Latest Post


 

SANCAnews – Situasi bangsa Indonesia yang semakin buruk belakangan ini sudah diprediksi setahun lalu saat deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).

 

Begitu dikatakan pengamat politik Rocky Gerung dalam dialog dalam rangka ulang tahun pertama Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia KAMI (KAMI) bertajuk "Ibu Pertiwi Masih Menangis", Rabu (18/8).

 

"Memang itu yang kita duga dari awal bahwa ini akan terjadi pemburukan," kata Rocky.

 

Rocky menyinggung delapan poin deklarasi KAMI yang menjadi tuntutan kepada pemerintah. Menurutnya, delapan poin itu sedang terjadi hari ini.

 

"Delapan poin yang diterangkan KAMI berlaku sekarang, dikonsertasi oleh KAMI mulai pemburukan ekonomi, pemburukan kebudayaan, pemburukan birokrasi, semua menyatu sekarang," jelasnya.

 

Lanjutnya, sudah benar juga poster Jokowi End Game yang diinisiasi kelompok mahasiswa.

 

"Sehingga masuk akal kalau kita this is the of Jokowi, mahasiswa itu benar sekarang Jokowi End Game karena itu memang terjadi," pungkasnya.

 

Hadir juga sebagai pembicara dalam acara yang disiarkan akun Youtube Refly Harun ini, Said Didu, Ichsanudin Noorsy dan Chusnul Mariyah. (rmol)



 

SANCAnews – Tim Koalisi Warga LaporCovid-19 menilai penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia salah kaprah karena terlalu banyak diserahkan kepada militer atau TNI dan Polri.

 

Anggota Tim Advokasi Laporan Warga LaporCovid-19 Firdaus Ferdiansyah mengatakan pemerintah justru melihat krisis sebagai persoalan keamanan dan ketertiban, bukan masalah kesehatan masyarakat.

 

"Menurut pemerintah perlu dikerahkan pasukan bersenjata TNI-Polri namun bukan untuk berperang, tapi untuk mengamankan kepentingan elite penguasa dan ekonomi nasional, situasi ini akhirnya ikut melegitimasi pelibatan militer yang berpotensi represif dalam upaya penanganan di masyarakat," kata Firdaus dalam diskusi virtual, Rabu (18/8/2021).

 

Jika dilihat dari struktur organisasi penanganan pandemi, terlihat bahwa terlalu banyak nama-nama pejabat TNI-Polri yang turut menangani pandemi.

 

"Pada Keppres 9/2020 itu militer masih menjadi pemegang kendali dalam penanganan pandemi," ucapnya.

 

Firdaus menyebut pada kenyataannya kinerja TNI-Polri dalam penanganan pandemi seperti petugas tracer dan penegak prokes yang tidak efektif.

 

"Karena kalau kita lihat per April saja LaporCovid-19 menerima 1.096 laporan ketidakpatuhan prokes meskipun sudah ada pengerahan TNI-Polri," jelasnya.

 

TNI-Polri juga kerap memberikan sanksi fisik mulai dari push-up hingga pemukulan kepada pelanggar protokol kesehatan.

 

"Beberapa waktu yang lalu kami mendengar ada warga yang menyuarakan pendapat mengenai omnibus law lalu dibubarkan secara paksa, lalu mereka diarahkan berkumpul di suatu tempat, disuruh buka baju, duduk berdekatan, ini kan suatu hal yang bertentangan dengan tugasnya soal penegak prokes," tutur Firdaus.

 

Selain itu, distribusi vaksin Covid-19 juga dianggap terlalu banyak diserahkan ke sentra vaksinasi milik TNI-Polri sementara fasilitas kesehatan banyak kehabisan stok vaksin. (suara)




SANCAnews – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memuji ide vaksinasi merdeka yang digagas Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran bersama jajarannya. Tujuannya, program vaksinasi massal ini bisa mencapai target pemerintah untuk membentuk herd immunity atau kekebalan kelompok.

 

“Beberapa waktu lalu pada saat ide itu muncul, bagaimana untuk melakukan percepatan vaksinasi, Pak Kapolda Metro menyambut dengan ide vaksinasi merdeka,” kata Sigit di Mapolda Metro Jaya pada Selasa malam, 17 Agustus 2021.

 

Saat dilaunching, kata Sigit, teman satu letingnya Irjen Fadil menargetkan sampai 17 Agustus 2021 bisa tembus vaksin dosis pertama 100 persen. Target yang dijanjikan Irjen Fadil tercapai.

 

“Alhamdulilah kita tagih belum tanggal 17 Agustus, pada 8 Agustus tembus 100 persen. Saat ini masuk vaksin tahap kedua kurang lebih 50 persen. Selamat,” ujarnya.

 

Tentu, kata Sigit, hal itu semua bisa terjadi karena pengorganisasian, merekrut relawan-relawan mau berpartisipai sehingga bisa dilaksanakan di level terbawah tingkat RW sampai 900 RW dan dibantu kekuatan kurang lebih 3.000 tim relawan.

 

“Saya berikan apresiasi atas ide-idenya, terima kasih Pak Fadil dan Pak Pangdam yang membantu sekuat tenaga. Terima kasih seluruh relawan yang telah berkontribusi sehingga pencapaian dari 1 juta 100 persen di dosis pertama, dan sekarang masuk di tahap kedua 50 persen untuk dosis kedua tercapai,” jelas dia.

 

Oleh karena itu, Sigit memerintahkan seluruh Kapolda untuk mereplika dan mengadopsi apa yang telah dilaksanakan Polda Metro Jaya. Sehingga, kegiatan vaksin yang dilakukan pemerintah pusat diperkuat TNI dan Polri bisa berjalan dengan cepat dan baik serta dirasakan masyarakat hasilnya.

 

“Ini bukan capaian akhir, tapi batu lompatan untuk mengejar target dari Bapak Presiden untuk mewujudkan herd immunity 70 persen, masyarakat Indonesia harus bisa tervaksinasi,” tandasnya. (viva)



 

SANCAnews – Habib Babar bin Smith terlibat perselisihan dengan Very Idham Henyansyah alias Ryan Jombang di Lapas Gunung Sindur, Bogor. Kalapas Khusus Kelas IIA Gunung Sindur Mujiarto membenarkan perihal adanya perselisihan itu. Namun, dipastikan perselisihan itu sudah rampung.

 

"Bukan menganiaya, jadi ada perselisihan, di lapas itu kan sulit dihindari perselisihan, tapi sudah selesai. Sudah kami selesaikan, dalam arti, Ryan juga tidak keberatan, memang dia yang salah, ada kesalahanlah, biasa di lapas," kata Mujiarto melalui sambungan telepon, Rabu (18/8/2021).

 

Mujiarto tak menjelaskan secara rinci perselisihan yang dimaksud. Akan tetapi, perselisihan itu ditengarai terkait dengan uang.

 

Dia menambahkan, keduanya sempat adu mulut kemudian terjadi perkelahian, tapi dipastikan tak ada yang terluka berat akibat perkelahian itu.

 

"Masalah tentang uanglah dan dengan pengacaranya itu sudah selesai," ucap Mujiarto.

 

"Adu mulut, disentil, dipukullah itu Ryan Jombang, tapi dua pihak itu sudah memahami," tandas dia.

 

Ryan Jombang merupakan terpidana pembunuhan berantai dan mutilasi di awal tahun 2000-an. Dia dijatuhi hukuman mati, namun hingga saat ini belum kunjung dieksekusi.

 

Sedangkan Habib Bahar bin Smith divonis 3 tahun dalam kasus penganiayaan terhadap dua orang remaja. (lawjustice)



 

SANCAnews – Langkah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mengeluarkan hasil pemantauan dan kajian terhadap pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikritisi Setara Institute.

 

Ketua Setara Institute, Hendardi tak menyoal kerja pemantauan dan kajian yang dilakukan atas pengaduan sejumlah pegawai KPK terkait proses alih status pegawai menjadi ASN tersebut.

 

Sebab, berdasarkan Pasal 79 dan Pasal 89 UU 39/1999 tentang HAM menyebutkan Komnas HAM berwenang melakukan kerja pemantauan dan pengkajian.

 

Akan tetapi, ia memandang produk kerja Komnas HAM bukanlah produk hukum yang pro justisia, yang harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.

 

"Sebagai sebuah rekomendasi, Komnas HAM dipersilakan untuk membawa produk kerjanya kepada pemerintah dan juga DPR," ujar Hendardi dalam keterangan tertulis kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (18/8).

 

Dalam hal kerja pemantauan dan kajian, menurut Hendardi, siapapun boleh mengkaji dan memantau kinerja institusi negara. Tetapi jika pemantauan dan pengkajian itu dilakukan oleh lembaga negara, maka harus dilihat, apakah itu domain kewenangannya atau sebatas partisipasi merespons aduan warga negara.

 

"Tindakan institusi negara itu yang pertama harus dilihat adalah dasar kewenangannya. Jika tidak ada kewenangan, maka produk tersebut bisa dianggap tidak berdasar (baseless), membuang-buang waktu dan terjebak pada kasus-kasus yang mungkin popular tapi bukan merupakan bagian mandat Komnas HAM," tuturnya.

 

Dalam catatannya selama periode 2017-2022, Hendardi menilai Komnas HAM rajin mengambil peran sebagai "hero" dalam kasus-kasus populer. Justru, tugas pokoknya yang memperlihatkan fakta pelanggaran HAM yang nyata, dan bisa disidik dengan menggunakan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, justru tidak dikerjakan Komnas HAM.

 

"Tak heran banyak pihak mempersoalkan kinerja Komnas HAM periode ini. Komnas HAM gigih menyusun tumpukan kertas sebagai hasil kerja lembaga negara ini, tetapi miskin terobosan," imbuhnya.

 

Dari situ, Hendardi menduga produksi standar norma terkait banyak hal yang dibuat Komnas HAM tidak memberikan efek perubahan pengarusutamaan HAM dalam tata kelola pemerintahan.

 

Demikian juga, lanjutnya, produksi rekomendasi yang nyaris tidak memberikan dampak apa-apa pada upaya perlindungan HAM bagi kelompok rentan, terdiskriminasi, masyarakat adat, kelompok kepercayaan dan lain sebagainya.

 

"Kita perlu mendukung Komnas HAM merancang visi baru, strategi baru, termasuk kewenangan baru sehingga kehadiran lembaga ini bisa lebih berdampak bagi pemajuan dan perlindungan HAM," tuturnya.

 

Oleh karenanya, Hendardi berkesimpulan bahwa Komnas HAM telah off-side dalam menjalankan kinerja pemantauan dan kajiannya di dalam pengaduan alih status ASN KPK.

 

Karena menurutnya, produk kerja KPK yang berupa keputusan Tata Usaha Negara (TUN) dan administrasi negara bisa saja dipersoalkan, tapi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk keputusan TUN maupun judicial review ke Mahkamah Agung (MA) atas Peraturan KPK 1/2021.

 

"Itu jika dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dua isu ini jelas bukan domain kewenangan Komnas HAM," tegasnya menutup. (*)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.