Latest Post


 

SANCAnews – Relawan Jokowi Mania (Joman) mengatakan, aksi bagi-bagi sembako Presiden Joko Widodo merupakan bentuk hadirnya negara terhadap masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Terkait timbulnya kerumunan disebut persoalan lain.

 

"Presiden sebagai kepala negara harus hadir di tengah masyarakat kemudian impact-nya berkerumun itu persoalan lain," kata Ketua Umum relawan Joman, Immanuel Ebenezer saat dihubungi, Jumat (3/9/2021).

 

Ia menilai Jokowi turun langsung membagi-bagikan sembako di tengah pandemi dianggap sebuah hal normal. Menurutnya, jika Jokowi terpapar Covid-19 akibat ulahnya itu merupakan risiko.

 

"Ya enggak masalah. Karena gini jadii sebagai pemimpin harus hadir. Kan presiden risiko misalnya kena covid ya itu kan presiden. Presiden masang badan buat rakyatnya kok. Kok salahin presidennya kecuali presiden bawa penyakit," tuturnya.

 

Lebih lanjut, Immanuel meyakini sebelum Jokowi melakukan aksinya ada mitigasi yang sudah dilakukan sebelumnya. Salah satunya dengan memperhatikan status zona covid di daerah yang dikunjungi.

 

"Nah setiap tempat yang dikunjungi itu presiden selalu yang namanya mitigasi lah ya di daerah situ zona hijau atau tidak. Lantas kemudian berapa yang sudah divaksin kemudian apakah sudah divaksin," tuturnya.

 

"Yang jadi persoalan kan yang belum vaksin lantas bikin kerumunan. Itu yang menyebabkan kluster-kluster baru."

 

Warga Rela Masuk Got

 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendatangi rumah sejumlah warga di Kota Cirebon, Jawa Barat, untuk meninjau vaksinasi Covid-19. Warga yang kedapatan bertemu langsung dengan Jokowi mengungkapkan kebahagiaannya.

 

"Rasanya senang didatangi pak Presiden," kata warga Kota Cirebon Rudianto di Cirebon, Selasa (31/8/2021).

 

Rudianto mengaku tidak menyangka kalau kediamannya bakal dikunjungi oleh orang nomor satu di Indonesia itu.

 

Menurutnya meski kunjungan Jokowi hanya sebentar menjadi berkah tersendiri bagi dirinya.

 

Selain mengikuti vaksinasi Covid-19, Rudianto juga senang diberi sembako oleh Presiden Jokowi, dan bisa bertemu secara langsung tanpa harus melihat dari televisi.

 

"Selain didatangi, kami juga diberi sembako," tuturnya.

 

Kunjungan kerja Presiden Jokowi di Kota Cirebon, dilakukan untuk meninjau vaksinasi Covid-19 dari rumah ke rumah.

 

Dalam kesempatan itu, Jokowi juga sempat membagikan kaos. Namun ada kaos yang jatuh ke selokan warga.

 

Warga yang melihat tidak pikir panjang. Pria berambut gondrong langsung masuk ke selokan yang berwarna hitam untuk mendapatkan kaos dari Jokowi.

 

Jokowi Selalu Bertolak Belakang

 

Kepala Advokasi dan Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora mengaku tidak heran dengan sikap Jokowi. Bahkan dia menganggap orang nomor satu di Indonesia ini tidak konsisten. Pasalnya, peristiwa kerumunan warga di Cirebon saat acara pembagian sembako terjadi setelah Jokowi secara resmi memperpanjang status PPKM Jawa Bali menekan mobilitas masyarakat dan mencegah kerumunan guna menekan penularan Covid-19.

 

"(Presiden) Jokowi memang selalu begitu, bertolak belakang, apa yang dibilang dengan apa yang dilaksanakan," tegas Nelson saat dihubungi Suara.com, Selasa (31/8/2021).

 

Nelson lantas mempertanyakan, para pemerintah daerah dan pasmpares yang seolah membiarkan kerumunan itu terjadi.

 

"Paspampresnya ke mana? Orang daerah di kantor bupati, kantor gubernur itu ke mana? Kok bisa dibiarkan,"ujarnya.

 

Kegiatan Jokowi bagi-bagi sembako,  yang menyebabkan kerumunan juga pernah terjadi di Terminal Grogol, Jakarta Barat pada Selasa (10/8/2021)l alu. Kejadian tersebut juga sehari pengumuman PPKM diperpanjang. []



 

SANCAnews – Wacana amendemen UUD 1945 yang mengarah aturan penambahan masa jabatan presiden tiga periode kembali memanas.

 

Jika wacana tersebut terjadi, peluang Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa maju kembali.

 

Menanggapi itu, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat Jansen Sitindaon menegaskan SBY sudah jelas tidak akan maju lagi sebagai capres.

 

"Kalau Pak SBY sudah clear (tidak akan maju sebagai capres lagi). Case closed," kata Jansen dalam diskusi di televisi swasta, Kamis (2/9).

 

Seperti diketahui, SBY bisa maju lagi sebagai calon presiden (capres) jika periode masa jabatan presiden jadi ditambah menjadi 3 periode.

 

Hal ini mengingat SBY menjabat sebagai Presiden baru 2 periode yakni periode 2004-2009 dan 2009-2014.

 

Jansen Sitindaon mengatakan, selama SBY menjabat presiden dan Partai Demokrat mampu menjaga nilai-nilai demokrasi seperti pembatasan masa jabatan Presiden tetap hanya 2 periode.

 

"Ketika Undang-Undang Dasar kita amandemen 4 kali, yang pertama kali diamandemen adalah soal 2 periode ini tadi," ujarnya.

 

"Dan memang dalam sejarah ketatanegaraan di dunia ini, ya, semakin lama orang berkuasa itu semakin sewenang-wenang,"sambungnya.

 

Jansen Sitindaon juga menegaskan, tidak ada urgensi mengamandemen UUD 1945 saat ini. (genpi)



 

SANCAnews – Anggota Badan Pengkajian MPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno, memandang bahwa usulan Amandemen UUD 1945 terutama terkait perpanjangan masa jabatan Presiden terlalu melebar dibahas. Namun demikian, usulan itu sah-sah saja disampaikan oleh berbagai kelompok.

 

"Sebab sebagai Anggota Dewan dan Anggota MPR patokan saya kan ini tata tertib MPR yang mengatur proses amandemen. Selama itu menjadi aspirasi biasa seperti yang dikatakan teman kita Qodari itu bagi kami narasi biasa saja di luar," kata Hendrawan pada program Dua Sisi di tvOne, Kamis 2 September 2021.

 

Menurut Hendrawan, partai politik atau siapa pun tidak bisa membatasi hak berpendapat seseorang, seperti dorongan Direktur Eksekutif Indobarometer Muhammad Qodari yang menginisasi duet Jokowi-Prabowo di Pemilu 2024.

 

Dan itu pun dinilai saat ini, usul Qodari juga dinilai belum terlalu serius atau konkret secara politik dieksekusi.

 

"Kalau mereka serius pasti mereka melakukan lobi ke partai politik, kelompok DPD dan seterusnya. Dan mereka akan datang dengan usulan yang jelas," kata Hendrawan.

 

Pria yang akrab disapa Prof Hendrawan ini bilang, ketimbang sibuk ribut- ribut membahas polemik tiga periode, sebaiknya publik juga jernih melihat usulan soal ini di masa lampau.

 

Ia pun menyindir Partai Demokrat yang pernah ingin mengajukan tiga periode saat Susilo Bambang Yudhoyono saat menjabat Presiden.

 

"Soal aspirasi 3 periode ini bukan yang pertama. Pada tahun 2009/2010 teman-teman dari Partai Demokrat mewacanakan kemungkinan Pak SBY tiga periode. Dan didukung teman-teman PKS. Saat itu Ruhut Sitompul vokal sekali. Dulu Ruhut masih di Demokrat. Kemudian pada satu titik Marzuki Alie secara jelas mengatakan hentikan keribuatan masa jabatan Presiden ini," ucapnya.

 

Hendrawan menegaskan, sikap partainya sejak awal sudah tegas, jika pun rencana amandemen berlanjut, hanya terbatas supaya menghadirkan kembali Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) dalam konstitusi negara. Tidak lebih dari itu.

 

"PDI Perjuangan sangat jelas dan tegas hanya mengusulkan amandemen terbatas khusus untuk mengembalikan Haluan Negara," kata Hendrawan.

 

Di kesempatan yang sama, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, mengatakan bahwa usul masa jabatan Presiden 3 periode yang didorong oleh sejumlah pihak, termasuk M Qodari tidak mengedukasi publik.

 

PKS, kata Mardani, berpandangan masa jabatan Presiden harus dibatasi, "Justru ketika diajukan Pak Jokowi dengan Pak Prabowo saja, (mereka) sudah bersatu sebetulnya. Dan faktanya kita tidak melambung juga, masih berat juga," tutur Mardani

 

"Dua periode cukup, karena kita belajar dari sejarah betapa napsu serakah selalu ingin lebih. Padahal banyak kok pemimpin yang sama lebih baik dari dua tokoh ini," sambung Mardani. (viva)



 

SANCAnews – Rencana amandemen UUD 1945 terkait masa jabatan Presiden harus dibatalkan karena rakyat akan turun ke jalan untuk menurunkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI jika tetap terlaksana.

 

Hal itu disampaikan langsung oleh pengamat hukum dan politik Mujahid 212, Damai Hari Lubis menanggapi isu perpanjangan masa jabatan Presiden melalui amandemen UUD 1945 setelah Partai Amanat Nasional (PAN) bergabung ke pemerintah.

 

Menurut Damai, rakyat harus mengetahui secara jelas terkait misi dan kepentingan amandemen UUD 1945 jauh hari sebelum dilaksanakan. Dengan demikian masyarakat, para pakar atau ahli di bidangnya dapat memberikan masukan dan atau berbagai macam pendapat termasuk alasan untuk penolakannya.

 

"Santer isu dalam waktu dekat akan diselenggarakan sidang istimewa MPR RI, salah satu agenda sidang istimewa MPR itu, di antaranya ada amandemen dengan materi masa perpanjangan jabatan Presiden Jokowi, dari yang semestinya berakhir 2024 menjadi 2027, bila benar apa misi serta alasan mendesaknya?" ujar Damai kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (3/9).

 

Karena kata Damai, rakyat perlu dan semestinya diajak bicara untuk diminta pendapatnya terkait amandemen UUD 1945. Apalagi, ada hal sensitif terkait masa jabatan Presiden.

 

Menurut Damai, harus ada argumentasi yang jelas, termasuk kajian profesiona dal memiliki konsekuensi logis dengan pertanggungjawaban atas dasar kebutuhan bangsa dan negara.

 

"Bukan kepentingan kekuasan sebuah kelompok (oligarki kekuasaan) di antaranya hasil kajian dari para tokoh bangsa dan para pakar atau ahli hukum tata negara, sehingga dapat diterima secara nalar atau logika lalu segera disosialisasikan," jelas Damai.

 

Karena sambung Damai, bila ujug-ujug wakil rakyat di MPR mengamandemen UUD 1945 tentang pasal masa jabatan Presiden, mereka dianggap memiliki nalar yang tidak sehat.

 

"Perlu dipertanyakan apa misi rahasia politik yang terselubung didalamnya? Atau adakah alasan atau argumentasi mendasar dari kelebihan Jokowi selaku presiden silakan paparkan," tegas Damai.

 

"Termasuk acuan dari pertimbangan para anggota DPR yang ada di MPR, justru yang nampak dari track record presiden oleh umat umumnya, dirinya banyak berdusta dan melanggar aturan yang dibuatnya sendiri," sambung Damai.

 

Oleh karenanya masih kata Damai, solusi hukum yang tepat adalah dengan menyerahkan kepada rakyat terkait opsi perpanjangan masa jabatan tersebut melalui referendum.

 

"Apakah rakyat setuju terhadap wacana yang akan menghabiskan keuangan negara yang cukup banyak untuk perubahan konsitusi dasar negara ini?" terang Damai.

 

Padahal kata Damai, rakyat saat ini merasa tidak ada manfaat melakukan amandemen UUD 1945. Selain menghabiskan keuangan negara, juga berisiko menimbulkan chaos atau perpecahan di kalangan masyarakat.

 

"Maka jika benar inisiatif sidang istimewa terkait masa perpanjangan jabatan presiden mereka paksakan dari yang seharusnya berakhir 2024, maka dengan sangat terpaksa mereka anggota MPR RI harus diturunkan secara paksa melalui hukum oleh rakyat," pungkas Damai. []



 

SANCAnews – Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) Slamet Maarif turut menyoroti aksi Presiden Joko Widodo yang turun langsung membagi-bagi bantuan sosial atau sembako kepada masyarakat di tengah pandemi. Bahkan pasca aksinya tersebut hingga menimbulkan kerumunan.

 

Slamet mengatakan, aksi Jokowi tersebut seharusnya berlawanan dengan aturan hukum. Namun, Jokowi disebutnya pakai hukum sesukanya.

 

"Sudah pakai hukum suka-suka dia (Jokowi)," kata Slamet kepada Suara.com, Jumat (3/9/2021).

 

Slamet mengatakan, dengan aksinya tersebut Jokowi tidak lagi memperhatikan etikanya. Presiden dianggap sibuk dengan pencitraan dan ambisi kekuasaan.

 

Menurutnya, hal itu menjadi buruk dan akan disaksikan sebagai sejarah di kemudian hari. Ia mengatakan, aksi Jokowi tersebut harus disesalkan.

 

"Sangat disayangkan dan akan diingat sepanjang waktu dalam sejarah bangsa Indonesia punya presiden model begini," tuturnya. [*]


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.