Latest Post


 

SANCAnews Tidak ada niatan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) mengubah masa jabatan presiden yang selama ini maksimal dua periode menjadi tiga periode.

 

"Selama ini niatan/wacana 'mengubah masa jabatan Presiden RI menjadi 3 periode' tidak pernah berasal dari MPR," tegas Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, Sabtu (28/8).

 

Politisi PKS ini menegaskan, wacana tersebut justru datangnya dari para mantan pimpinan partai politik.

 

"Pernah muncul justru dari luar DPR/MPR seperti individu aktivis survei, mantan pimpinan partai dan lain-lain. Tapi dari MPR, apalagi resmi, tidak ada. Yuk kawal dan laksanakan UUD 1945," tandasnya.

 

Wacana penambahan masa jabatan presiden kembali nyaring seiring dengan isu amandemen kelima UUD 1945, sekaligus mempertanyakan fungsi Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN).

 

Dalam Pasal 7 UUD 1945, diatur secara jelas soal jabatan presiden, yakni dalam memenuhi jabatan selama lima tahun dan sesudahnya, presiden dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. (rmol)



 

SANCAnews DPP Partai Demokrat menilai belum ada urgensi untuk mengubah konstitusi negara UUD 1945. Apalagi jika yang diamandemen adalah pasal yang mengatur soal perpanjangan masa jabatan presiden.

 

"Saat ini belum ada urgensinya UUD kita amandemen. Jika amandemen terhadap perpanjangan dan/atau penambahan masa jabatan presiden ini dilakukan, sebagai politisi dan warganegara saya menolaknya," kata Wasekjen Partai Demokrat, Jansen Sitindaon kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (28/8).

 

Jansen menegaskan, ia tidak ingin tercatat dalam lembar sejarah yang menjadi bagian kembalinya zaman kegelapan demokrasi di Indonesia, karena telah ikut andil mengutak-atik konstitusi untuk kekuasaan semata.

 

"Karena fungsi konstitusi itu untuk tujuan jangka panjang bangsa. Bukan jangka pendek demi melanggengkan kekuasaan semata," tegasnya.

 

"Jika ini terjadi, kita bukan hanya mematikan semangat reformasi, tapi kembali ke zaman 'kegelapan demokrasi'," demikian Jansen. []



 

SANCAnews Ustaz Hilmi Firdausi (UHF) turut mengomentari penangkapan Ustaz Yahya Waloni yang dituding telah menistakan agama Kristen. Dia bertanya-tanya, di mana letak kesalahan penceramah asal Sulawesi selatan tersebut, sampai polisi ramai-ramai menangkapnya?

 

Sebelumnya, Ustaz Yahya Waloni ditangkap tim dari Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri di kediamannya yang berlokasi di Cibubur, Jawa Barat, Kamis sore, 26 Agustus 2021.

 

Kepastian tersebut diungkapkan langsung Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Rusdi Hartono sesaat setelah penangkapan.

 

“Ya benar (ditangkap), kasus penodaan agama,” ujar Brigjen Rusdi Hartono saat dikonfirmasi, dikutip dari CNN, Jumat 27 Agustus 2021.

 

Menurut informasi yang kami terima, Yahya Waloni dijerat pasal yang sama dengan pelaku penghinaan agama lainnya, yakni Muhammad Kece. Dia dihadapkan pada Pasal 28 ayat 2 Juncto Pasal 45A ayat 2 Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang ITE dan atau pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.

 

“Sama seperti Muhammad Kece. Perilaku tindakannya hampir sama,” terang Rusdi.

 

Menariknya, meski dengan gamblang merendahkan agama lain, namun ada sejumlah pihak—termasuk penceramah lain yang membela Yahya Waloni atas perbuatannya tersebut. Salah satunya Ustaz Hilmi Firdausi yang bertanya-tanya mengenai keputusan polisi menangkap seniornya tersebut.

 

Ustaz Hilmi heran Yahya Waloni ditangkap polisi

 

Melalui akun medsos pribadinya, Ustaz Hilmi berpendapat, saat berceramah, jamaah Yahya Waloni hanya berasal dari kalangan Islam saja, bukan Kristen. Sehingga, menurutnya menjadi sah seandainya penceramah Sulawesi itu bicara demikian mengenai ajaran Yesus Kristus tersebut.

 

“Ditangkapnya Ustaz Yahya Waloni timbul pertanyaan, jika seseorang berceramah di depan umat agamanya, lalu menyampaikan kebenaran tentang agamanya yang pasti kontradiksi dengan agama lain, tidak untuk disebarluaskan (seperti Kece atau JPZ yang memang sengaja mengunggah ke publik), apakah itu termasuk penistaan agama?” tulis Ustaz Hilmi Firdausi, dikutip Jumat 27 Agustus 2021.

 

Diketahui, pada April lalu, Yahya Waloni juga dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri oleh sejumlah komunitas masyarakat lantaran diduga telah menista agama.

 

Laporan itu diterima dengan registrasi perkara dengan Nomor: LP/B/0287/IV/2021/BARESKRIM. Adapun pihak yang melaporkan Yahya mengatasnamakan dirinya sebagai Komunitas Masyarakat Cinta Pluralisme.

 

Dalam hal ini, ceramah Yahya yang diperkarakan ialah saat dirinya menyebut injil fiktif serta palsu. Perkara yang dilaporkan berkaitan dengan ujaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.

 

Yahya diduga melanggar Undang-undang nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). (hops)



 

SANCAnews Koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres KH Ma’ruf Amin kini sudah menguasai 82 persen kursi di DPR RI.

 

Dengan resmi bergabungnya PAN, kini sudah total 471 kursi di DPR jadi pendukung pemerintah. Tersisa Partai Demokrat 54 kursi dan PKS 50 kursi yang jadi partai oposisi.

 

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Jansen Sitindaon menyebutkan pemerintah kini dengan mudah dapat mengubah konstitusi apapun, termasuk UUD 1945.

 

Sebab untuk mengubah, UUD 1945 koalisi pemerintah hanya butuh tambahan 3 kursi DPD lagi untuk mendapatkan dukungan 2/3 suara di MPR.

 

“1. Koalisi pemerintah saat ini sudah sangat tambun. 82 porsen! Dgn 471 kursi DPR. Total kursi MPR: 711 (575 DPR + 136 DPD). 2/3 nya = 474. Jadi cukup tambahan 3 kursi DPD lagi, mau MENGUBAH ISI KONSTITUSI YG MANAPUN pasti lolos,” kata Jansen dikutip di akun Twitternya, Jumat (27/8/2021).

 

Bukan tidak mungkin, kata anak buah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu koalisi pemerintah bisa mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden.

 

“Termasuk perpanjangan masa jabatan dan 3 periode,” ungkap Jansen.

 

Jansen lantas menjelaskan sejarah amandemen Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD 1945) yang mengatur tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia.

 

“Masa jabatan Presiden 2 periode adl hasil koreksi kita atas masa lalu. Dimana para perumusnya masih banyak yg hidup. Jika ditelusuri sejarah pembahasan & perubahan Pasal 7 UUD ini: tidak ada satupun fraksi/partai ketika itu yg menolak. Semua sepakat termasuk fraksi TNI/Polri,” jelasnya.

 

“Dalam sejarah ketatanegaraan didunia, terbukti dalam banyak praktek (termasuk di Indonesia): “habitusnya, semakin lama seorang berkuasa akan semakin sewenang-wenang”. Itu maka pengawasan yg paling efektif bukan dgn chek and balances tapi dgn membatasi masa jabatan itu sendiri!Jansen Sitindaon,” lanjutnya.

 

Politikus Partai Demokrat itu menilai saat ini belum ada urgensinya UUD 1945 untuk diamandemen.

 

“Krn fungsi konstitusi itu: utk tujuan jangka panjang bangsa. Bukan jangka pendek demi melanggengkan kekuasaan semata. Jika ini terjadi, kita bukan hanya mematikan semangat reformasi, tapi kembali ke zaman “kegelapan demokrasi”,” tegasnya.

 

Karena itu, dirinya dengan tegas akan menolak rencana mengubah masa jabatan presiden jadi tiga periode.

 

“TERAKHIR, ini sikap saya: jika amandemen terhadap perpanjangan dan/atau penambahan masa jabatan Presiden ini dilakukan, sebagai politisi dan warganegara saya menolaknya. Saya tidak ingin tercatat dlm lembar sejarah jadi bagian kembalinya zaman kegelapan demokrasi di Indonesia,” ungkapnya.

 

Seperti diketahui, setelah Indonesia memasuki Orde Reformasi, amandemen UUD 1945 baru dilakukan yakni sebanyak empat kali oleh MPR, termasuk untuk Pasal 7 yang mengatur tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI. Amandemen Pasal 7 UUD 1945 dilakukan pada Sidang Umum MPR tanggal 14-21 Oktober 1999.

 

Hasilnya adalah adanya sedikit perubahan untuk Pasal 7 dan beberapa tambahan yang meliputi Pasal 7A, 7B, dan 7C.

 

Setelah amandemen tersebut, jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya bisa dipegang selama 2 (dua) periode berturut-turut oleh seorang presiden yang sama.

 

Berikut ini isi Pasal 7 UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen, seperti dikutip dari situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-R):

 

Sebelum Amandemen

 

Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

 

Setelah Amandemen

 

Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.*)

 

Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)

 

Pasal 7B (1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ***)(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. ***)(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***)(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. ***)(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***)

 

Pasal 7C Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. ***) (fajar)



 

SANCAnews Bupati Jember Hendy Siswanto mengakui menerima honor dari anggaran susunan petugas Pemakaman COVID-19 hingga Rp 70 juta. Anggota Komisi II DPR Fraksi PKS Mardani Ali Sera menyebut pengakuan Bupati Jember tersebut menyakitkan dan harus dibongkar.

 

"Ini mesti dibongkar, pernyataan (Bupati Jember) sesuai aturan menyakitkan. Sakit jika benar aturannya ada," kata Mardani saat dihubungi detikcom, Jumat (27/8/2021).

 

Ketua DPP PKS ini menilai pengakuan Bupati Jember Hendy Siswanto menyakitkan lantaran masyarakat semakin menderita karena penarikan honor tersebut. Tak hanya itu, Mardani juga mengaku tak habis pikir dengan kepala daerah dan ASN yang mendiamkan adanya penarikan honor tersebut.

 

"Karena seumpama sudah jatuh tertimpa tangga pula bagi masyarakat yang meninggal karena COVID-19. Dan sakit karena ada kepala daerah dan ASN yang mestinya melaporkan aturan tersebut bukan malah mendiamkan," ucapnya.

 

Mardani meminta agar persoalan ini ditelusuri lebih lanjut. Dia juga memastikan Komisi II DPR akan membawa masalah ini ke rapat bersama Kemendagri.

 

"Kita akan bawa ke RDP dengan Kemendagri dan pihak terkait untuk masalah ini saat RDP. Mesti ditelusuri di mana lubangnya. Karena bisa jadi di semua daerah ada kejadiannya," ujarnya.

 

Untuk diketahui, polisi tengah menyelidiki dugaan korupsi anggaran pemakaman jenazah positif COVID-19 di Jember. Bupati Jember Hendy Siswanto mengakui dirinya salah satu yang menerima honor dari anggaran Susunan Petugas Pemakaman COVID-19.

 

"Memang benar saya menerima honor sebagai pengarah, karena regulasinya ada itu, ada tim di bawahnya juga. Kaitannya tentang Monitoring dan evaluasi (Monev)," kata Hendy di kantornya Jalan Sudarman, Kamis (26/8/2021).

 

Selain Hendy, ada sejumlah pejabat lain yang menerima honor dalam susunan petugas pemakaman COVID-19. Mereka adalah Sekretaris Daerah (Sekda) Jember dan dua pejabat di BPBD Jember.

 

Menurut Hendy, adanya honor untuk pemakaman COVID-19 yang diterimanya itu sesuai dengan regulasi yang ada dan sudah ditentukan.

 

"Terus terang saja, adanya honor itu sesuai dengan regulasi. Saya juga taat dengan regulasi yang saya ikuti," tegasnya.

 

Secara regulasi, kata Hendy, hal itu sudah lumrah dan ada di setiap pemerintahan di seluruh wilayah Indonesia. Termasuk kaitan tentang penanganan COVID-19.

 

"Yang terus terang saja setiap kegiatan itu ada tim monitoring yang di dalamnya ASN semua, yang menerima honor yang sama," terangnya. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.