Latest Post


 

SANCAnews – Saat ini banyak yang menyoroti penegakan hukum terhadap golongan tertentu. Baru-baru ini yakni kasus YouTuber Muhammad Kece dan juga Yahya Waloni. Namun, ada salah satu influencer yang menyoroti kasus tersebut.

 

Menurut influencer bernama Sherly Annavita, bahwa kasus hukum saat ini dinilai tebang pilih. Sebab dirinya melihat jika kasus yang menimpa orang yang masuk lingkaran penguasa dianggap selesai.

 

Menyadur dari WartaEkonomi.co.id, menurut Sherly, kalau mereka yang ‘sebarisan’ dengan penguasa justru selalu aman dan seolah tak tersentuh.

 

Contoh kasus, misalnya soal viralnya mural mirip Presiden Jokowi ‘404 Not Found’ di mana sang pembuat mural tersebut diburu oleh aparat kepolisian karena dinilai menghina simbol negara.

 

Sherly Annavita menyebut bahwa langkah polisi dalam mencari pembuat mural itu pun tergolong cepat dan reaktif.

 

Meskipun pada akhirnya pencarian harus dihentikan atas arahan Presiden Jokowi melalui Kapolri Listo Sigit Prabowo.

 

“Kadang kita bingung kenapa kalau rakyat kecil dan dianggap berseberangan dengan penguasa melakukan kesalahan begitu cepat dan tegas proses hukum ditegakkan,” ujar Sherly.

 

Ia menyebut bahwa seolah pihak yang dianggap berseberangan dengan penguasa harus dicari sampai ketemu salahnya.

 

Namun, berbanding terbalik dengan penegakan hukum yang menimpa pihak-pihak yang diduga satu kubu dengan Pemerintah.

 

Misalnya saja dalam kasus pegiat media sosial Abu Janda yang kerap mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial, bahkan cenderung mengarah ke ujaran kebencian.

 

Namun, hingga ini masih aman-aman saja, padahal sejumlah pihak diketahui sudah pernah melaporkan Abu Janda ke polisi atas dugaan ujaran kebencian.

 

Diketahui, Abu Janda atau Permadi Arya sudah enam kali dilaporkan, tetapi tak ada satupun laporan yang berlanjut. Akibatnya, ia terkesan ‘kebal hukum’.

 

Hal itu pun ternyata tak luput dari sorotan Sherly Annavita yang turut mempertanyakan keanehan ersebut.

 

“Namun yang dianggap satu barisan dengan penguasa seolah bisa terus aman dan tak tersentuh,” kata Sherly.

 

“Walau sudah berulang kali dilaporkan dan diminta penegakkan hukumnya atasnya,” tambahnya. (suara)



 

SANCAnews – Mantan imam besar Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab batal bebas dari hukuman yang menjeratnya atas kasus kerumunan yang terjadi tahun lalu saat kepulangannya dari Arab Saudi.

 

Banyak kalangan yang kecewa dengan keputusan hakim tersebut. Merespons hal itu, anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil langsung mengingatkan majelis hakim yang mengadili Habib Rizieq Shihab (HRS).

 

Kata politisi PKS itu, Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Dengan demikian, semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.

 

Dalam pandangan Nasir Djamil, sudah selayaknya Habib Rizieq dibebaskan, "Bangsa ini akan runtuh manakala hakim bertindak tidak adil, karena tidak ada lagi yang layak menjadi pelindung,” kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (29/8).

 

Legislator asal Aceh ini menambahkan, dalam kasus yang menjerat HRS idealnya hakim wajib menggali.

 

Selain itu hakim harus mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang di hidup di dalam masyarakat.

 

Ia mengingatkan bahwa hukum dasarnya bukan pertimbangan atau tekanan dari yang punya kuasa.

 

"Terus terang saya miris mengikuti pemberitaan persidangan HRS. Ada kesan yang sangat kuat di tengah masyarakat bahwa hakim yang mengadili HRS sepertinya diintervensi pihak-pihak lain yang berpengaruh,” tandasnya. []



 

SANCAnews – Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa menyerahkan polemik Bupati Jember Hendy Siswanto ke aparat penegak hukum. Hendy diduga mendapat honor dari pemakaman Covid-19.

 

"Enam hari lalu, inspektorat sudah ke sana (Jember). Dua hari lalu pak inspektur menyampaikan bahwa semua sepakat mengembalikan. Proses selanjutnya kan ada aparat penegak hukum yang akan memproses selanjutnya," kata Khofifah disela meninjau vaksinasi yang digelar IKA Unair bersama Badan Koordinasi Kesejahteraan Sosial (BK3S) di Gedung BK3S , Surabaya, Minggu (29/8/2021).

 

Khofifah memastikan, pihaknya tidak pernah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) maupun Surat Edaran (SE) terkait honor dalam penanganan Covid-19.

 

"Di Pemprov Jawa Timur tidak ada yang berhonor. Tidak ada raker maupun rakor terkait penanganan Covid-19 yang itu berhonor," kata Khofifah.

 

Diketahui, Bupati Jember Hendy Siswanto mengembalikan honor pemakaman Covid-19 yang dia terima sebesar Rp70,5 juta ke kas daerah. Langkah itu juga diikuti sejumlah pejabat Pemkab Jember yang ikut menerima honor.

 

"Sudah dikembalikan ke Kasda. Nominalnya untuk empat orang pejabat, saya, Pak Bupati, Plt Kepala BPBD dan kabidnya, masing-masing Rp70,5 juta. Jadi totalnya ada Rp282 juta," kata Sekda Jember, Mirfano Jumat (27/8/2021).

 

Selain bupati, pejabat yang mengembalikan honor yakni Sekda Jember Mirfano, Plt Kepala BPBD Jember M Jamil dan dua orang kepala bidang di BPBD. Mirfano mengatakan, honor tersebut telah dikembalikan ke kas daerah Kabupaten Jember.

 

Mirfano menyebut menyaksikan langsung staf bendaharanya menyerahkan honor itu ke kas daerah di Bank Jatim Cabang Jember.

 

Menurutnya, honor pemakaman Covid tersebut diterima bukan untuk kepentingan pribadi. Bupati Jember dan penerima honor lainnya menyumbangkan honor tersebut kepada keluarga korban Covid-19. Mirfano mengklaim, uang yang dikembalikan bupati ke kas daerah merupakan uang pribadi.

 

"Sehingga (honor disumbangkan) tersebut yang dilakukan bupati diganti dengan dari uangnya sendiri. Karena uangnya yang dari honor itu juga ikut dikembalikan," kata Mirfano.

 

Mirfano menjelaskan awal mula bupati dan pejabat lainnya mendapat dana pemakaman tersebut. Menurutnya dana itu untuk pengurusan jenazah Covid-19 di bulan Juli 2021. Saat itu ada lebih dari 1.000 pemakaman jenazah Covid-19 .

 

Pemkab Jember harus menjamin tidak boleh ada satu pun jenazah yang terlantar. Di lapangan para petugas pemakaman harus bekerja dari pagi sampai pagi lagi.

 

"Karena pada bulan Juli itu kematian karena Covid-19 rata-rata lebih dari 50 orang per hari, saat puncaknya serangan pandemi. Para petugas pemakaman juga harus berhadapan dengan keluarga yang marah dan sempat ada kekerasan fisik," tutur Mirfano. (lukman hakim). (inews)



 

SANCAnews – Pengacara Juju Purwanto bersama advokat muslim lainnya berencana mengajukan permohonan penangguhan penahanan tersangka kasus dugaan ujaran kebencian dan penodaan agama, Ustaz Yahya Waloni ke penyidik Bareskrim Polri.

 

Permohonan ini akan dilayangkan usai pihaknya menerima surat kuasa dari Ustaz Yahya Waloni.

 

Lebih lanjut, Juju mengemukakan, kekinian pihaknya belum menerima surat kuasa dari Yahya Waloni lantaran yang bersangkutan masih dirawat di Rumah Sakit (RS) Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.

 

"Surat kuasa belum ditandatangani beliau karena Jumat lalu di RS Polri, tidak bisa ditemui," katanya kepada Suara.com, Minggu (29/8/2021).

 

Dia menjelaskan, rencana permohonan penangguhan penahanan itu dilakukan dengan pertimbangan kesehatan Yahya Waloni.

 

Sebab menurutnya, kesehatan Yahya Waloni merupakan hal yang perlu diprioritaskan untuk saat ini.

 

"Kami akan ikuti legal step (BAP) berikutnya jika diperlukan, dan tentu siapa kuasanya akan minta penangguhan penahanan atau pembantaran karena kondisi kesehatan beliau. Prioritas adalah  Ustadz Waloni agar kesehatannya pulih dulu," katanya. []



 

SANCAnews – Aparat kepolisian mendapatkan apresiasi publik setelah melakukan penangkapan terhadap M. Kece dan Yahya Waloni dalam kasus dugaan penistaan agama. Polisi dinilai mampu bergerak cepat menangkal keduanya yang viral di media sosial.

 

Usai menangkap Yahya Waloni dan M. Kece, Bareskrim Polri kembali didesak agar memperlakukan hal yang sama terhadap para pegiat media sosial atau buzzer yang selama ini dinilai telah meresahkan masyarakat dengan pernyataan-pernyataan yang dinilai telah melukai umat beragama.

 

Dua pegiat media sosial, Permadi Arya alias Abu Janda dan Denny Siregar dikenal sebagai pendukung pemerintah. Kedua nama itu, dipandang kerap melontarkan pernyataan yang memperkeruh toleransi dan kerukunan umat beragama.

 

Desakan itu salah satunya disuarakan Ketua Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Razikin. Dia meminta agar polisi bertindak preventif dan responsif dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan penistaan agama.

 

"Polisi harus menjawab tuntutan dari masyarakat untuk menangkap Abu Janda dan Denny Siregar," ujar Razikin kepada wartawan, Minggu (29/8).

 

Sebagai bangsa yang kental dengan keberagaman, kata Razikin, perlu kecermatan dan kearifan mengembangkan sikap toleransi serta wawasan multkulturalisme dalam merawat keharmanisan sosial.

 

"Pada titik itu, harus zero toleran terhadap siapapun yang berupaya mengganggu atau mengacak-acaknya. Karena sangat mahal ongkos sosial dan politik yang harus kita tanggung jika terjadi benturan yang berlatar belakang keagamaan," katanya.

 

Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti. Menurutnya, Indonesia adalah negara hukum sehingga tidak ada dan tidak boleh ada individu atau kelompok yang kebal hukum.

 

"Fenomena buzzer adalah konsekwensi perkembangan media sosial dan penggunaan Internet yang sangat masif di masyarakat. Meski demikian, fenomena buzzer lebih banyak mendatangkan mudlarat dibandingkan dengan manfaat dan maslahat. Para buzzer justeru menimbulkan kekisruhan dan kegaduhan yang berpotensi memecah belah masyarakat," katanya.

 

"Saya berharap pihak-pihak tertentu yang mengelola "industri buzzer" dapat menghentikan aktivitas yang kontraproduktif dan provokasi yang tidak mendidik," sambung Abdul Mu'ti.

 

Selain Muhammadiyah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Umar Hasibuan juga mengaku sangat mengapresiasi atas tindakan cepat Kepolisian dalam menangkap dua penista agama yakni M. Kece dan Yahya Waloni.

 

Namun, pria yang karib disapa Gus Umar ini, juga merasa bingung dengan penegakan hukum di Indonesia. Pasalnya, orang-orang yang terus mendukung sebuah kepentingan seperti buzzer di media sosial terus berkeliaran dan seperti tidak pernah ditindak pihak kepolisian.

 

Pernyataan ini pun diamini Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie. Dia berharal pihak kepolisian juga bertindak sama dalam menangani kasus atau menanggapi laporan terhadap para Buzzer.

 

"Ada apa dengan kawan-kawan polisi? Tak perlu takut menjebloskan para kelompok buzzer kalau sudah jelas-jelas melanggar UU ITE," tandasnya. (rmol


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.