Latest Post


 

SANCAnews Adiany Adil, dokter di RSUD Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan yang menyebut pasien COVID-19 tidak pernah ada dan COVID-19 bukan diagnosis terancam kena sanksi. Pemkab mengatakan ada sanksi jika ditemukan pelanggaran.

 

"Apabila hasil dari pemeriksaan Inspektorat ditemukan pelanggaran maka Bupati Enrekang akan memberikan sanksi kepada yang bersangkutan," ujar Kabag hukum Kabupaten Enrekang, Dirhamsyah, kepada wartawan, Kamis (2/9/2021).

 

Dirhamsyah mengatakan pihaknya tengah mengupayakan bagaimana penanganan COVID-19 agar segera berakhir. Sehingga ekonomi bisa cepat pulih.

 

"Namun di sisi lain tersebarnya pemberitaan yang menjadi perhatian publik viral di media sosial dan sangat sensitif," tuturnya.

 

Dia mengatakan berdasarkan PP nomor 53 tahun 2010, yang bersangkutan telah melanggar kode etik profesi dan telah memenuhi unsur untuk dilakukan pemecatan dengan tidak hormat.

 

"Sudah ada surat panggilan dan surat peringatan dari Sekda Kabupaten Enrekang untuk kembali melaksanakan tugas sebagai seorang ASN," jelasnya.

 

Sementara itu, Kepala BKD Kabupaten Enrekang, Jumurdin mengatakan dari sisi kepegawaian akumulatif 40 hari dalam setahun, Adiany yang tidak melaksanakan tugas sebagai ASN sudah memenuhi syarat untuk dilakukan pemecatan.

 

"Namum dari sisi kemanusiaan kami akan memberikan dulu kesempatan kepada pihak IDI cabang Enrekang untuk dilakukan pendekatan secara kekeluargaan," urainya.

 

Polisi Turun Tangan

 

Kapolres Enrekang AKBP Andi Sinjaya mengatakan pihaknya melakukan penyelidikan terkait surat pernyataan tersebut.

 

"Masih on proses, melalui langkah penyelidikan," terangnya.

 

Andi tidak ingin berspekulasi kemungkinan Adiany mengalami depresi. Jika proses pemeriksaan penyidik selesai, baru polisi akan melakukan tes kejiwaan.

 

"Langkah kita belum kesana, jika lengkap semua proses pemeriksaan penyidik akan menentukan perlu tidaknya pemeriksaan kejiwaan yang bersangkutan,"jelasnya.

 

Di sisi lain, Andi juga membantah memberi apresiasi ke dokter tersebut. Dia justru menyayangkan sikap Andi yang membuat pernyataan kontroversial.

 

"Kita tidak pernah apresiasi terhadap perbuatan dan sikap yang bersangkutan, tolong diperbaiki ya. Sikap kita normatif dan akan laksanakan prosedur hukum sesuai aturan hukum sesuai fakta-fakta dan pihak-pihak yang berkompeten. Justru kita menyayangkan sikap yang bersangkutan," tegas Andi.

 

Sebelumnya, pernyataan Adiany dituliskan dalam sebuah surat pernyataan yang ditandatangani pada 25 Agustus 2021. Adiany juga menyertakan nomor teleponnya di surat itu. Berikut ini pernyataan Adiany:

 

Yang bertanda tangan di bawah ini, atas nama dr. Adiany Adil sebagai salah satu pihak yang berwenang dan berkompeten membuat pernyataan akan COVID-19.


Bahwa berdasarkan disiplin ilmu saya yaitu berkenaan dengan profesi dokter, sosok ahli dalam hal penegakan diagnosis, maka saya dengan tegas dan jelas tetapkan bahwa sejak dahulu hingga detik ini para dokter termasuk saya tidak pernah tegakkan diagnosis COVID-19.


Bahwa dalam teori dan praktek kedokteran, TIDAK PERNAH ADA DIAGNOSIS COVID-19/CORONA VIRUS DISEASE-19. Dan olehnya itu, pasien COVID-19 itu tidak pernah ada.

 

Demikianlah surat pernyataan yang saya buat untuk dipergunakan demi kemaslahatan ummat manusia.

 

Ketika dimintai konfirmasi detikcom, Kamis (2/9/2021), Adiany Adil menegaskan pernyataannya itu benar adanya.

 

"Itu bukan pernyataan kontroversial, sebab apa yang saya nyatakan itu adalah ilmu pengetahuan, ilmu kedokteran, jadi fix, harga mati tidak dapat ditawar lagi. So, tidak ada yang dapat mengganggu gugat. Semua dokter di belahan bumi manapun pasti tahu perihal COVID-19 itu bukanlah diagnosa, bukan menjadi jenis penyakit yang dijadikan dokter sebagai diagnosa," tulisnya. []



 

SANCAnews Ide wacana penambahan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode adalah ide yang zalim. Oleh karena itu, agar tidak menjadi dosa maka ide zalim itu tidak boleh didiamkan.

 

Demikian disampaikan Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera saat menjadi narasumber dalam diskusi daring Tanya Jawab Cak Ulung bertajuk "Teka-teki Amandemen UUD 45" pada Kamis siang (2/9).

 

"Ide tiga periode adalah ide yang zalim. Kalau publik tidak menentangnya karena kita lemah dan kita bodoh maka kita juga kena dosa zalimnya," kata Mardani.

 

Menurut anggota Komisi II DPR RI fraksi PKS ini, publik harus selalu terlibat dan publik harus selalu cerdas dalam membaca situasi dan kondisi bangsa. Mardani mengutip kata-kata seorang Mufassir Islam Imam Ibnu Qayyim; "menjadi bodoh dan menjadi lemah sama dosanya menjadi zalim".

 

Atas dasar itu, Mardani mengajak semua pihak untuk tetap melakukan pengawasan terhadap jalannya sebuah pemerintahan. Termasuk parpol di luar pemerintah alias oposisi. 

 

"Ayok sama-sama jangan lemah dan jangan bodoh, kita kawal pemerintah, termasuk oposisi juga harus dikawal. Sehingga semuanya betul-betul bekerja buat rakyat," tegasnya.

 

Mardani menambahkan, sikap PKS tegas menolak keras wacana penambahan masa jabatan presiden tiga periode dengan alasan apapun.

 

Masyarakat, kata Mardani, diharapkan terus mengawasi wacana tersebut sebab ia meyakini kemungkinan itu terjadi sangat terbuka lebar. 

 

"Karena itu, Civil Society dan siapapun harus hati-hati dan terus bekerja. Karena UU KPK dalam waktu 3 bulan digulung semuanya efeknya sekarang, kasian sekali KPK sekarang," tuturnya.

 

"Karena itu, publik awasi isu ini jangan sampai berkembang dan ketika masih baru atau test the water kita langsung kasih counternya. Makanya saya selalu counter ide jabatan tiga periode ini, buat demokrasi," demikian Mardani.

 

Selain Mardani, turut hadir narasumber lain dalam diskusi yang diselenggarakan Kantor Berita Politik RMOL itu yakni Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga dan Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati. (rmol)



 

SANCAnews Pengamat politik Rocky Gerung menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berupaya keras untuk menyelamatkan diri sampai 2024.

 

Tak hanya itu, pemerintah juga masih ingin dianggap berhasil selama berkuasa, “Keberhasilan itu harus ditopang dengan proyek-proyek infrastruktur,” ujarnya dalam video di kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu (1/9).

 

Hal itulah yang membuat proyek-proyek besar infrastruktur masih berjalan di tengah terpaan badai pandemi Covid-19.

 

Menurut Rocky, Presiden Jokowi sebenarnya juga tak paham dengan nota APBN yang dibacakan pada Sidang Tahunan MPR pada 16 Agustus 2021.

 

Rocky mengatakan, jika Presiden Jokowi paham dengan rancangan anggaran tersebut, mantan wali kota Solo itu pasti sudah panik.

 

“Karena dia enggak paham, akhirnya dia setujui saja. Itu berarti angka-angka yang dibacakan Jokowi disodorkan oleh oligarki ekonomi dan partai,” ungkapnya.

 

Akademisi itu mengatakan bahwa setidaknya tiga partai besar Indonesia masih mengharapkan uang kampanye untuk 2024 bisa diambil dari APBN.

 

Rocky pun menilai bahwa APBN akhirnya hanya dianggap sebagai lahan garapan bagi para politisi untuk mendapatkan biaya.

 

“Hal itu membuat ada politisi yang mendekati presiden dan mengusulkan proyek-proyek besar, seperti pemindahan ibu kota,” katanya. (genpi)




SANCAnews Wacana amandemen UUD 1945 dengan agenda memperpanjang kekuasaan Presiden terus mengemuka.

 

Pakar politik UGM, Mada Sukmajati, tegas menyebut wacana itu tak ubahnya dengan tabiat politik Orde Baru dalam memandang kekuasaan.

 

"Kalau (amandemen) memperpanjang periode presiden untuk tiga periode itu tidak ada urgensinya," tegas Mada Sukmajati saat dihubungi wartawan, Kamis (2/9/2021).

 

Dosen Fisipol UGM itu memaparkan amandemen konstitusi hanya perlu dilakukan ketika ada banyak hal yang harus diubah. Dikatakannya, konstitusi Indonesia bermuara ke Pembukaan UUD 45 sehingga rumusan dalam pasal-pasal konstitusi harus diarahkan pada tujuan berbangsa dan bernegara.

 

"Termasuk soal isu tiga periode itu tidak ada urgensi untuk itu. Karena sekarang ada banyak partai politik yang salah satu fungsinya rekruitmen politik," tegasnya.

 

"Yang harus diamandemen parpolnya bukan UUD 45, yang direformasi ya parpolnya sehingga bisa melakukan proses rekruitmen dengan baik dan benar bukan dengan jalan pintas mengamandemen UUD 45," lanjutnya.

 

Mada menegaskan jika amandemen dipaksakan hanya untuk melayani kepentingan segelintir orang bisa berdampak pada gonjang-ganjing politik di Indonesia dan tuntutan untuk reformasi bisa kembali terulang.

 

"Jadi tidak menyelesaikan masalah, justru bisa melahirkan masalah baru kalau amandemennya hanya untuk pasal kepentingan memperpanjang periode jabatan," tambahnya.

 

Ia juga mengingatkan, pembatasan masa jabatan presiden selama dua periode juga untuk membatasi kekuasaan. Agar periode kelam Orde Baru tak terulang kembali.

 

"Pembatasan masa jabatan dua periode ini dulu semangatnya untuk membatasi kekuasaan karena trauma kita pada Orde Baru karena tidak ada pembatasan kekuasaan. Kok ini malah tiga periode kurang perpanjang lagi jadi empat, sama saja dengan Orde Baru dulu. Jadi nggak berbeda," tegasnya.

 

Ia pun mempertanyakan fungsi parpol yang harusnya bisa melakukan rekrutmen politik untuk memunculkan pemimpin baru.

 

"Ini seperti nggak ada alternatif pemimpin yang baik saja. Ini sangat melecehkan kita sebagai sebuah bangsa dan negara," pungkasnya. (dtk)



 

SANCAnews Seorang dokter di RSUD Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan (Sulsel), Adiany Adil, membuat pernyataan bahwa COVID-19 bukan diagnosis dan pasien COVID-19 tidak pernah ada. Pernyataan Adiany itu viral di media sosial dan membuatnya dipanggil polisi.

 

Pernyataan itu dituliskan dalam sebuah surat pernyataan yang ditandatangani Adiany pada 25 Agustus 2021. Adiany juga menyertakan nomor teleponnya di surat itu. Berikut ini pernyataan Adiany;

 

Yang bertanda tangan di bawah ini, atas nama dr. Adiany Adil sebagai salah satu pihak yang berwenang dan berkompeten membuat pernyataan akan COVID-19.

 

Bahwa berdasarkan disiplin ilmu saya yaitu berkenaan dengan profesi dokter, sosok ahli dalam hal penegakan diagnosis, maka saya dengan tegas dan jelas tetapkan bahwa sejak dahulu hingga detik ini para dokter termasuk saya tidak pernah tegakkan diagnosis COVID-19. Bahwa dalam teori dan praktek kedokteran, TIDAK PERNAH ADA DIAGNOSIS COVID-19/CORONA VIRUS DISEASE-19. Dan olehnya itu, pasien COVID-19 itu tidak pernah ada.

 

Demikianlah surat pernyataan yang saya buat untuk dipergunakan demi kemaslahatan ummat manusia.

 

Ketika dimintai konfirmasi detikcom, Kamis (2/9/2021), Adiany Adil menegaskan pernyataannya itu benar adanya.

 

"Itu bukan pernyataan kontroversial, sebab apa yang saya nyatakan itu adalah ilmu pengetahuan, ilmu kedokteran, jadi fix, harga mati tidak dapat ditawar lagi. So, tidak ada yang dpaat menggangu gugat. Semua dokter di belahan bumi manapun pasti tahu perihal COVID-19 itu bukanlah diagnosa, bukan menjadi jenis penyakit yang dijadikan dokter sebagai diagnosa," tulisnya.

 

Karena yakin COVID-19 bukan diagnosa, Adiany mengaku berani membuat pernyataannya itu dan menyebarkannya ke media sosial. Dia lalu menantang dokter lain yang menyebut COVID-19 sebagai diagnosa.

 

"Makanya saya tantang pihak dokter yang katanya ilmu kedokteran-nya ter-update untuk menunjukkan teori perihal COVID-19. Tertera di text book terbitan tahun berapa dan halaman berapa yang menyatakan COVID-19 adakah diagnosa," tuturnya.

 

Atas pernyataan tersebut kata Adiany, dia sempat dimintai klarifikasi oleh pihak Polres Enrekang dan Kodim 1419 Enrekang. Dia juga mengaku mendapat apresiasi dari Polres dan Kodim Enrekang.

 

"Beliau berterima kasih karena diberikan pencerahan sehingga dari tidak tahu menjadi tahu. Dari pihak Polres menyatakan saat ini timbul pertentangan batin sebab fakta yang ada kontradiksi dengan yang didoktrinkan di tempat kerjanya," terangnya.

 

Menurut Adiany, IDI Cabang Enrekang yang justru memperlihatkan sikap yang tidak etis dengan menunjuk-nunjuk dan menyuruhnya diam saat dilakukan pertemuan.

 

"Sehingga saya memutuskan meninggalkan ruangan dan terlebih dahulu saya beritahukan gampang ingin membantah pernyataan saya cukup teman sejawat membuat pernyataan tandingan sebagai bantahan surat pernyataan saya," tegasnya.

 

Terpisah, Kapolres Enrekang AKBP Sinjaya mengaku pihaknya saat ini tengah mengusut tentang viralnya surat pernyataan sang dokter di sosial media.

 

"Adanya laporan Informasi dari masyarakat yang viral di media sosial mendasari Kami mengambil langkah cepat dengan melakukan pemanggilan terhadap yang bersangkutan untuk dimintai keterangan, yang bersangkutan juga berstatus seorang PNS dalam lingkup Pemkab Enrekang," ujarnya.

 

Untuk pemeriksaan lanjutan kata Andi, pihaknya masih menunggu hasil klarifikasi dari IDI Kabupaten Enrekang sebagai lembaga profesi yang menaungi yang bersangkutan.

 

"Sementara itu, langkah selanjutnya kami akan lakukan pemanggilan terhadap pihak dan instansi terkait untuk pemeriksaan lebih lanjut sehubungan dengan perbuatan saudara Adiany," tandasnya.

 

Andi juga mengaku masih melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap kasus tersebut.

 

"Jika perbuatan yang bersangkutan ditemukan unsur melawan hukum, akan dilakukan proses hukum sesuai aturan yang berlaku," tutupnya. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.