Latest Post


 

SANCAnews Pengamat politik Rocky Gerung menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berupaya keras untuk menyelamatkan diri sampai 2024.

 

Tak hanya itu, pemerintah juga masih ingin dianggap berhasil selama berkuasa, “Keberhasilan itu harus ditopang dengan proyek-proyek infrastruktur,” ujarnya dalam video di kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu (1/9).

 

Hal itulah yang membuat proyek-proyek besar infrastruktur masih berjalan di tengah terpaan badai pandemi Covid-19.

 

Menurut Rocky, Presiden Jokowi sebenarnya juga tak paham dengan nota APBN yang dibacakan pada Sidang Tahunan MPR pada 16 Agustus 2021.

 

Rocky mengatakan, jika Presiden Jokowi paham dengan rancangan anggaran tersebut, mantan wali kota Solo itu pasti sudah panik.

 

“Karena dia enggak paham, akhirnya dia setujui saja. Itu berarti angka-angka yang dibacakan Jokowi disodorkan oleh oligarki ekonomi dan partai,” ungkapnya.

 

Akademisi itu mengatakan bahwa setidaknya tiga partai besar Indonesia masih mengharapkan uang kampanye untuk 2024 bisa diambil dari APBN.

 

Rocky pun menilai bahwa APBN akhirnya hanya dianggap sebagai lahan garapan bagi para politisi untuk mendapatkan biaya.

 

“Hal itu membuat ada politisi yang mendekati presiden dan mengusulkan proyek-proyek besar, seperti pemindahan ibu kota,” katanya. (genpi)




SANCAnews Wacana amandemen UUD 1945 dengan agenda memperpanjang kekuasaan Presiden terus mengemuka.

 

Pakar politik UGM, Mada Sukmajati, tegas menyebut wacana itu tak ubahnya dengan tabiat politik Orde Baru dalam memandang kekuasaan.

 

"Kalau (amandemen) memperpanjang periode presiden untuk tiga periode itu tidak ada urgensinya," tegas Mada Sukmajati saat dihubungi wartawan, Kamis (2/9/2021).

 

Dosen Fisipol UGM itu memaparkan amandemen konstitusi hanya perlu dilakukan ketika ada banyak hal yang harus diubah. Dikatakannya, konstitusi Indonesia bermuara ke Pembukaan UUD 45 sehingga rumusan dalam pasal-pasal konstitusi harus diarahkan pada tujuan berbangsa dan bernegara.

 

"Termasuk soal isu tiga periode itu tidak ada urgensi untuk itu. Karena sekarang ada banyak partai politik yang salah satu fungsinya rekruitmen politik," tegasnya.

 

"Yang harus diamandemen parpolnya bukan UUD 45, yang direformasi ya parpolnya sehingga bisa melakukan proses rekruitmen dengan baik dan benar bukan dengan jalan pintas mengamandemen UUD 45," lanjutnya.

 

Mada menegaskan jika amandemen dipaksakan hanya untuk melayani kepentingan segelintir orang bisa berdampak pada gonjang-ganjing politik di Indonesia dan tuntutan untuk reformasi bisa kembali terulang.

 

"Jadi tidak menyelesaikan masalah, justru bisa melahirkan masalah baru kalau amandemennya hanya untuk pasal kepentingan memperpanjang periode jabatan," tambahnya.

 

Ia juga mengingatkan, pembatasan masa jabatan presiden selama dua periode juga untuk membatasi kekuasaan. Agar periode kelam Orde Baru tak terulang kembali.

 

"Pembatasan masa jabatan dua periode ini dulu semangatnya untuk membatasi kekuasaan karena trauma kita pada Orde Baru karena tidak ada pembatasan kekuasaan. Kok ini malah tiga periode kurang perpanjang lagi jadi empat, sama saja dengan Orde Baru dulu. Jadi nggak berbeda," tegasnya.

 

Ia pun mempertanyakan fungsi parpol yang harusnya bisa melakukan rekrutmen politik untuk memunculkan pemimpin baru.

 

"Ini seperti nggak ada alternatif pemimpin yang baik saja. Ini sangat melecehkan kita sebagai sebuah bangsa dan negara," pungkasnya. (dtk)



 

SANCAnews Seorang dokter di RSUD Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan (Sulsel), Adiany Adil, membuat pernyataan bahwa COVID-19 bukan diagnosis dan pasien COVID-19 tidak pernah ada. Pernyataan Adiany itu viral di media sosial dan membuatnya dipanggil polisi.

 

Pernyataan itu dituliskan dalam sebuah surat pernyataan yang ditandatangani Adiany pada 25 Agustus 2021. Adiany juga menyertakan nomor teleponnya di surat itu. Berikut ini pernyataan Adiany;

 

Yang bertanda tangan di bawah ini, atas nama dr. Adiany Adil sebagai salah satu pihak yang berwenang dan berkompeten membuat pernyataan akan COVID-19.

 

Bahwa berdasarkan disiplin ilmu saya yaitu berkenaan dengan profesi dokter, sosok ahli dalam hal penegakan diagnosis, maka saya dengan tegas dan jelas tetapkan bahwa sejak dahulu hingga detik ini para dokter termasuk saya tidak pernah tegakkan diagnosis COVID-19. Bahwa dalam teori dan praktek kedokteran, TIDAK PERNAH ADA DIAGNOSIS COVID-19/CORONA VIRUS DISEASE-19. Dan olehnya itu, pasien COVID-19 itu tidak pernah ada.

 

Demikianlah surat pernyataan yang saya buat untuk dipergunakan demi kemaslahatan ummat manusia.

 

Ketika dimintai konfirmasi detikcom, Kamis (2/9/2021), Adiany Adil menegaskan pernyataannya itu benar adanya.

 

"Itu bukan pernyataan kontroversial, sebab apa yang saya nyatakan itu adalah ilmu pengetahuan, ilmu kedokteran, jadi fix, harga mati tidak dapat ditawar lagi. So, tidak ada yang dpaat menggangu gugat. Semua dokter di belahan bumi manapun pasti tahu perihal COVID-19 itu bukanlah diagnosa, bukan menjadi jenis penyakit yang dijadikan dokter sebagai diagnosa," tulisnya.

 

Karena yakin COVID-19 bukan diagnosa, Adiany mengaku berani membuat pernyataannya itu dan menyebarkannya ke media sosial. Dia lalu menantang dokter lain yang menyebut COVID-19 sebagai diagnosa.

 

"Makanya saya tantang pihak dokter yang katanya ilmu kedokteran-nya ter-update untuk menunjukkan teori perihal COVID-19. Tertera di text book terbitan tahun berapa dan halaman berapa yang menyatakan COVID-19 adakah diagnosa," tuturnya.

 

Atas pernyataan tersebut kata Adiany, dia sempat dimintai klarifikasi oleh pihak Polres Enrekang dan Kodim 1419 Enrekang. Dia juga mengaku mendapat apresiasi dari Polres dan Kodim Enrekang.

 

"Beliau berterima kasih karena diberikan pencerahan sehingga dari tidak tahu menjadi tahu. Dari pihak Polres menyatakan saat ini timbul pertentangan batin sebab fakta yang ada kontradiksi dengan yang didoktrinkan di tempat kerjanya," terangnya.

 

Menurut Adiany, IDI Cabang Enrekang yang justru memperlihatkan sikap yang tidak etis dengan menunjuk-nunjuk dan menyuruhnya diam saat dilakukan pertemuan.

 

"Sehingga saya memutuskan meninggalkan ruangan dan terlebih dahulu saya beritahukan gampang ingin membantah pernyataan saya cukup teman sejawat membuat pernyataan tandingan sebagai bantahan surat pernyataan saya," tegasnya.

 

Terpisah, Kapolres Enrekang AKBP Sinjaya mengaku pihaknya saat ini tengah mengusut tentang viralnya surat pernyataan sang dokter di sosial media.

 

"Adanya laporan Informasi dari masyarakat yang viral di media sosial mendasari Kami mengambil langkah cepat dengan melakukan pemanggilan terhadap yang bersangkutan untuk dimintai keterangan, yang bersangkutan juga berstatus seorang PNS dalam lingkup Pemkab Enrekang," ujarnya.

 

Untuk pemeriksaan lanjutan kata Andi, pihaknya masih menunggu hasil klarifikasi dari IDI Kabupaten Enrekang sebagai lembaga profesi yang menaungi yang bersangkutan.

 

"Sementara itu, langkah selanjutnya kami akan lakukan pemanggilan terhadap pihak dan instansi terkait untuk pemeriksaan lebih lanjut sehubungan dengan perbuatan saudara Adiany," tandasnya.

 

Andi juga mengaku masih melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap kasus tersebut.

 

"Jika perbuatan yang bersangkutan ditemukan unsur melawan hukum, akan dilakukan proses hukum sesuai aturan yang berlaku," tutupnya. []



 

SANCAnews Isu amandemen UUD 45 yang di antaranya akan mengembalikan MPR RI menjadi lembaga negara paling tertinggi tengah jadi bola panas di masyarakat. Apalagi, amandemen tersebut juga membahas soal penambahan masa jabatan presiden.

 

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas mengatakan, Indonesia harus belajar dari sejarah, terutama pada sejarah kepemimpinan Soeharto yang dilengserkan oleh rakyat. Anwar pun merujuk pernyataan Lord Acton bahwa kekuasaan itu cenderung korup.

 

"Ini mencerminkan negara kekuasaan jadinya, bukan negara yang mengedepankan kedaulatan rakyat,” ucap Anwar kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (2/9).

 

Menurutnya, ide penambahan masa jabatan presiden akan menghambat demokrasi. Terlebih saat ini Indonesia sedang dihantam pandemi Covid-19 yang tidak maksimal penanganannya.

 

Kejenuhan masyarakat dengan kinerja pemerintah dapat memicu gelombang besar jika isu penambahan masa jabatan presiden menguat.

 

"Jadi, bapak itu dua periode sudah cukup. Maaf saja, orang sudah banyak yang muak dengan situasi Covid-19 dengan keadaan ekonomi yang parah, rendahnya kemampuan pemerintah mengatasi masalah Covid-19 dan ekonomi. Jangan dikira rakyat senang saat ini,” katanya.

 

Jika MPR, DPR, dan DPD akhirnya akan memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode, Anwar khawatir akan timbul gejolak di masyarakat.

 

“Dan saya yakin pemerintah akan menurunkan aparat kepolisian dan tentara. Tapi kalau rakyat marah, emangnya rakyat takut sama bedil kalau marah. Saya rasa kalau rakyat marah, sampai tingkat puncak enggak takut bedil. Bagi saya, kita kan sudah putuskan membatasi dua periode,” tandasnya. []



 

SANCAnews Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD kembali menyita perhatian publik. Tepatnya saat Mahfud berbicara di acara Haul ke-12 Gus Dur yang disiarkan di kanal YouTube NU Channel Minggu (22/8).

 

Dalam pernyataannya itu, Menko Mahfud menyebut pelengseran Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tidak sah dari sudut pandang hukum tata negara menyita perhatian publik.

 

Bagi Direktur Eksekutif Parameter Indonesia, Adi Prayitno, Mahfud MD tidak cukup hanya menyatakan pelengseran Gus Dur tidak sesuai hukum. Tetapi, siapa yang menggerakkan sampai dilanggarnya hukum itu juga harus disebutkan.

 

"Mahfud ini mestinya jangan hanya bicara hukum tata negara, tapi dia mestinya harus me-mention siapa aktor-aktor yang yang melakukan itu," ujar Adi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (2/9).

 

Menurutnya, ada banyak pihak yang ada dalam sistem pelengseran Gus Dur. Terutama, MPR RI kala itu yang punya hak untuk mengangkat dan memberhentikan jabatan presiden.

 

"Tentu sifatnya kolektif kolegial MPR, karena Gus Dur diberhentikan oleh MPR yang berhak untuk itu, apalagi tuduhan-tuduhan kepada Gus Dur tidak bisa dibuktikan, Buloggate dan Bruneigate kan cuma gosip saja," katanya.

 

Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menekankan, agar Mahfud bisa meluruskan sejarah lengsernya Gus Dur. Siapa aktornya dan siapa yang mendapat keuntungan.

 

"Siapa yang melakukan itu (pelengseran Gus Dur)? Sehingga tidak ada tuduhan yang mengarah pada seseorang yang mengambil manfaat dari pelengseran Gus Dur," pungkasnya.

 

Mahfud MD mengatakan, penjatuhan Gus Dur pada 2001 tidak sesuai dengan Ketetapan MPR 3/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan-Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.

 

Mahfud menjelaskan, salah satu bunyi TAP MPR tersebut adalah penjatuhan Presiden dapat dilakukan apabila 'benar-benar' melanggar haluan negara dengan diberi memorandum I, II, dan III. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.