Latest Post



SANCAnews – Pandemi Covid-19 tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan amendemen UUD 1945 terkait dengan penundaan pemilihan umum dari 2024 ke 2027, kata pakar hukum tata negara Hamdan Zoelva.

 

"Amendemen konstitusi ini sangat mungkin bisa dilakukan, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945. Namun, apakah bangsa ini dalam keadaan darurat?" kata  Hamdan Zoelva  dalam Kajian Islam dan Konstitusi bertema Menyoal Wacana Pemilu 2024 Diundur ke 2027 yang disiarkan melalui YouTube Salam Radio Channel, hari ini.

 

Kalau perubahan UUD dimaksudkan hanya untuk perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden, kata Hamdan Zoelva, penundaan pemilu dengan alasan pandemi bukan merupakan alasan signifikan.

 

Hamdan yang pernah sebagai ketua Mahkamah Konstitusi  mengutarakan bahwa pandemi yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 hingga sekarang bukan keadaan darurat yang dapat membenarkan penundaan pemilu karena negara masih dapat melaksanakan pemilu.

 

"Dalam teori hukum, negara dalam keadaan darurat itu adalah negara dalam keadaan tidak bisa apa-apa untuk melaksanakan kegiatan kenegaraan," kata Hamdan.

 

Ia menegaskan alasan-alasan keadaan darurat pandemi tidak bisa menerobos atau mengambil jalan pintas melakukan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan negara mengenai perubahan konstitusi, apalagi terkait dengan penundaan pemilu.

 

"Itu akan mengacaukan penyelenggaraan negara, bahkan merugikan bangsa dan negara kita," kata Hamdan.

 

Hamdan berpendapat bahwa MPR bisa melakukan perubahan UUD terkait dengan penundaan pemilu asalkan negara dalam keadaan perang yang tidak memungkinkan melaksanakan pemilu presiden dan wakil presiden.

 

"Jadi, dalam keadaan darurat demi menyelamatkan bangsa dan negara, tindakan apa saja boleh," katanya menjawab pertanyaan Titi Anggraini selaku pemandu program Kajian Islam dan Konstitusi Salam Radio.

 

Dengan demikian, kata Hamdan, tidak ada alasan pembenaran mengubah konstitusi gegara pandemi lantas menunda pemilu dari 2024 ke 2027. Pasalnya, jika amendemen UUD 1945 untuk menunda pemilu, setidaknya ada perubahan pada Pasal 22E Ayat (1), Pasal 7, dan Pasal 8. (suara)



 

SANCAnews – Mural-mural yang dijadikan sebagai sarana kritik publik terhadap pemerintah merupakan ciri negara demokrasi. Sehingga kontroversi mengenai mural kritik hanya menunjukkan buruknya kondisi kesehatan demokrasi di Indonesia.

 

Begitu kiranya yang disampaikan oleh dua peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati dan Erasmus AT Napitulu, lewat tulisan berjudul "Mural controversies expose the poor health of Indonesian democracy" yang diunggah di halaman Indonesia at Melbourne di situs University of Melbourne, Australia.

 

Halaman Indonesia at Melbourne berisi berbagai tulisan dari para akademisi dan mahasiswa pascasarjana yang berafiliasi dengan Universitas Melbourne. Berbagai opini yang disajikan bukan pendapat dari Universitas Melbourne sendiri.

 

Dalam tulisannya, Maidina dan Erasmus menyoroti kontroversi yang terjadi selama beberapa pekan terakhir di tanah air ketika setidaknya tiga mural kritik publik terhadap pemerintah dihapus.

 

Mural pertama dan paling kontroversial adalah gambar wajah Presiden Joko Widodo dengan mata yang ditutupi tulisan "404: Not Found" di Tangerang, Banten. Dua mural lainnya merupakan tulisan "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" di Pasuruan, Jawa Timur, dan "Tuhan Aku Lapar" di Tangerang.

 

Kemunculan mural-mural itu membuat polisi beraksi dengan mengejar para seniman atau saksi. Mereka juga menghapus mural-mural kritik itu. Tindakan itu lantas memicu kritik lebih tajam dari publik karena dianggap telah menekan kebebasan berekspresi.

 

Banyak orang menganggap tindakan itu menggemakan Orde Baru era Soeharto yang otoriter. Padahal sejak 1998, Indonesia telah menjamin kebebasan berekspresi dari Pasal 28E (3) UUD 1945, pasal 23 (2) UU 39/1999, dan Pasal 19 UU 12/2005.

 

Mengganggu Ketertiban Umum

 

Polisi berdalih, tindakannya merupakan bagian dari penegakkan ketertiban umum. Tetapi Maidina dan Erasmus mengatakan, jika ketertiban umum yang menjadi persoalan, maka yang harus turun adalah Satpol PP, bukan polisi.

 

Pencemaran Nama Baik

 

Dalam kesempatan lain, polisi mengatakan pembuat mural dapat didakwa dengan tuduhan pencemaran nama baik presiden sebagai simbol negara berdasarkan Pasal 207 KUHP. Namun ketentuan KUHP terkait pencemaran nama baik presiden telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006.

 

"Saat itu, Mahkamah (Konstitusi) menekankan bahwa kriminalisasi pencemaran nama baik terhadap presiden tidak lagi relevan bagi masyarakat demokratis, di negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia," tulis mereka.

 

Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa presiden sebagai kepala negara tidak boleh mendapat perlakuan istimewa di mata hukum. Perlakuan khusus untuk presiden hanya dibatasi pada protokol kepresidenan.

 

Selain itu, pernyataan presiden sebagai "simbol negara" tidak sesuai dengan UU 24/2009. UU itu menyebut simbol negara adalah bendera negara, bahasa negara, lambang negara, dan lagu kebangsaan.

 

Jika mengacu pada Pasal 207 KUHP mengenai pencemaran nama baik otoritas atau badan publik, Mahkamah Konstitusi pada 2006 juga menyatakan dakwaan hanya dapat diajukan setelah ada pengajuan dari pihak yang dirugikan.

 

"Ini juga berarti bahwa kecuali individu yang dihina membuat pengaduan resmi kepada polisi, mereka tidak dapat menuntut pencipta mural mana pun berdasarkan pasal ini," tambah mereka.

 

Ujaran Kebencian

 

Penggunaan Pasal 28 (2) UU ITE terkait penyebaran informasi yang memicu kebencian dan permusuhan juga dinilai Maidina dan Erasmus kurang tepat.

 

"Alih-alih menggunakan pasal tersebut untuk melindungi kelompok minoritas yang rentan, polisi kini tampaknya lebih peduli untuk melindungi pejabat publik dari segala jenis kritik," terang mereka.

 

Mural, kata mereka, merupakan alat untuk menyuarakan kritik di Indonesia sejak masa revolusi. Sehingga penggunaan mural untuk kritik setelah Orde Baru runtuh merupakan bentuk ekspresi yang sah. Terlebih saat ini publik dibuat resah dengan penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah.

 

"Tindakan represif polisi hanyalah indikasi lain dari kesehatan demokrasi Indonesia yang semakin menurun," kata keduanya.

 

Berdasarkan Indeks Demokrasi dari Economist Intelligence Unit (EIU) pada awal tahun ini, posisi Indonesia turun ke-64, menjadi terendah dalam 14 tahun terakhir. (rmol)




SANCAnews – Hakim yang menjatuhkan vonis kepada mantan Menteri Sosial Juliari Batubara terus mendapat sorotan publik. Ini lantaran pertimbangan hakim dalam meringankan hukuman Juliari yang dirasa menggelitik.

 

Tokoh senior, DR. Rizal Ramli bahkan menyebut para hakim yang menangani kasus Juliari langka. Sebab, baru kali ini ada argumen nyeleneh yang digunakan sebagai pertimbangan meringankan hukuman terdakwa.

 

“Ini hakim-hakim langka. Gunakan argumen paling aneh di dunia,” tuturnya.

 

Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor, Senin (23/8), hakim menjatuhkan vonis 12 tahun penjara untuk Juliari Batubara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

 

Hukuman dijatuhkan karena Juliari bersalah menerima uang suap Rp 32,482 miliar berkaitan dengan bansos Corona di Kemensos.

 

Hal yang memberatkan menurut hakim adalah kejadian suap dilakukan saat negara sedang darurat corona dan Juliari tidak mengakuinya.

 

Sedangkan yang meringankan, hakim menilai Juliari sudah cukup menderita karena di-bully masyarakat. Pertimbangan ini yang kemudian mendapat sorotan masyarakat karena dinilai aneh. (rmol)



 

SANCAnews – Mantan Wakil Ketua Komis Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang ikut buka suara terkait hal meringangkan yang menjadi pertimbangan majelis hakimTipokor Jakarta saat menjatuhi vonis 12 tahun penjara kepada mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara.

 

Menurut Saut, terkait Juliari mendapatkan cacian oleh masyarakat itu merupakan sanksi sosial atas perbuatannya yang melakukan korupsi pengadaaan bantuan sosial (Bansos) Covid-19.

 

"Kalau soal caci maki itu dinamika aksi reaksi, sapa suruh korupsi? Jangankan tersangka koruptor yang menangkapi koruptor saja dicaci maki dibilang taliban lah dan lain-lain," kata Saut saat dikonfirmasi, Senin (23/8/2021).

 

Maka itu, Saut tak habis pikir pertimbangan majelis hakim dalam hal meringankan Juliari itu. Apalagi kasus yang menjerat Juliari jabatannya seorang menteri dan melakukan korupsi bansos.

 

"Jadi kalau itu jadi alasan yang meringankan maka negeri ini semakin lucu, sebab seorang menteri korupsi itu justru harus jadi pemberantas di tengah pandemi. Dan yang disikat itu namanya jelas-jelas dana bansos bencana alam Covid 19."

 

Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis sebelumnya telah memvonis Juliari dengan hukuman 12 tahun penjara.

 

Adapun hal memberatkan yang disampaikan hakim bahwa terdakwa Juliari tidak berjiwa kesatria untuk mengakui perbuatannya dalam korupsi bansos.

 

"Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi tidak ksatria, ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya," ucap hakim Muhammad Damis di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (23/8/2021).

 

Selain itu, majelis hakim juga menyatakan bahwa perbuatan terdakwa dilakukan dalam keadaan darurat bencana nonalam yaitu wabah Covid-19. Sedangkan, pertimbangan dalam hal meringankan yang diberikan terdakwa Juliari belum pernah dijatuhi pidana.

 

Lebih lanjut, Juliari juga dalam meringankannya sudah cukup menderita dengan mendapatkan hinaan oleh masyarakat. Padahal, kata Majelis Hakim M. Damis bahwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

 

"Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," ucap Damis.

 

Selain itu, kata Damis, bahwa terdakwa Juliari juga selama menjalani 4 bulan persidangan hadir dengan tertib dan tidak pernah bertingkah dng macam-macam alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar.

 

"Padahal selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso," tutup Damis.

 

Selain pidana badan, Juliari harus membayar uang denda sebesar Rp500 juta, subsider enam bulan penjara.

 

Hakim juga menambah pidana terhadap terdakwa Juliari membayar uang pengganti Rp14.597.450.000. Bila tak membayar keseluruhan uang pengganti maka akan mendapatkan tambahan pidana selama 2 tahun.

 

Kemudian, Hakim juga mencabut hak politik Juliari sebagai pejabat publik selama 4 tahun. (lawjustice)



 

SANCAnews – Pihak Kejaksaan Agung telah melimpahkan berkas perkara dua oknum anggota Reserse Mobile (Resmob) Polda Metro Jaya yakni Briptu FR dan Ipda MYO yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penembakan hingga menyebabkan tewasnya Laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.

 

Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer menyampaikan, kedua oknum anggota polisi tersebut akan segera disidangkan karena perkaranya sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim).

 

"Pada hari ini Jaksa atau Penuntut Umum segera melimpahkan Surat Dakwaan dan Berkas Perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk dapat disidangkan dan mendapatkan kepastian hukum," kata Leonard dalam keterangan tertulis, Senin (23/8).

 

Sebelumnya, sambung Leo, Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung dan Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menerima pelimpahan tahap dua atau tersangka dan barang bukti dari Penyidik pada Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

 

Pelimpahan tahap dua tersebut dilakukan setelah Tim Jaksa Peneliti pada Jampidum Kejagung menyatakan bahwa berkas penyidikan tersangka Briptu FR dan Ipda MYO sudah lengkap (P-21) pada Jumat, 25 Juni, 2021.

 

Setelah itu, Tim JPU mempersiapkan Surat Dakwaan dan berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: 152/KMA/SK/ VIII/2021 tanggal 4 Agustus 2021 tentang Penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa dan memutus perkara pidana ini.

 

Dalam kasus ini, Briptu FR dan Ipda MYO dijerat sangkaan primer, yakni diduga melanggar Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.