SANCAnews – Lomba karya tulis BPIP dipandang
tak sesuai dengan norma Pancasila lantaran sarat dengan Islamophobia. Wakil
Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid memberi tanggapan.
Tema lomba yang diangkat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP) yakni ‘Hormat Bendera Menurut Hukum Islam’ dan ‘menyanyikan Lagu
Kebangsaan Menurut Hukum Islam’.
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menyampaikan seharusnya
BPIP melaksanakan lomba dengan konteks Hari Santri Nasional di mana banyak
santri seperti dari NU, Muhammadiyah dan lain-lain.
Argumentasi Hidayat, banyak santri dulu ikut berjuang dalam
memerdekakan bangsa dan tidak perlu ada permasalahan terkait keagamaan.
“Seandainya ada yang masih belum melaksanakan, maka tugas
BPIP sebagai bukti pengamalan Pancasila, mendatangi mereka secara baik-baik dan
beradab. berikan pencerahan dalam semangat permusyawaratan menjaga persatuan,
dan berikan solusi, tentu akan segera selesai,” kata HNW, Minggu (15/8).
HNW menegaskan, menjelang HUT Kemerdekaan dan Hari Konstitusi
yang hadirkan jasa dan peran nyata Santri dan Ulama untuk Indonesia, mestinya
BPIP mengumumkan lomba dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional yang
dirayakan pada 22 Oktober 2021.
Hal itu juga perlu dilakukan untuk menghormati peran dan jasa
santri dan Ulama dalam menghadirkan dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Politisi PKS menyebut bahwa latar belakang penetapan Hari
Santri Nasional bukan 1 Muharram melainkan tanggal 22 Oktober. Penetapan hari
itu karena pemerintah ingin menghormati jasa santri dan kiai.
Pada tanggal 22 Oktober 1945 KH Hasyim Asyari mengobarkan
fatwa dan resolusi Jihad memaksimalkan usaha dari Surabaya melawan penjajahan
Belanda
“Atau minimal tema tentang para ulama dan santri yang tidak
hanya memperjuangkan kemaslahatan umat tapi juga kemaslahatan bangsa dan
negara,” katanya.
Fatwa dan Resolusi Jihad itu didukung oleh Kongres Umat Islam
I di Yogya pada 7-8 Nopember 1945 yang kemudian memunculkan heroisme perlawanan
santri, pemuda dan komponen lainnya berhasil mengalahkan Belanda dan sekutunya.
Perlawanan puncak pada 10 Nopember 1945 itu kemudian diakui
pemerintah sebagai Hari Pahlawan.
“Dengan peran ulama dan santri tersebut maka selamatlah
kemerdekaan Indonesia dan keutuhan bangsa bersama Pancasila,” imbuhnya.
Hidayat yang juga merupakan anggota DPR-RI Komisi VIII yang
di antaranya membidangi urusan agama ini menjelaskan, Negara melalui pengesahan
UU 18/2019 tentang Pesantren juga mengakui bahwa tidak ada pertentangan antara
Santri dan Ulama dengan semangat kebinekaan dan keindonesiaan.
Dalam UU Pesantren Pasal 10 ayat (4) misalnya disebutkan,
Santri dididik untuk menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt,
menyemaikan akhlak mulia, memegang teguh toleransi, keseimbangan, moderat,
rendah hati, dan cinta tanah air berdasarkan ajaran Islam, nilai luhur bangsa
Indonesia, serta berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
“Artinya integrasi semangat keislaman dan kebangsaan di
kalangan santri sejatinya sudah selesai dan bisa jalan beriringan,” jelasnya.
“Jangan justru lembaga Negara seperti BPIP kembali
mempersoalkannya, yang akan berakibat kepada munculnya lagi saling curiga dan
stigma,” ucapnya.
Dia menambahkan BPIP dan programnya harusnya menjadi contoh
bagaimana mengamalkan Pancasila dengan mempersatukan Bangsa dan merawat
kesatuan Bangsa sebagaimana sila ke 3 Pancasila.
“Jangan dengan dalih memperingati Hari Santri Nasional, malah
menumbuhkan lagi benih-benih pecah belah bangsa, dengan stigma negatif,”
jelasnya. (pojoksatu)