Latest Post



SANCAnews – Politikus PDIP Kapitra Ampera menyarankan Habib Rizieq Shihab (HRS) memikirkan ulang rencana mengajukan kasasi atas putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menolak pengajuan banding HRS dalam perkara swab test di RS UMMI Bogor, Jawa Barat.

 

Putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada Senin (30/8) lalu itu memperkuat vonis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur yang menghukum Habib Rizieq empat tahun penjara. Nah, Kapitra menilai ada baiknya kembali kepada way of life atau jalan hidup manusia dengan berserah diri kepada Tuhan, supaya diberi petunjuk.

 

"Kalau dikembalikan ke sana, ya sudahlah, terimalah ini sebagai suatu takdir, untuk  apa? Untuk menafakuri, apakah ini sebuah early warning dari Allah, atau sebagai rahmat," ucap Kapitra dikutip JPNN.com, Sabtu (4/9).

 

Bila pihak Habib Rizieq kukuh ingin mengajukan kasasi atas putusan banding PT DKI tersebut, Kapitra justru khawatir hasilnya tidak sesuai yang diharapkan.

 

"Kalau dia maju terus, kasasi, segala macam, bisa juga naik hukumannya, bisa lima tahun, enam tahun. Jadi, kembalikan kepada alasan dasar kehidupan, yaitu ketentuan Tuhan," tuturnya.

 

Kapitra juga menyarankan supaya kubu Habib Rizieq jangan terus-terusan berkonfrontasi karena itu justru akan merugikan eks imam besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut. "Kalau terus melakukan konfrontasi yang rugi mereka. Kekuatan apa sih, yang dimiliki untuk bisa melawan negara.

 

Mana sih pasukan umat Islam yang sekian puluh juta, katanya. Bohong, enggak ada yang mau mendukung, berkorban mati buat dia itu," ujar eks pengacara Habib Rizieq itu.

 

Menurut pria berdarah Minang itu, Habib Rizieq bisa bermuhasabah. Sebab, mungkin banyak kesalahan-kesalahan selama ini yang selalu dianggap itu bukan kesalahan, atau tata cara perbuatan yang melukai orang.

 

"Sebagai evaluasi, bermuhasabahlah. Kembalikan itu sebuah ketentuan, suratan, terus evaluasi diri, perbaiki diri. Pasti juga sebagai manusia banyak kesalahan-kesalahan selama ini pernah dilakukan," ujar Kapitra.

 

Oleh karena itu, dia memandang sebaiknya vonis itu dijalani saja oleh Habib Rizieq.

 

"Toh, nanti ada apa namanya, ada grasi, akan ada potongan tahanan (remisi). Jadi, saya pikir itu lebih baik daripada banding, kasasi, ribut lagi,' tandas Kapitra. []



 

SANCAnews – Kondisi kesehatan tersangka kasus dugaan ujaran kebencian dan penodaanKondisi kesehatan tersangka kasus dugaan ujaran kebencian dan penodaan agama Ustaz Yahya Waloni dikabarkan berangsur membaik. Terkini, yang bersangkutan telah dikembalikan ke Bareskrim Polri pada Jumat (3/9/2021) kemarin malam.

 

"Sudah, sudah dikembalikan ke Bareskrim tadi malam," ujar Kabid Pelayanan Medik dan Perawatan Rumah Sakit Polri Kramat Jati Kombes Yayok Witarto saat dimintai konfirmasi, Sabtu (4/9/2021).

 

Meski demikian, Yahya Waloni masih harus tetap minum obat untuk menjaga kesehatannya. Kembalinya Yahya Waloni ke Bareskrim Polri dikarenakan dia masih harus menjalani pemeriksaan, "(Tetap) minum obat," beber Yayok.

 

Sakit Jantung

 

Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber (Dit Tipidsiber) Bareskrim Polri resmi menahan Yahya Waloni. Namun, yang bersangkutan dibantarkan ke RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur akibat pembengkakan jantung.

 

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengemukakan jika Yahya Waloni dibantarkan ke RS Polri sejak Kamis (26/8) malam.

 

"Dilakukan pembantaran tadi malam. Statusnya sudah ditahan, namun karena kesehatannya yang bersangkutan dibantarkan di RS Polri," kata Ramadhan kepada wartawan, Jumat (27/8/2021).

 

Yahya Waloni ditangkap oleh penyidik Dit Tipidsiber Bareskim Polri di kediamannya yang berlokasi di Perumahan Permata Cluster Dragon, Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (26/8) sore.

 

Dia ditangkap atas kasus ujaran kebencian dan penodaan agama yang dilayangkan oleh Komunitas Masyarakat Cinta Pluralisme pada Selasa, 27 Apri 2021 lalu.

 

Seusai ditangkap, Yahya Waloni digelandang ke Bareskrim Polri sekitar pukul 18.26 WIB.

 

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono berdalih penetapan tersangka dan penangkapan terhadap Yahya Waloni baru dilakukan, yakni lantaran penyidik perlu cermat dalam menangani kasus ini.

 

"Polri harus profesional, bicara profesional harus dengan cermat melakukan ini semua. Ini dilakukan, yang penting adalah semua laporan itu ditanggapi," kata dia di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (27/8/2021) pagi tadi.

 

Dalam perkara ini, penyidik menjerat Yahya Waloni dengan pasal berlapis. Pasal yang dipersangkakan sama seperti YouTuber Muhammad Kece yang juga terjerat dalam kasus ujaran kebencian dan penodaan agama dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara.

 

Keduanya dijerat dengan Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45A Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.

 

"Sama (seperti Muhammad Kece). Perilaku tindakannya relatif sama," ujar Rusdi. (suara)



 

SANCAnews – Lembaga Centre For Indonesia Strategic Actions (CISA) melakukan jajak pendapat terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden baik menjadi 3 periode atau bertambah durasi sampai 2027. Mayoritas masyarakat tidak setuju atau menolak.

 

Survei dilakukan pada 27-31 Agustus 2021 dengan total 1.200 responden. Responden itu tersebar di 34 provinsi. Survei dilakukan dengan metode wawancara langsung.

 

Pengambilan sampel dilakukan dilakukan secara acak. Sementara margin of error survei ini yakni 2,85% dengan tingkat kepercayaan di 95%.

 

Hasil survei menyatakan mayoritas masyarakat menolak wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode atau perpanjangan sampai tahun 2027. Direktur CISA Herry Mendrofa memaparkan alasan dasar penolakan tersebut.

 

"Di samping dengan alasan konstitusi, pengaruh ketidakoptimalan kinerja pemerintah selama pandemi dianggap menjadi aspek yang mendasar penyebab persepsi publik tidak menginginkan wacana tersebut direalisasikan," kata Herry, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (4/9/2021).

 

Simak data lengkap hasil survei terkait wacana tersebut:

 

(Pertanyaan terkait wacana penambahan masa jabatan presiden jadi 3 periode)

 

Tidak Setuju 58,25%

Sangat tidak setuju 8,25%

Setuju 28,83%

Sangat Setuju 2,09%

Tidak tahu 2,58%

 

(Pertanyaan wacana perpanjangan durasi jabatan presiden hingga tahun 2027)

 

Tidak Setuju 60,08%

Sangat Tidak Setuju 8,42%

Setuju 25,42%

Sangat Setuju 2,75%

Tidak tahu 2,33%

 

Selain itu, CISA juga melakukan jajak pendapat mengenai kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19. Mayoritas masyarakat atau 54% suara menyatakan tidak puas. Sedangkan 42% menyatakan puas. Berikut data lengkapnya:

 

Cukup puas 38,58%

Sangat puas 3,91%

Tidak puas 47,17%

Sangat tidak puas 7,17%

Tidak tahu 3,17%. (detik)



 

SANCAnews – Pengamat Politik Adi Prayitno memprediksi bahwa apabila wacana Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjabat yang ketiga periode benar terjadi maka bisa berbahaya bagi demokrasi Indonesia.

 

Menurut Adi, para kelompok elite juga harus mengetahui bahwa dengan memaksakan Presiden Jokowi menjadi 3 periode bisa menyebabkan terjadinya gerakan ekstra parlementer yang sama seperti pada tahun 1998 silam.

 

Terlebih di tahun 2024 mendatang akan adanya beberapa tokoh-tokoh kunci seperti Anies Baswedan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK).

 

Hal tersebut diungkapkan oleh Adi Prayitno saat diundang ke kanal YouTube Karni Ilyas Club dalam sebuah video berjudul DEBAT PANAS DUA "MISIONARIS" ADI PRAYITNO : "JOKOWI TIGA PERIODE...BISA KALAH SAMA ANIES!" – KIC” yang diunggah pada Jumat (3/9/2021).

 

"Makannya hati-hati sebenarnya, dengan 3 periode Jokowi, karena ini akan memungkinkan begitu banyak calon alternatif yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya," kata Adi Prayitno.

 

Selain itu bisa saja jika Jokowi lanjut menjadi presiden selama 3 periode akan menimbulkan hal-hal fatal yang mengganggu kedamaian Indonesia itu sendiri.

 

"Akan ada resistensi dari kelompok-kelompok civil society yang belakangan agak mengendap, mural ini kan hanya awalan, bagaimana  kelompok-kelompok kritis itu secara perlahan sudah mulai bangkit," ungkap Adi Prayitno.

 

"Ditambah isu amandemen, ditambah isu memundurkan pemilu, soal jabatan presiden (Jokowi) 3 periode, saya kira suasananya saya khawatir seperti 98, bahwa gerakan ekstra parlementer 1998 akan menjadi bola besar yang kemudian tidak bisa dikendalikan oleh siapapun," pungkas Adi.

 

Nantinya menurut Adi bahwa yang menggerakan insiden itu berasal dari civil society yang berhasil mengkonsolidasikan politik diseluruh titik kekuatan.

 

"Jangankan (rezim Jokowi) yang saat ini, Orde Baru pun tumbang, karena dulu orde baru itu hampir 90 persen menguasai semua jejaring politik, partai dikendalikan, birokrasi dikendalikan, ekonomi dikendalikan, infra dan suprastruktur semua dikendalikan, tumbang oleh kekuatan civil society," tukasnya.

 

Dengan begitu Adi menyarankan agar masyarakat Indonesia untuk dapat menolak amandemen, tolak 3 periode dan tolak perpanjangan jabatan Presiden dan DPR dalam rangka menghargai keindahaan tuhan di dalam demokrasi Indonesia.

 

"Bagaimana demokrasi ini tumbuh bagi kita, tolak amandemen, tolak (Jokowi) 3 periode, dan tolak perpanjangan jabatan presiden dan DPR, karena tidak ada gunanya, kita (rakyat) yang banyak dirugikan dan hanya elit yang diuntungkan," imbuh Adi. (poskota)



 

SANCAnews – Anggota DPR RI Komisi I Fadli Zon memberi tanggapan terkait wacana amendemen UUD 1945 yang kini sedang hangat diperbincangkan.

 

Seperti diketahui, isu ini mulai muncul kembali setelah Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi koalisi Presiden Joko Widodo (Jokowi).

 

“Saya usul kalau ada yang mau ubah konstitusi, kita referendum saja,” ujarnya kepada GenPI.co, Jumat (3/9).

 

Bukan tanpa alasan, Fadli Zon mengatakan bahwa amendemen 3 periode memerlukan keputusan yang besar. Sebab, menurutnya, tanah air bukan dimiliki segelintir orang saja.

 

“Indonesia bukan milik segelintir orang. Masa depan Indonesia milik seluruh rakyat,” tandasnya.

 

Di sisi lain, politikus PKS Mardani Ali Sera menilai bahwa amandemen bukan sesuatu yang haram, karena evaluasi harus terus dilakukan.

 

“Akan tetapi, dalam kondisi isu tiga periode sudah berkembang serta perimbangan koalisi dan oposisi yang jomplang, ide amandemen amat bahaya,” kata Mardani.

 

Tidak hanya itu, menurutnya Covid-19 menjadi salah satu alasan yang menyulitkan orang-orang untuk beradu argumen dan membahas terkait amendemen 3 periode tersebut.

 

“Belum lagi, di masa pandemi kita tidak bisa optimal mengadu argumen. Diskursus yang berkualitas pun tidak terjadi,” tuturnya.

 

Dirinya lantas mengatakan bahwa ada 2 syarat untuk mengubah konstitusi atau melakukan amendemen.

 

“Elite nya bijak, tidak berpikir untuk kelompok apa lagi kepentingan pribadi. Kemudian rakyatnya cerdas. Oleh sebab itu, perlu waktu yang panjang untuk berdialog,” katanya.

 

Salah satu contohnya, menurut Mardani Ali Sera yakni revisi UU KPK dan Omnibus Law.

 

“Konsultasi dan diskursus publik nya tidak terjadi dengan baik. Jika ini dipaksakan, kian membuat masyarakat terpendam,” tandasnya. [*]


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.