensik dilakukan atas peristiwa ini. Menurutnya, langkah itu penting untuk mencegah terjadinya insiden kebakaran Lapas serupa.

 

"Pemerintah juga harus memberikan perhatian ada keluarga yang ditinggalkan sebagai bentuk tanggung jawab," pungkasnya. []



 

SANCAnews – Aksi seorang peternak ayam di Blitar yang ditangkap polisi saat membentangkan poster, ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) melintas di Jalan Mohammad Hatta, akan menuju Makam Bung Karno direspons Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI La Nyalla Mahmud Mattalitti.

 

Dia menilai penangkapan yang dilakukan pada Selasa (7/9/2021) lalu tersebut terlalu berlebihan. Menurutnya, pria yang belakangan diketahui anggota asosiasi peternak ayam, hanya menyampaikan aspirasi.

 

Padahal dia hanya membentangkan poster bertuliskan Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar.

 

“Aparat keamanan diharapkan tidak perlu bertindak terlalu represif terhadap ulah seorang peternak ayam petelur yang melakukan aksi membentangkan spanduk saat Presiden Jokowi melintas pada saat kunjungan ke Kota Blitar,” ucap LaNyalla seperti dikutip Beritajatim.com-jaringan Suara.com pada Minggu (12/9/2021).

 

Masih menurutnya, masyarakat memerlukan jalan penyaluran aspirasi atas kesulitan yang dihadapi.

 

Jika seseorang ditangkap karena menyampaikan aspirasi, lanjutnya, hal tersebut telah menciderai demokrasi.

 

“Tidak adil rasanya seorang warga yang menyuarakan aspirasinya lalu ditangkap karena dinilai tidak etis,” tutur LaNyalla.

 

Terlebih, aspirasi yang disampaikan pria tersebut merupakan persoalan mendesak yang dihadapi para peternak telur dan selama ini berjasa menggerakkan perekonomian nasional melalui penyediaan pangan.

 

“Keluhan yang disampaikan peternak itu sekitar masalah melambungnya harga jagung, sehingga menyebabkan kerugian karena penjualan telur ayam cenderung terus menurun,” ujarnya.

 

Menurutnya, aksi penyampaian aspirasi masyarakat yang dilarang dan ditangkap, tapi tidak diberikan solusi akan menjadi bom waktu.

 

“Tindakan si peternak tadi hanya ingin Presiden merespon bahwa harga jagung sangat tinggi dan tidak terbeli. Dia hanya menyampaikan aspirasi, tidak lebih,” ujarnya.

 

Terlepas dari peristiwa penangkapan tersebut, dia juga menilai, aspirasi yang disampaikan peternak ayam petelur itu amat mendesak untuk ditindaklanjuti. Lantaran itu, dia meminta kepada pemerintah segera merespons persoalan tersebut dengan jalan melakukan langkah-langkah strategis dan stabilisasi harga jagung.

 

“Pemerintah harus hadir untuk masyarakatnya. Jangan sampai terjadi ketimpangan harga. Ketika satu komoditas melambung, lalu yang lainnya merugi. Tugas pemerintah lah yang harus menstabilkan harga komoditi agar sistem ekonominya berjalan secara normal,” katanya. []



 

SANCAnews – Indonesia Corruption Watch (ICW) melemparkan kritik terkait penindakan korupsi yang dilakukan 3 aparat penegak hukum di negeri ini yaitu KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

 

Hasilnya ketiga aparat penegak hukum itu dinilai ICW masih rendah kinerjanya dalam memberantas korupsi.

 

Penilaian itu itu dilakukan ICW untuk kurun waktu semester pertama 2021 dari pemantauan sejumlah media sejak Januari 2021 hingga 30 Juni 2021. Berikut data yang disampaikan ICW:

 

1. Kejaksaan

 

Kasus yang tertangani: 151 kasus

Tersangka yang ditangkap: 363 tersangka

Potensi kerugian negara: Rp 26,1 triliun

 

2. Kepolisian

 

Kasus yang tertangani: 45 kasus

Tersangka yang ditangkap: 82 tersangka

Potensi kerugian negara: Rp 388 miliar

 

3. KPK

 

Kasus yang tertangani: 13 kasus

Tersangka yang ditangkap: 37 tersangka

Potensi kerugian negara: Rp 331 miliar

 

Sebagai perbandingan, ICW juga menampilkan bagan penanganan korupsi dari 3 aparat penegak hukum itu untuk semester pertama dalam 5 tahun terakhir. Berikut bagannya:

 

ICW lantas membuat sendiri kategori pemberantasan korupsi dengan cara membagi penindakan kasus yang terpantau dengan target penindakan kasus lalu dipersentasekan.

 

Untuk hasilnya, ICW membagi kategori menjadi 5 yaitu A, B, C, D, dan E. Untuk peringkat A atau sangat baik dengan rentang 81-100 persen, B atau baik untuk 61-80 persen, C atau cukup untuk 41-80 persen, D atau buruk untuk 21-40 persen, dan E atau sangat buruk untuk 0-20 persen.

 

Lalu bagaimana hasilnya?

 

ICW mengatakan target penindakan kasus korupsi untuk 3 aparat penegak hukum itu adalah 1.109 kasus untuk semester I 2021 berdasarkan DIPA tahun anggaran 2021. Namun realisasinya, menurut ICW, hanya 209 kasus yang tertangani.

 

"Dengan jumlah kasus yang ditangani oleh aparat penegak hukum hanya sebesar 209 kasus yang mana itu 19 persen maka ada di nilai E atau sangat buruk," ujar Peneliti ICW Lalola Easter melalui siaran langsung di kanal YouTube Sahabat ICW, Minggu (12/9/2021).

 

Bagaimana capaian per instansinya?

 

1. Kejaksaan 

 

ICW mengklaim sepanjang semester pertama tahun 2021, Kejaksaan mampu menyelesaikan 151 kasus dari yang ditargetkan sebanyak 285 kasus. Dengan rata-rata kasus yang ditangani oleh kejaksaan sekitar 25 kasus per bulan.

 

Menurut ICW, atas kinerja tersebut Kejaksaan memperoleh persentase sebesar 53 persen dalam menangani kasus korupsi. Oleh karena itu, berdasarkan penilaian yang dimiliki ICW maka Kejaksaan masuk dalam kategori penilaian 'C' atau cukup.

 

2. Kepolisian

 

ICW mengklaim sepanjang semester pertama tahun 2021, Kepolisian hanya mampu menyelesaikan 45 kasus dari yang ditargetkan sebanyak 763 kasus. Dengan rata-rata kasus yang ditangani oleh kejaksaan sekitar 8 kasus per bulan.

 

Menurut ICW, atas kinerja tersebut Kejaksaan memperoleh presentase sebesar 5,9 persen dalam menangani kasus korupsi. Oleh karena itu, berdasarkan penilaian yang dimiliki ICW maka Kepolisian masuk dalam kategori penilaian 'E' atau sangat buruk.

 

3. KPK

 

ICW mengklaim sepanjang semester pertama tahun 2021, KPK hanya mampu menyelesaikan 13 kasus dari yang ditargetkan sebanyak 60 kasus. Dengan rata-rata kasus yang ditangani oleh kejaksaan sekitar 3 kasus per bulan.

 

Menurut ICW, atas kinerja tersebut KPK memperoleh presentase sebesar 22 persen dalam menangani kasus korupsi. Oleh karena itu, berdasarkan penilaian yang dimiliki ICW maka KPK masuk dalam kategori penilaian 'D' atau buruk.

 

Tanggapan ICW Atas Pencapaian Ketiga Instansi Tersebut

 

Peneliti ICW Lalola Easter mengungkapan jika pihak kepolisian memiliki penurunan penanganan kasus dibanding semester pertama tahun sebelumnya. Padahal kepolisian memiliki anggaran terbesar dalam menangani kasus korupsi yaitu Rp 290,6 miliar.

 

"Tapi kinerjanya kami pandang jauh dari target yang sebenarnya ditetapkan oleh kepolisian sendiri, yaitu E atau sangat buruk," ujar Lalola.

 

Ini berarti kepolisian hanya menangani 8 kasus korupsi per bulannya. Berbanding terbalik dengan jumlah kantor kepolisian yang ada di Indonesia yang jumlahnya mencapai 517 kantor kepolisian dan kucuran dana yang besar untuk menangani kasus korupsi.

 

"Bahkan sebelum bicara kualitas, kuantitas saja tidak tercapai. Ini tentu jadi catatan serius bahwa penganggaran itu harus dibarengi dengan performa kerja dari masing-masing lembaga penegak hukum dan kepolisian tidak menunjukan hal tersebut," kata Lalola.

 

Dalam penanganan kasus korupsi, pihak kepolisian juga tidak pernah menggunakan pasal pencucian uang berbanding terbalik dengan pihak kejaksaan dan KPK. Laloli menyebut hal tersebut berbanding terbalik dengan janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terkait pemaksimalan pemulihan aset dalam kasus korupsi.

 

"Jadi hal ini tentu patut dipertanyakan tentu pada kepolisian juga kepada kapolri apakah memang serius dalam melakukan pemberantasan korupsi atau penindakan kasus korupsi? Karena hal tersebut tidak tercermin dari performa lembaga penegak hukum kepolisian sepanjang semester 1 tahun 2021," kata Laloli.

 

"Jadi dari sumber daya yang melimpah dibanding kejaksaan dan KPK, kinerja kepolisian jauh-jauh lebih buruk. Kemudian, tidak juga ditemukan adanya laporan penggunaan anggaran," sambungnya.

 

Kemudian, pada tahun ini KPK juga memperoleh nilai D dari ICW dalam tren penindakan kasus korupsi. Bahkan KPK hanya memperoleh presentasi kinerja sekitar 22% dari target yang mereka tentukan.

 

"Itu membawa KPK masuk ke dalam penilaian kategori D atau buruk. Dan ini menunjukan bahwa KPK hanya mengerjakan rata-rata tiga kasus tiap bulannya," ujar Laloli.

 

Sebagian besar penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK merupakan hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan pengembangan kasus. Laloli mengatakan jika kinerja KPK dalam penindakan kasus korupsi terpengaruh oleh adanya beberapa penyidik KPK yang dipecat akibat TWK.

 

"Karena berdasarkan catatan ICW dari 13 kasus yang ditangani KPK di semester 1 tahun 2021, itu 5 kasus sebenarnya dikerjakan oleh pegawai-pegawai KPK yang diberhentikan secara paksa oleh TWK. Hal tersebut tentu menghambat proses penegakan hukum dan pengembangan perkara," jelasnya.

 

Selanjutnya, kinerja kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi turut menjadi perhatian oleh ICW. Meskipun masih ada fluktuasi dalam jumlah kasus dan tersangka yang ditangani namun kejaksaan berhasil menyelematkan kerugian negara jauh lebih besar dibanding tahun lalu.

 

Namun, meskipun meraih peningkatan bukan berarti kejaksaan memperoleh nilai yang cukup baik dari ICW. Kejaksaan sendiri hanya berhasil meraih predikat C dari ICW.

 

"Di semester 1 tahun 2021 kejaksaan menangani 151 kasus dengan demikian ICW menilai bahwa kinerja kejaksaan dalam penindakan masuk ke dalam nilai C," kata Laloli.

 

Kemudian, ICW juga berbicara terkait profesionalisme dalam penindakan kasus yang dimiliki oleh pihak kejaksaan. ICW menilai jika sejumlah kejaksaan tidak menangani kasis korupsi.

 

"Artinya Kejagung perlu lakukan evaluasi terhadap kinerja setiap kejaksaan yang terbukti tidak perform. Di sisi lain ini juga menjadi catatan penting, dalam kinerjanya kejaksaan masih minim dalam lakukan pengembangan terhadap kasus yang ditanganinya salah satunya adalah kasus jaksa Pinangki," ungkap Laloli.

 

"Meskipun kami juga memahami ada potensi konflik kepentingan yang besar di situ tapi tentu saja kami menunggu kejaksaan secara profesional menyelesaikan kasus jaksa Pinangki yang diduga kuat belum menjerat aktor penting dalam kasus ini," sambungnya.

 

detikcom sudah berupaya menghubungi ketiga instansi (Kejagung, Polri, KPK) mengenai rapor soal penindakan korupsi yang dikeluarkan ICW ini. Namun hingga berita ini tayang, ketiga instansi tersebut belum memberikan respons. (dtk)




 

SANCAnews – Bekas politikus Partai Demokrat Roy Suryo menantang Presiden Joko Widodo membuat webinar nasional secara gratis menyusul harta kekayaan para pejabat yang justru meroket di masa pandemi Covid-19.

 

Roy Suryo juga mengusulkan judul webinar, "Judul Webinar "Kiat Sukses Menambah Harta Miliar Di Tengah Pandemi, Dengan Usaha Keras Dan Jujur". Pasti akan ambyar. Dibuka zoom untuk ribuan peserta, gratis diselenggarakan pemerintah," kata Roy kepada JPNN.com, Minggu (12/9).

 

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) itu menyatakan, bila webinar itu diselenggarakan, Jokowi bisa menjadi pembicara utama, "Ini serius. Beliau (Jokowi, red) bisa sebagai keynote speaker," ujar Roy.

 

Pria berdarah Yogyakarta itu menegaskan, menteri-menteri tajir pun bisa menjadi pembicara di webinar tersebut

 

"Kemudian menteri-menteri lain yang berpenghasilan fantastis berpuluh-puluh miliar lainnya bisa menjadi pembicara," tutur Roy Suryo.

 

KPK baru-baru ini merilis harta kekayaan pejabat selama setahun ini. Komisi antirasuah itu mengungkapkan bahwa 70,3 persen pejabat mengalami kenaikan harta kekayaan selama setahun terakhir atau di masa pandemi Covid-19.

 

Adapun, harta kekayaan pejabat yang mengalami kenaikan itu di antaranya Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dilaporkan naik Rp 8,8 miliar setahun terakhir.

 

Kekayaan Jokowi itu kini tercatat Rp 53,2 miliar. Para menteri kabinet juga memiliki harta yang meningkat dibanding tahun sebelumnya.

 

Mereka ialah Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang hartanya naik Rp 67,7 miliar menjadi Rp 745,1 miliar.

 

Lalu, kekayaan Prabowo yang menjabat menteri Pertahanan RI meningkat Rp 23 miliar selama satu tahun terakhir.

 

Merujuk laporan tertanggal 27 Maret 2021, ketua umum Partai Gerindra itu tercatat mempunyai harta senilai Rp 2 triliunan lebih.

 

Kemudian, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas melonjak tajam dari Rp 10,2 miliar menjadi Rp 11,1 miliar. []



 

SANCAnews – Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengaku heran dengan peningkatan harta kekayaan Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri di masa pandemi Covid-19.

 

"Ketika rakyat hanya dapat bansos, ternyata kekayaan mereka semakin menumpuk dan meningkat," kata Uchok kepada JPNN.com, Minggu (12/9).

 

Uchok menilai pemerintahan Presiden Jokowi perlu menjelaskan sumber penghasilan lain yang membuat sejumlah pejabat mengalami peningkatan harta kekayaan.

 

Dia juga mengatakan peningkatan harta kekayaan yang dilaporkan pejabat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) ini merupakan bentuk defisit moral di kalangan pejabat.

 

Selain itu, lanjut Uchok, hal ini juga menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi yang semakin jauh, "Seharusnya rakyat yang makin kaya, bukan pejabatnya," tambah Uchok.

 

Dia menjelaskan defisit moral yang dimaksud ialah perilaku pejabat yang tidak tahu malu.

 

"Defisit moral itu, mereka sudah tidak punya malu. Mencari harta dan kekayaan saat pandemi dan rakyat susah buat cari makan sehari saja," tutur Uchok.

 

Menurutnya, LHKPN yang dipublikasikan KPK belum bisa dipertanggungjawabkan oleh para pejabat yang bersangkutan.

 

Hasil paparan KPK yang menunjukkan peningkatan harta kekayaan presiden dan sejumlah menteri ini membuat Uchok merasa kaget.

 

"Kalau zaman normal atau APBN tidak defesit dan utang, rakyat masa bodoh. Ini zaman susah, lho, kok bisa mereka dapat kekayaan di atas penderitaan rakyat?" pungkas Uchok. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.