Latest Post


 

SANCAnews Kekecewaan publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin meluas. Hal ini ditandai dengan maraknya mural bernada protes terhadap rezim Jokowi yang awalnya hanya di beberapa daerah, kini mulai merambah ke perkotaan.

 

"Mural-mural itu sebagai bentuk kekecewaan pembuatnya atas pengelolaan negara dan penanganan pandemi yang tak beres-beres," kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, sesaat lalu di Jakarta, Sabtu pagi (28/8).

 

Menurut Dosen Ilmu Politik Universitas Al-Azhar Indonesia ini, fenomena mural tersebut sebagai ekspresi kesusahan dan kegelisahan masyarakat. Bahkan, di pandemi Covid-19 sekarang, masyarakat susah hanya untuk mencari makan.

 

"Makanya mereka melakukan kritik sosial melalui mural. Mengkritik elite melalui mural," demikian Ujang Komarudin.

 

Fenomena mural bernada kritik terhadap rezim Jokowi semakin marak terjadi belakangan ini. Bahkan, mural merambah tidak hanya di daerah-daerah, melainkan sudah merambah ke perkotaan.

 

Setelah ramai mural mirip Jokowi dengan mata tertutup tulisan "404: Not Found", di Tangerang, mural kritis juga ditemukan di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM) beberapa waktu lalu. Mural tersebut bertuliskan "Jokowi Gagal! Cuma di era ini koruptor happy selfi". []


 

SANCAnews Wacana amandemen UUD 1945 kembali mencuat. Itu setelah Ketua MPR RI, Bambang Sosesatyo menyinggungnya dalam acara peringatan Hari Konstitusi dan Ulang Tahun MPR ke-76, Rabu (18/8/2021).

 

Terlebih, koalisi pemerintah saat ini dengan bergabungnya PAN hanya membutuhkan 3 kursi DPD RI untuk memuluskan perubahan UUD 1945.

 

Tokoh Nahdatul Ulama (NU), Umar Hasibuan pun mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal pernyataannya pada akhir tahun 2019 lalu.

 

Saat itu, Jokowi yang ditanya soal wacana masa jabatan presiden 3 mengatakan pihak yang memunculkan wacana itu hendak mencari muka ke dirinya.

 

“Sejak awal sudah saya sampaikan bahwa saya produk pemilihan langsung. Saat itu waktu ada keinginan amandemen, apa jawaban saya? Untuk urusan haluan negara, jangan melebar ke mana-mana,” kata Jokowi kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (2/12/2019).

 

“Kenyataannya seperti itu kan. Presiden dipilih MPR, presiden 3 periode, presiden satu kali 8 tahun. Seperti yang saya sampaikan. Jadi, lebih baik tidak usah amendemen,” sambungnya.

 

Daripada amandemen UUD 1945 melebar, Jokowi meminta lebih baik berfokus ke tekanan-tekanan eksternal. Jokowi tak langsung menunjuk hidung pihak yang dia maksud, namun dia menyebut ada yang ingin mencari muka hingga menjerumuskannya.

 

“Ada yang ngomong presiden dipilih 3 periode, itu ada 3. Ingin menampar muka saya, ingin cari muka, padahal saya punya muka. Ketiga ingin menjerumuskan. Itu saja, sudah saya sampaikan,” ucap Jokowi.

 

Gus Umar sapaan akrabnya pun berharap, Jokowi masih mengingat pernyatannya itu. Dan tidak memaksakan kehendak dengan merubah konstitusi negara.

 

” Saya berharap @jokowi konsisten menolak amandemen UU ttg perpanjangan jabatan presiden 3 priode. Semoga,” tulis Gus Umar dengan menyertakan potongan video konferensi pers Jokowi.

 

Cuitan Gus Umar itu lantas dikomentari Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu.

 

Dirinya menyinggung kebiasaan buruk pemerintah saat ini. Di mana ada beberapa kebijakan atau kejadian yang justru berbanding terbalik dengan rencana atau apa yang diucapkan.

 

“Biasanya yg terjadi/dilakukan adalah sebaliknya,” sindirnya. (fajar) 


 


 

SANCAnews Tidak ada niatan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) mengubah masa jabatan presiden yang selama ini maksimal dua periode menjadi tiga periode.

 

"Selama ini niatan/wacana 'mengubah masa jabatan Presiden RI menjadi 3 periode' tidak pernah berasal dari MPR," tegas Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, Sabtu (28/8).

 

Politisi PKS ini menegaskan, wacana tersebut justru datangnya dari para mantan pimpinan partai politik.

 

"Pernah muncul justru dari luar DPR/MPR seperti individu aktivis survei, mantan pimpinan partai dan lain-lain. Tapi dari MPR, apalagi resmi, tidak ada. Yuk kawal dan laksanakan UUD 1945," tandasnya.

 

Wacana penambahan masa jabatan presiden kembali nyaring seiring dengan isu amandemen kelima UUD 1945, sekaligus mempertanyakan fungsi Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN).

 

Dalam Pasal 7 UUD 1945, diatur secara jelas soal jabatan presiden, yakni dalam memenuhi jabatan selama lima tahun dan sesudahnya, presiden dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. (rmol)



 

SANCAnews DPP Partai Demokrat menilai belum ada urgensi untuk mengubah konstitusi negara UUD 1945. Apalagi jika yang diamandemen adalah pasal yang mengatur soal perpanjangan masa jabatan presiden.

 

"Saat ini belum ada urgensinya UUD kita amandemen. Jika amandemen terhadap perpanjangan dan/atau penambahan masa jabatan presiden ini dilakukan, sebagai politisi dan warganegara saya menolaknya," kata Wasekjen Partai Demokrat, Jansen Sitindaon kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (28/8).

 

Jansen menegaskan, ia tidak ingin tercatat dalam lembar sejarah yang menjadi bagian kembalinya zaman kegelapan demokrasi di Indonesia, karena telah ikut andil mengutak-atik konstitusi untuk kekuasaan semata.

 

"Karena fungsi konstitusi itu untuk tujuan jangka panjang bangsa. Bukan jangka pendek demi melanggengkan kekuasaan semata," tegasnya.

 

"Jika ini terjadi, kita bukan hanya mematikan semangat reformasi, tapi kembali ke zaman 'kegelapan demokrasi'," demikian Jansen. []



 

SANCAnews Ustaz Hilmi Firdausi (UHF) turut mengomentari penangkapan Ustaz Yahya Waloni yang dituding telah menistakan agama Kristen. Dia bertanya-tanya, di mana letak kesalahan penceramah asal Sulawesi selatan tersebut, sampai polisi ramai-ramai menangkapnya?

 

Sebelumnya, Ustaz Yahya Waloni ditangkap tim dari Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri di kediamannya yang berlokasi di Cibubur, Jawa Barat, Kamis sore, 26 Agustus 2021.

 

Kepastian tersebut diungkapkan langsung Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Rusdi Hartono sesaat setelah penangkapan.

 

“Ya benar (ditangkap), kasus penodaan agama,” ujar Brigjen Rusdi Hartono saat dikonfirmasi, dikutip dari CNN, Jumat 27 Agustus 2021.

 

Menurut informasi yang kami terima, Yahya Waloni dijerat pasal yang sama dengan pelaku penghinaan agama lainnya, yakni Muhammad Kece. Dia dihadapkan pada Pasal 28 ayat 2 Juncto Pasal 45A ayat 2 Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang ITE dan atau pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.

 

“Sama seperti Muhammad Kece. Perilaku tindakannya hampir sama,” terang Rusdi.

 

Menariknya, meski dengan gamblang merendahkan agama lain, namun ada sejumlah pihak—termasuk penceramah lain yang membela Yahya Waloni atas perbuatannya tersebut. Salah satunya Ustaz Hilmi Firdausi yang bertanya-tanya mengenai keputusan polisi menangkap seniornya tersebut.

 

Ustaz Hilmi heran Yahya Waloni ditangkap polisi

 

Melalui akun medsos pribadinya, Ustaz Hilmi berpendapat, saat berceramah, jamaah Yahya Waloni hanya berasal dari kalangan Islam saja, bukan Kristen. Sehingga, menurutnya menjadi sah seandainya penceramah Sulawesi itu bicara demikian mengenai ajaran Yesus Kristus tersebut.

 

“Ditangkapnya Ustaz Yahya Waloni timbul pertanyaan, jika seseorang berceramah di depan umat agamanya, lalu menyampaikan kebenaran tentang agamanya yang pasti kontradiksi dengan agama lain, tidak untuk disebarluaskan (seperti Kece atau JPZ yang memang sengaja mengunggah ke publik), apakah itu termasuk penistaan agama?” tulis Ustaz Hilmi Firdausi, dikutip Jumat 27 Agustus 2021.

 

Diketahui, pada April lalu, Yahya Waloni juga dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri oleh sejumlah komunitas masyarakat lantaran diduga telah menista agama.

 

Laporan itu diterima dengan registrasi perkara dengan Nomor: LP/B/0287/IV/2021/BARESKRIM. Adapun pihak yang melaporkan Yahya mengatasnamakan dirinya sebagai Komunitas Masyarakat Cinta Pluralisme.

 

Dalam hal ini, ceramah Yahya yang diperkarakan ialah saat dirinya menyebut injil fiktif serta palsu. Perkara yang dilaporkan berkaitan dengan ujaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.

 

Yahya diduga melanggar Undang-undang nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). (hops)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.