Latest Post


 

SANCAnews – Lembaga Centre For Indonesia Strategic Actions (CISA) melakukan jajak pendapat terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden baik menjadi 3 periode atau bertambah durasi sampai 2027. Mayoritas masyarakat tidak setuju atau menolak.

 

Survei dilakukan pada 27-31 Agustus 2021 dengan total 1.200 responden. Responden itu tersebar di 34 provinsi. Survei dilakukan dengan metode wawancara langsung.

 

Pengambilan sampel dilakukan dilakukan secara acak. Sementara margin of error survei ini yakni 2,85% dengan tingkat kepercayaan di 95%.

 

Hasil survei menyatakan mayoritas masyarakat menolak wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode atau perpanjangan sampai tahun 2027. Direktur CISA Herry Mendrofa memaparkan alasan dasar penolakan tersebut.

 

"Di samping dengan alasan konstitusi, pengaruh ketidakoptimalan kinerja pemerintah selama pandemi dianggap menjadi aspek yang mendasar penyebab persepsi publik tidak menginginkan wacana tersebut direalisasikan," kata Herry, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (4/9/2021).

 

Simak data lengkap hasil survei terkait wacana tersebut:

 

(Pertanyaan terkait wacana penambahan masa jabatan presiden jadi 3 periode)

 

Tidak Setuju 58,25%

Sangat tidak setuju 8,25%

Setuju 28,83%

Sangat Setuju 2,09%

Tidak tahu 2,58%

 

(Pertanyaan wacana perpanjangan durasi jabatan presiden hingga tahun 2027)

 

Tidak Setuju 60,08%

Sangat Tidak Setuju 8,42%

Setuju 25,42%

Sangat Setuju 2,75%

Tidak tahu 2,33%

 

Selain itu, CISA juga melakukan jajak pendapat mengenai kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19. Mayoritas masyarakat atau 54% suara menyatakan tidak puas. Sedangkan 42% menyatakan puas. Berikut data lengkapnya:

 

Cukup puas 38,58%

Sangat puas 3,91%

Tidak puas 47,17%

Sangat tidak puas 7,17%

Tidak tahu 3,17%. (detik)



 

SANCAnews – Pengamat Politik Adi Prayitno memprediksi bahwa apabila wacana Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjabat yang ketiga periode benar terjadi maka bisa berbahaya bagi demokrasi Indonesia.

 

Menurut Adi, para kelompok elite juga harus mengetahui bahwa dengan memaksakan Presiden Jokowi menjadi 3 periode bisa menyebabkan terjadinya gerakan ekstra parlementer yang sama seperti pada tahun 1998 silam.

 

Terlebih di tahun 2024 mendatang akan adanya beberapa tokoh-tokoh kunci seperti Anies Baswedan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK).

 

Hal tersebut diungkapkan oleh Adi Prayitno saat diundang ke kanal YouTube Karni Ilyas Club dalam sebuah video berjudul DEBAT PANAS DUA "MISIONARIS" ADI PRAYITNO : "JOKOWI TIGA PERIODE...BISA KALAH SAMA ANIES!" – KIC” yang diunggah pada Jumat (3/9/2021).

 

"Makannya hati-hati sebenarnya, dengan 3 periode Jokowi, karena ini akan memungkinkan begitu banyak calon alternatif yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya," kata Adi Prayitno.

 

Selain itu bisa saja jika Jokowi lanjut menjadi presiden selama 3 periode akan menimbulkan hal-hal fatal yang mengganggu kedamaian Indonesia itu sendiri.

 

"Akan ada resistensi dari kelompok-kelompok civil society yang belakangan agak mengendap, mural ini kan hanya awalan, bagaimana  kelompok-kelompok kritis itu secara perlahan sudah mulai bangkit," ungkap Adi Prayitno.

 

"Ditambah isu amandemen, ditambah isu memundurkan pemilu, soal jabatan presiden (Jokowi) 3 periode, saya kira suasananya saya khawatir seperti 98, bahwa gerakan ekstra parlementer 1998 akan menjadi bola besar yang kemudian tidak bisa dikendalikan oleh siapapun," pungkas Adi.

 

Nantinya menurut Adi bahwa yang menggerakan insiden itu berasal dari civil society yang berhasil mengkonsolidasikan politik diseluruh titik kekuatan.

 

"Jangankan (rezim Jokowi) yang saat ini, Orde Baru pun tumbang, karena dulu orde baru itu hampir 90 persen menguasai semua jejaring politik, partai dikendalikan, birokrasi dikendalikan, ekonomi dikendalikan, infra dan suprastruktur semua dikendalikan, tumbang oleh kekuatan civil society," tukasnya.

 

Dengan begitu Adi menyarankan agar masyarakat Indonesia untuk dapat menolak amandemen, tolak 3 periode dan tolak perpanjangan jabatan Presiden dan DPR dalam rangka menghargai keindahaan tuhan di dalam demokrasi Indonesia.

 

"Bagaimana demokrasi ini tumbuh bagi kita, tolak amandemen, tolak (Jokowi) 3 periode, dan tolak perpanjangan jabatan presiden dan DPR, karena tidak ada gunanya, kita (rakyat) yang banyak dirugikan dan hanya elit yang diuntungkan," imbuh Adi. (poskota)



 

SANCAnews – Anggota DPR RI Komisi I Fadli Zon memberi tanggapan terkait wacana amendemen UUD 1945 yang kini sedang hangat diperbincangkan.

 

Seperti diketahui, isu ini mulai muncul kembali setelah Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi koalisi Presiden Joko Widodo (Jokowi).

 

“Saya usul kalau ada yang mau ubah konstitusi, kita referendum saja,” ujarnya kepada GenPI.co, Jumat (3/9).

 

Bukan tanpa alasan, Fadli Zon mengatakan bahwa amendemen 3 periode memerlukan keputusan yang besar. Sebab, menurutnya, tanah air bukan dimiliki segelintir orang saja.

 

“Indonesia bukan milik segelintir orang. Masa depan Indonesia milik seluruh rakyat,” tandasnya.

 

Di sisi lain, politikus PKS Mardani Ali Sera menilai bahwa amandemen bukan sesuatu yang haram, karena evaluasi harus terus dilakukan.

 

“Akan tetapi, dalam kondisi isu tiga periode sudah berkembang serta perimbangan koalisi dan oposisi yang jomplang, ide amandemen amat bahaya,” kata Mardani.

 

Tidak hanya itu, menurutnya Covid-19 menjadi salah satu alasan yang menyulitkan orang-orang untuk beradu argumen dan membahas terkait amendemen 3 periode tersebut.

 

“Belum lagi, di masa pandemi kita tidak bisa optimal mengadu argumen. Diskursus yang berkualitas pun tidak terjadi,” tuturnya.

 

Dirinya lantas mengatakan bahwa ada 2 syarat untuk mengubah konstitusi atau melakukan amendemen.

 

“Elite nya bijak, tidak berpikir untuk kelompok apa lagi kepentingan pribadi. Kemudian rakyatnya cerdas. Oleh sebab itu, perlu waktu yang panjang untuk berdialog,” katanya.

 

Salah satu contohnya, menurut Mardani Ali Sera yakni revisi UU KPK dan Omnibus Law.

 

“Konsultasi dan diskursus publik nya tidak terjadi dengan baik. Jika ini dipaksakan, kian membuat masyarakat terpendam,” tandasnya. [*]



 

SANCAnews – Gennady Zyuganov, ketua Partai Komunis Rusia menyebut Yesus Kristus sebagai komunis pertama di dunia.

 

Menyadur The Moscow Times Jumat (3/9/2021), ia menyebut hal ini dalam wawancara radio dengan tabloid Komsomolskaya Pravda.

 

“Letakkan Khotbah Yesus di Bukit dan Kode Moral Pembangun Komunisme berdampipngan dan Anda akan terkesiap,” kata Gennady Zyuganov.

 

Dia menambahkan bahwa slogan utama komunisme, 'Dia yang tidak bekerja tidak boleh makan' ditulis dalam Surat Kedua Rasul Paulus kepada Jemaat Tesalonika yang ditemukan dalam Perjanjian Baru.

 

“Kita perlu mempelajari Alkitab,” ujar Zyuganov, menyimpulkan.

 

Komentarnya muncul saat Partai Komunis Rusia berusaha memenangkan kursi di Duma Negara, majelis rendah parlemen Rusia, selama pemilihan parlemen 17-19 September.

 

Pernyataan seperti itu kemungkinan tidak akan pernah terdengar selama era Soviet, ketika pemerintah komunis mengikuti kebijakan ateisme negara.

 

Namun di tahun-tahun pasca-Soviet, khususnya dalam dekade terakhir pemerintahan Presiden Vladimir Putin, pemerintah menjalin hubungan dengan Gereja Ortodoks Rusia. (suara)



 

SANCAnews – Selama bergabung dengan pemerintah, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dinilai memiliki kesamaan karakter dengan Presiden Joko Widodo. Bahkan muncul anggapan bisa lebih berbahaya jika terpilih menjadi Presiden di Pilpres 2024 karena dianggap akan selalu mengabaikan UU.

 

Begitu kata pengamat hukum dan politik Mujahid 212, Damai Hari Lubis menanggapi pujian Prabowo Subianto kepada Presiden Jokowi yang disampaikan beberapa waktu lalu.

 

Pujian yang dimaksud adalah saat Prabowo bersaksi bahwa Presiden Jokowi sudah bekerja keras dan tulus demi rakyat dan sudah di jalan yang benar.

 

Selain itu, Prabowo juga mengaku salut kepada pelaksanaan sistem dari Presiden Jokowi yang tidak menerapkan lockdown keras dalam mengatasi pandemi Covid-19.

 

"Disayangkan, Prabowo memuji Jokowi yang gunakan sistem prokes Covid-19 (PSPB dan PPKM Darurat), padahal ada UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang mana UU a quo adalah Jokowi yang membuat atau mengesahkannya namun tidak digunakan," ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (3/9).

 

Apalagi, kebijakan penanganan pandemi Covid-19, Jokowi sepenuhnya tidak tunduk atau mengacu terhadap kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilaksanakan oleh negara.

 

"Bahkan fakta pelaksanaan terhadap sistem prokes tersebut, menunjukkan Jokowi selaku Presiden terang-terangan sengaja beberapa kali melanggar prokes Covid-19," kata Damai.

 

Damai pun merinci beberapa pelanggaran protokol kesehatan (prokes) yang disengaja dilakukan oleh Jokowi. Yaitu, lempar-lempar bagi sembako, kasus Maumere, juga hadiran pada undangan nikahannya artis Aurel Hermansyah, bahkan melanggar PPKM Darurat level 4 di daerah Grogol Jakarta Barat dan selanjutnya kembali melanggar di Cirebon, Jawa Barat.

 

"Maka terhadap pujian dari PS (Prabowo Subianto) terhadap kepemimpinan Jokowi, punya makna dirinya merasa selain memiliki kesamaan karakter, setidaknya akan mengikuti perilaku atau paradigma-paradigma politik yang identik atau mirip kebijakan-kebijakan yang Jokowi telah buat dan telah dilakukan selama ini," jelas Damai.

 

Damai merasa tidak heran pujian tersebut tidak lepas dan bisa jadi sebagai wujud kesetiaan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) sebagai bawahan kepada atasan. Bisa juga dilakukan untuk menyenangkan Presiden Joko Widodo sebagai atasan.

 

“Namun sebaiknya pujian tersebut tidak perlu diumbar atau disampaikan dihadapan publik. PS cukup aplikasikan kebijakan presiden sesuai tupoksi yang memang mesti ia jalankan," terangnya.

 

Damai pun juga menganalisis makna lain dari pujian tersebut. Menurutnya, pujian Prabowo tersebut memiliki arti, jika Prabowo terpilih jadi Presiden di Pilpres 2024, kelak Prabowo juga tidak akan selalu menggunakan UU untuk sesuatu yang dibutuhkan bangsa dan negara.

 

Apalagi  Prabowo juga memiliki latar belakang militer. Sehingga bisa jadi akan lebih "keras" kepemimpinannya atau bentuk negara akan berkesan militerisme pada kepemimpinannya terhadap rakyat, utamanya terhadap para oposan.

 

"Paling tidak terasa lebih otoriter tentunya daripada Jokowi yang orang sipil," pungkas Damai. []


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.