Latest Post


 

SANCAnews – Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Zaki Mubarak membeberkan bahwa Ketum Gerindra Prabowo Subianto kehilangan pendukung penting pada Pilpres 2024.

 

Zaki sapaan akrabnya mengatakan, pendukung penting itu berasal dari kelompok-kelompok muslim.

 

Hal itu kata Zaki tak lepas dari keputusan Prabowo menjadi menteri pertahanan dalam kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi).

 

"Tidak sedikit pendukung muslim militannya yang kecewa dengan Prabowo karena merasa dilupakan dan ditinggalkan begitu saja," ujar Zaki kepada GenpPI.co, Kamis (2/9).

 

Menurut Zaki, meraih kembali simpati dan dukungan dari kelompok-kelompok muslim yang kecewa menjadi tantangan Prabowo menuju Pilpres 2024.

 

"Itu tantangan Prabowo, apakah dia mampu meraih kembali simpati dan dukungan dari kelompok-kelompok muslim yang kecewa itu," jelasnya.

 

Zaki menambahkan, jika gagal dan hubungannya terus renggang, Pilpres 2024 akan menjadi ajang kegagalan Prabowo maju sebagai presiden kali ketiga.

 

Seperti diketahui, Prabowo sudah mengikuti kontestasi Pilpres dua kali, yakni Pilpres 2014 dan 2019.

 

Pada Pilpres 2014, Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa yang saat itu merupakan Ketum PAN.

 

Adapun pada Pilpres 2019 Prabowo menggandeng Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno untuk menjadi pasangannya. []



 

SANCAnews – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS meminta aparat penegak hukum untuk menahan dan mengadili segera terduga pelaku penembakan 6 anggota Laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.

 

Sebab, sejauh ini keputusan kejaksaan tidak melakukan penahanan terhadap tersangka. Keputusan itu, kata KontraS, patut dipertanyakan.

 

"Kami menduga ini adalah praktik lanjutan atas upaya pengistimewaan terhadap aparat keamanan yang terlibat dalam pelanggaran tindak pidana. Sebelumnya, kedua tersangka juga tidak ditahan oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri," tulis KontraS dalam akun twitter resminya @KontraS dikutip Suara.com, Minggu (5/9/2021).

 

Berdasar informasi yang telah dihimpun, KontraS mengatakan ada sejumlah alasan kejaksaan tidak melakukan penahanan terhadap dua tersangka.

 

Pertama, karena tersangka berstatus sebagai anggota Polri. Kedua ialah para tersangka mendapatkan jaminan dari atasannya karena tidak akan melarikan diri serta mereka akan kooperatif saat persidangan.

 

Namun menurut KontraS dua hal tersebut jelas tidak kuat untuk dikatakan sebagai alasan. Justru dua alasan itu sebaliknya dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan penahanan.

 

"Mengingat keduanya adalah anggota Polri aktif maka bukan tidak mungkin kekhawatiran adanya penghilangan atau pengkondisian barang bukti dapat terjadi," tulis KontraS,

 

KontraS khawatir bahwa kedua tersangka nantinya dapat mengulangi perbuatan serupa. Mengingat kedua tersangka merupakan anggota Polri aktif dan dugaan tindak pidana yang dilakukan terjadi pada saat keduanya melakukan kerja-kerja kepolisian.

 

"Sehingga, kami menduga tidak ditahannya tersangka semata-mata bukan karena pertimbangan obyektif, melainkan subyektif dari aparat penegak hukum itu sendiri, yang mendasarkan keputusannya dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP," tulis KontraS.

 

KontraS mengatakan jika merujuk Pasal 21 Ayat (4) KUHAP, alasan obyektif penahanan intinya dapat dilakukan apabila tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Sehingga, kasus ini memenuhi pertimbangan objektif tersebut. Sebab, tersangka dikenakan Pasal 388 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 351 Ayat (3) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, yang secara keseluruhan pidana penjaranya 5 tahun atau lebih.

 

KontraS lantas menyandingkan adanya perlakuan serupa kepada anggota Polti yang berkasus. Di mana dugaan praktik pengistimewaan terhadap anggota Polri yang diduga melakukan tindak pidana, juga terjadi pada kasus penganiayaan jurnalis Tempo dan juga kasus dugaan penyiksaan Henry Bakari di Batam serta Sahbudin di Bengkulu.

 

KontraS meminta agar hal tersebut tidak dibiarkan lantaran mencederai rasa keadilan korban serta keluarga korban.

 

"Oleh karena itu kami mendesak Kapolri @DivHumas_Polri melakukan evaluasi internal dan menghentikan dugaan praktik pengistimewaan terhadap anggota Polri yang sedang berhadapan hukum," tulis KontraS.

 

KontraS lalu mendesak Kejaksaan Jakarta Timur untuk segera melakukan penahanan terhadap kedua tersangka kasus dugaan penembakan Laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.

 

"PN Jakarta Timur segera mengadili para terduga pelaku dan membuka akses proses persidangan bagi publik untuk melakukan pengawasan," tulis KontraS.

 

Tiga Polisi Tersangka

 

Bareskrim Polri sebelumnya telah menetapkan tiga anggota Polda Metro Jaya sebagai tersangka dalam kasus tewasnya laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek setelah sebelumnya berstatus terlapor.

 

"Terlapor tiga tersebut dinaikkan menjadi tersangka," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (6/4/2021).

 

Rusdi menuturkan, penetapan tersangka atas ketiganya diambil usai gelar perkara yang dilakukan pada Kamis (1/4/2021) lalu.

 

"Akan tetapi ada satu terlapor inisial EPZ meninggal dunia, berdasarkan 109 Kuhap karena yang bersangkutan meninggal dunia maka penyidikannya langsung dihentikan," katanya

 

Setelah penyelidikan tersebut, penyidik kembali melanjutkan penanganan kasus dengan dua tersangka terkait perkara yang membuat sejumlah Laskar FPI tewas di Tol Jakarta-Cikampek.

 

"Kita tunggu saja tugas yang dilaksanakan penyidik untuk dapat menuntaskan kasus KM 50 ini secara profesional, transparan, dan akuntabel," kata Rusdi.

 

Belum Dicopot

 

Kabag Penum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Ahmad Ramadhan mengungkapkan dua dari tiga tersangka kasus Unlawfull Killing 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) masih berstatus anggota Polri.

 

"Status masih anggota, jadi proses anggota tersebut tentunya akan melalui proses. Sampai sejauh ini masih anggota Polri," kata Ramadhan kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (14/4/2021).

 

Menanggapi apakah kedua orang itu bakal dibebaskan tugaskan, Ramadhan mengatakan sampai saat ini masih menjalani proses pemeriksaan.

 

"Pemahaman bebas tugas dalam pengertian Polri itu diberhentikan. Sementara posisinya (keduanya) dalam pemeriksaan. Jadi nanti salah persepsi. Kalau dibebastugaskan artinya diberhentikan. Jadi yang bersangkutan dalam proses pemeriksaan. Kalau bicara ini nanti malah disidang. Jadi supaya tak salah persepsi yang bersangkutan masih dalam proses," kata dia.

 

Satu Tersangka Meninggal

 

Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto menyebut satu dari tiga anggota Polda Metro Jaya yang berstatus terlapor atau terduga pelaku penembakan di luar hukum (unlawful killing) terhadap laskar FPI meninggal dunia. Polisi tersebut dikabarkan meninggal dunia seusai terlibat kecelakaan lalu lintas.

 

"Saya mendapat info kalau salah satu tersangka (terlapor) meninggal dunia karena kecelakaan," kata Agus saat dikonfirmasi, Kamis (25/3/2021).

 

Meski begitu, Agus tak mengungkap kapan dan di mana peristiwa kecelakaan itu terjadi, "Silakan ditanyakan ke penyidik ya," katanya. [*]




SANCAnews – Wakil Sekjen Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin menantang Presiden Jokowi membebaskan Habib Rizieq Shihab (HRS) tanpa syarat.


Novel menjelaskan Habib Rizieq bukan tipe penjilat sehingga tidak akan meminta pengampunan kepada Jokowi atas penolakan banding perkara swab test RS UMMI Bogor, Jawa Barat, di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

 

Diketahui, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada HRS dalam perkara swab test di RS UMMI.

 

"Beliau tidak mau membuat partai serta bukan tipe penjilat karena urusan hakim PN Jaktim beliau nyatakan banding, tidak mau meminta pengampunan dari presiden," ujar Novel Bamukmin melalui pesan singkat kepada JPNN.com, Kamis (2/9).

 

Menurut salah satu tokoh Front Persaudaraan islam atau FPI versi baru itu, jika Jokowi mau membebaskan HRS sejatinya menunjukkan sikap kenegarawanan.

 

"IB HRS bebas tanpa syarat dan itu adalah sikap negarawan sejati kalau Jokowi bisa lakukan itu," tutur Novel Bamukmin.

 

Novel juga menyampaikan kalimat yang seolah menanggapi pernyataan Ketua Yayasan Keadilan Masyarakat Ferdinand Hutahaean.

 

Ferdinand sebelumnya mengatakan bahwa pemerintah tidak ada kaitannya dengan putusan pengadilan kasus HRS. Karena menurutnya, memang HRS bukanlah sosok yang perlu ditakuti.

 

"Apalagi, kalau bicara kepentingan kekuasaan, memangnya Rizieq Shihab itu siapa sih di republik ini. Memangnya dia ditakuti? Bisa mengubah kekuasaan di republik ini? Memang dia bisa dan mampu merombak kekuasaan di republik ini, sehingga pemerintah harus takut pada Rizieq Shihab," tutur Ferdinand, Kamis (2/9).

 

Novel mengatakan, baliho-baliho tokoh asal Petamburan itu beberapa waktu lalu diturunkan oleh aparat, adalah bukti sosok HRS sangat berpengaruh.

 

"IB HRS (Imam Besar Habib Rizieq Shihab) balihonya saja ditakuti apalagi daya gempur perjuangannya karena tegar, tidak terbeli dengan kedudukan dan harta," kata Novel. []




SANCAnews – Habib Rizieq Shihab mengomentari proses hukum yang dijalani Munarman atas kasus dugaan tindak pidana terorisme.


Rizieq menilai perkara terorisme ini sangat kental kaitan dengan kematian sejumlah pengawalnya karena tertembak aparat kepolisian beberapa waktu lalu. Dia menyebut ada sosok jenderal polisi yang panik.

 

“Ada jenderal kencing di celana, dibuatlah drama terorisme Munarman dan kawan-kawan agar pembantaian KM 50 aman dan nyaman,” ujar Habib Rizieq sebagaimana disampaikan Aziz Yanuar selaku kuasa hukumnya, Sabtu (4/9).

 

Habib Rizieq menerangkan, Munarman dan sejumlah mantan anggota FPI dijadikan tersangka kasus terorisme karena sangat tegas mengawal proses hukum kematian pengawalnya.

 

“Munarman dan kawan-kawan tegas soal tragedi KM 50. Mereka bukan teroris,” tegas Habib Rizieq yang juga turut diperiksa dalam perkara terorisme Munarman.

 

Munarman sebelumnya ditangkap Densus 88 Antiteror Mabes Polri di kediamannya kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa 27 April 2021.

 

Dia ditangkap atas dugaan keterlibatan dalam tindak pidana terorisme, antara lain pembaiatan di Makassar, Jakarta, dan Medan. (jpnn)




SANCAnews – Penegakan hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan Covid-19 menimbulkan ketimpangan. Hal itu dibicarakan publik lantaran kerumunan yang tercipta dalam beberapa kunjungan kerja Jokowi tidak pernah diusut, dan berbeda dengan kejadian lainnya oleh pihak lain.

 

Bahkan, beberapa pihak baru-baru ini menyebutkan, ketidakadilan hukum penegakan protokol kesehatan sangat nampak dari tidak diprosesnya pelanggaran berupa kerumunan dalam kujungan kerja Presiden Joko Widodo ke Cirebon, pada Selasa (31/8).

 

Sementara di sisi yang lain, tindakan hukum berbeda dilakukan karena terciptanya kerumunan dalam acara tabligh akbar di Mega Mendung, yang telah menjerat dan memvonis bekas Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib M. Rizieq Shihab, hukuman kurungan penjara 4 tahun.

 

Persoalan ini juga ikut ditanggapi Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Natalisu Pigai, dalam diskusi series tanya jawab Cak Ulung yang disiarkan kanal Youtube Kantor Berita Politik RMOL ada Kamis (2/9).

 

Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ini menjelaskan beberapa hal di dalam proses penegakan hukum yang nampak jelas terjadi di lapangan, khususnya yang terkait penegakan protokol kesehatan Covid-19 berupa kerumunan.

 

Hal pertama yang dia singgung adalah terkiat dengan peranan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, yang bukan institusi penegak hukum tapi justru pada beberapa kejadian bertindak di luar kewenangannya.

 

"Satgas itu adalah Satuan Tugas Covid yang hanya mengingatkan rakyat untuk melakukan sesuatu yaitu memakai masker, memakai hand sanitizer, atau jaga jarak antara individu dan jaga jarak antar sosial. Tapi di Indonesia itu satgas dimaknai sebagai penegak hukum," ucap Pigai dikutip Sabtu subuh, (4/9).

 

Sebagi contoh, Pigai membandingkan penegakan hukum yang dilakukan terhadap Habib Rizieq dengan momen kunjungan kerja Jokowi ke Maumere beberapa waktu lalu.

 

"Coba bayangkan, Presiden Jokowi misalnya, datang ke Maumere. Dia datang ada kerumunan, Presiden Jokowi datang di tengah kerumunan sudah beberapa kali tapi Satgas tidak mampu mengingatkan sekalipun, tidak bisa melarang. Rakyat melaporkan pun tidak bisa diproses," tuturnya.

 

"Sementara Habib Rizieq atau rakyat-rakyat yang lain yang berada di posisi oposisi, ada kesalahan sedikit justru Satuan Tugas yang menjadi penegak hukum. Padahal Satgas tugasnya hanya mengigatkan," imbuh Pigai.

 

Menurutnya, tidak ada satu pun undang-undang di Republik Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Satgas Covid-19 untuk melakukan penegakan hukum.

 

"Penegak hukum itu polisi, jaksa dan hakim. Jadi kalau ada Satuan Tugas yang melakukan penegakan hukum, maka itu cendrung tidak adil," katanya.

 

Dari ketimpangan penegakan hukum tersebut, Pigai berpendapat bahwa apa yang dialami Habib Rizieq Shihab di tengah pembiaran kerumunan Jokowi adalah sebuah wujud adanya tekanan oleh pihak-pihak yang berkuasa untuk menyetir aparat berwenang, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman.

 

"ada tekanan, oleh pihak2 yang berkuasa, oleh satuan tugas oleh tim pendukung pemerintah maka penegakan huku tidak akan adil, tidak akan imbang, tidak akan emngahsilkan proses hukum yang objektifm impasrsial.

 

"Karena itu, beberapa orang yang ada di posisi oposisi dan juga mengkitik pemerintah, ada pelanggaran sedikit terkait prokes, itu (hukum) menjadi alat pemukul," tuturnya.

 

"Proses hukum yang tidak adil, itu dihasilkan karena palu keadilan dimunculkan sebagai alat pemukul," tegasnya menutup. []

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.