SANCAnews – Langkah Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) yang mengeluarkan hasil pemantauan dan kajian terhadap
pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dikritisi Setara Institute.
Ketua Setara Institute, Hendardi tak menyoal kerja pemantauan
dan kajian yang dilakukan atas pengaduan sejumlah pegawai KPK terkait proses
alih status pegawai menjadi ASN tersebut.
Sebab, berdasarkan Pasal 79 dan Pasal 89 UU 39/1999 tentang
HAM menyebutkan Komnas HAM berwenang melakukan kerja pemantauan dan pengkajian.
Akan tetapi, ia memandang produk kerja Komnas HAM bukanlah
produk hukum yang pro justisia, yang harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak
hukum.
"Sebagai sebuah rekomendasi, Komnas HAM dipersilakan
untuk membawa produk kerjanya kepada pemerintah dan juga DPR," ujar
Hendardi dalam keterangan tertulis kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu
(18/8).
Dalam hal kerja pemantauan dan kajian, menurut Hendardi,
siapapun boleh mengkaji dan memantau kinerja institusi negara. Tetapi jika
pemantauan dan pengkajian itu dilakukan oleh lembaga negara, maka harus
dilihat, apakah itu domain kewenangannya atau sebatas partisipasi merespons
aduan warga negara.
"Tindakan institusi negara itu yang pertama harus
dilihat adalah dasar kewenangannya. Jika tidak ada kewenangan, maka produk
tersebut bisa dianggap tidak berdasar (baseless), membuang-buang waktu dan
terjebak pada kasus-kasus yang mungkin popular tapi bukan merupakan bagian
mandat Komnas HAM," tuturnya.
Dalam catatannya selama periode 2017-2022, Hendardi menilai
Komnas HAM rajin mengambil peran sebagai "hero" dalam kasus-kasus
populer. Justru, tugas pokoknya yang memperlihatkan fakta pelanggaran HAM yang
nyata, dan bisa disidik dengan menggunakan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM,
justru tidak dikerjakan Komnas HAM.
"Tak heran banyak pihak mempersoalkan kinerja Komnas HAM
periode ini. Komnas HAM gigih menyusun tumpukan kertas sebagai hasil kerja
lembaga negara ini, tetapi miskin terobosan," imbuhnya.
Dari situ, Hendardi menduga produksi standar norma terkait
banyak hal yang dibuat Komnas HAM tidak memberikan efek perubahan
pengarusutamaan HAM dalam tata kelola pemerintahan.
Demikian juga, lanjutnya, produksi rekomendasi yang nyaris
tidak memberikan dampak apa-apa pada upaya perlindungan HAM bagi kelompok
rentan, terdiskriminasi, masyarakat adat, kelompok kepercayaan dan lain
sebagainya.
"Kita perlu mendukung Komnas HAM merancang visi baru,
strategi baru, termasuk kewenangan baru sehingga kehadiran lembaga ini bisa
lebih berdampak bagi pemajuan dan perlindungan HAM," tuturnya.
Oleh karenanya, Hendardi berkesimpulan bahwa Komnas HAM telah
off-side dalam menjalankan kinerja pemantauan dan kajiannya di dalam pengaduan
alih status ASN KPK.
Karena menurutnya, produk kerja KPK yang berupa keputusan
Tata Usaha Negara (TUN) dan administrasi negara bisa saja dipersoalkan, tapi
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk keputusan TUN maupun judicial
review ke Mahkamah Agung (MA) atas Peraturan KPK 1/2021.
"Itu jika dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Dua isu ini jelas bukan domain kewenangan
Komnas HAM," tegasnya menutup. (*)