Latest Post


 

SANCAnews – Lomba penulisan bertema `Hormat Bendera Menurut Hukum Islam` dan `Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam` yang diadakan BPIP menuai kontroversial.

 

Menanggapi hal itu, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas pun menyarankan pembubaran BPIP jika lembaga itu tak ada manfaatnya.

 

"Ini [lomba] bukan saja tendensius, itu jelas-jelas useless, tidak ada manfaatnya sama sekali. Tidak ada konsep akademis ideologisnya," kata Busyro melansir CNNIndonesia.com, Jumat (13/8/2021).

 

Busyro menilai, tema yang diangkat BPIP justru mengadu domba sekaligus penghinaan terhadap komunitas santri. Dia mengatakan, Hari Santri bukan hanya milik warga Nahdlatul Ulama saja, tapi milik semua umat Islam.

 

"Apakah selama ini negara itu ada problem dengan penghormatan bendera Merah Putih? Problem lagu kebangsaan? Faktanya tidak ada. Kalau tidak ada, mengapa BPIP mencari-cari penyakit ini namanya," kata Busyro.

 

Dia mengatakan, BPIP perlu meninjau kembali rencana lomba tersebut dan segera mencabutnya. Sebab menurutnya, tema itu hanya akan mengusik umat Islam.

 

Busyro juga mengusulkan agar dilakukan polling yang mempertanyakan apakah keberadaan BPIP masih diperlukan. Polling itu, kata Busyro, perlu melibatkan masyarakat sipil.

 

"Saya siap mewakili Muhammadiyah dengan 170 perguruan tinggi Muhammadiyah se-Indonesia mengadakan polling dengan bersama-sama. Kalau tidak ada manfaatnya [BPIP] itu bubarin saja," imbuhnya.

 

Lomba penulisan artikel tingkat nasional diinformasikan BPIP lewat unggahan di akun Twitter @BPIPRI pada Rabu (11/8). Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo mengatakan pilihan tema tersebut menyesuaikan dengan konteks Hari Santri. Menurutnya, BPIP melihat pentingnya nilai-nilai keagamaan dalam menyikapi kecintaan terhadap tanah air. (lawjustice)



 

SANCAnews – Ketidakpuasan publik atas kinerja Presiden Joko Widodo dalam penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air meningkat.

 

Berdasarkan temuan terbaru lembaga survei Indonesia Political Opinion (IPO), tercatat 42 persen responden menyatakan tidak puas dengan kinerja Jokowi. Yang merasa puas ada 52 persen, dan 7 persen ragu-ragu.

 

"Persepsi ketidakpuasan terhadap kinerja presiden dalam penanganan pandemi cukup tinggi, jika dibandingkan dengan Survei IPO periode April 2021," kata Direktur Eksekutif IPO, Dedi Kurnia Syah saat memaparkan hasil surveinya bertajuk 'Refleksi Penanganan Pandemi dan Dampak Konstelasi Politik 2024', Sabtu (14/8).

 

Pada survei IPO sebelumnya, kata Dedi, presiden masih mendapat angka kepuasan penanganan pandemi Covid-19 sebesar 56 persen, dan angka ketidakpuasan hanya 37 persen.

 

Sementara itu, terjadi penurunan tajam angka persepsi kepuasan pada kinerja Wakil Presiden KH Maruf Amin dalam penanganan pandemi Covid-19, yakni 58 persen tidak puas, 32 persen merasa puas, dan 10 persen publik masih ragu-ragu.

 

"Periode April 2021 Wapres mendapat persepsi kepuasan 36 persen, berbanding ketidakpuasan 51 persen. Jadi, secara umum Wapres dianggap tidak memuaskan pada kontribusi dampak sosial, ekonomi, dan hukum," demikian Dedi Kurnia.

 

Survei IPO ini digelar sejak 2-10 Agustus 2021 dan menggunakan metode multistage random sampling dengan 1200 responden yang tersebar proporsional secara nasional. Survei ini memiliki pengukuran kesalahan (sampling error) 2,50 persen, dengan tingkat akurasi data 97 persen. (rmol)



 

SANCAnews – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan amandemen terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak akan menjadi bola liar ataupun membuka kotak pandora.

 

Khususnya, terkait perubahan perpanjangan masa jabatan presiden dan dan wakil presiden menjadi tiga periode.

 

"Kekhawatiran itu justru datang dari Presiden Joko Widodo. Beliau mempertanyakan apakah amandemen UUD NRI 1945 tidak berpotensi membuka kotak pandora sehingga melebar, termasuk mendorong perubahan periodisasi presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode?" ujarnya dalam keterangannya, Sabtu (14/8/2021).

 

"Saya tegaskan kepada Presiden Jokowi, sesuai dengan tata cara yang diatur di Pasal 37 UUD NRI 1945 sangat rigid dan kecil kemungkinan menjadi melebar," imbuhnya.

 

Usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jumat (13/8) lalu, Ketua DPR RI ke-20 ini menyampaikan dukungan Jokowi terhadap amandemen terbatas UUD 1945. Namun hanya untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan tidak melebar ke persoalan lain. Adapun PPHN diperlukan sebagai bintang penunjuk arah pembangunan nasional.

 

"Presiden Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada MPR RI mengenai pembahasan amandemen UUD NRI 1945 untuk menghadirkan PPHN, karena merupakan domain dari MPR RI. Beliau berpesan agar pembahasan tidak melebar ke hal lain, seperti perubahan masa periodisasi presiden dan wakil presiden, karena Presiden Jokowi tidak setuju dengan itu," jelas Bamsoet.

 

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menilai Pasal 37 UUD NRI 1945 mengatur secara rigid mekanisme usul perubahan konstitusi. Perubahan tidak dapat dilakukan secara serta merta, melainkan harus terlebih dahulu diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Atau paling sedikit 237 pengusul diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, serta melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Tata Tertib MPR.

 

"Dengan demikian, tidak terbuka peluang menyisipkan gagasan amandemen di luar materi PPHN yang sudah diagendakan. Semisal, penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode. Karena MPR RI juga tidak pernah membahas hal tersebut," terang Bamsoet.

 

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menegaskan nantinya amandemen terbatas hanya akan memuat penambahan dua ayat dalam amandemen UUD 1945, yakni di Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945.

 

"Penambahan satu ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Sementara penambahan satu ayat pada Pasal 23 mengatur kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai PPHN. Selain itu, tidak ada penambahan lainnya dalam amandemen terbatas UUD NRI 1945," pungkas Bamsoet.

 

Sebagai informasi, turut hadir dalam pertemuan tersebut para Wakil Ketua MPR RI, antara lain Ahmad Basarah, Ahmad Muzani, Lestari Moerdijat, Jazilul Fawaid, Syarifuddin Hasan, Zulkifli Hasan, Arsul Sani, dan Fadel Muhammad. Hadir pula Sekretaris Jenderal MPR RI Ma'ruf Cahyono. (detik)



SANCAnews – Pemakzulan atau penggulingan pemerintahan yang sedang berkuasa bukan hanya sekali terjadi di Indonesia. Baik itu pemerintahan yang berakhir secara konstituaional ataupun tidak.

 

Pakar hukum Suparji Ahmad mengatakan, contoh pemakzulan yang dilakukan dengan cara konstitusional adalah berakhirnya era pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid atau Gus Dur.

 

"Kalau melalui konstitusi kan ketika Gus Dur karena ada proses politik, ada kesepakatan DPR, ada kemudian MPR," ujar Suparji dalam webinar Kaukus Muda Indonesia bertema 'Membaca Propaganda dan Isu Penggulingan Jokowi di Tengah Pandemi Covid-19', Jumat (13/8).

 

Sementara, kata dia, jika berbicara pemakzulan tanpa melalui jalan konstitusi ada dua era, yakni Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.

 

"Kalau di luar konstitusi kan ada Soeharto yang mengundurkan diri, itu pun akhirnya terguling. Demikian juga pada masa Soekarno karena situasi pada waktu itu akhirnya dia terguling," terangnya.

 

Soal pemerintahan Presiden Joko Widodo, lanjutnya, dia ragu akan terjadi pemakzulan. Pun juga kalau alasannya kegagalan dalam menangani pandemi virus corona baru (Covid-19), dia tidak yakin alasan ini cukup kuat.

 

"Apakah situasi pandemi Covid-19 ini dapat menjadi alasan untuk melalukan penggulingan pemerintahan yang sah secara hukum?" pungkasnya.

 

Berdasarkan data yang dirilis Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per Jumat (13/8), untuk kasus meninggal hari ini tercatat bertambah 1.432 kasus. Totalnya kini menjadi 113.664 orang atau sebesar 3 persen dari total kasus positif.

 

Tingginya angka kematian inilah yang menjadi sorotan banyak kalangan untuk menilai bahwa pemerintahan Joko Widodo gagal dalam menekan angka kematian warga negaranya.

 

Bahkan terbaru, Koordinator PPKM Jawa-Bali Luhut Binsar Pandjaitan akan menghilangan data angka kematian sebagai indikator penentuan kelanjutan penerapan PPKM atau tidak. Alasannya, data kematian yang terinput tidak singkron dan perlu perbaikan. (rmol)




SANCAnews – Presiden Joko Widodo (Jokowi) merevisi aturan Presiden terkait penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran bahan bakar minyak (BBM).

 

Perubahan aturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 69 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Perpres nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

 

Peraturan ini ditetapkan di Jakarta, 3 Agustus 2021 olehJokowi dan berlaku sejak diundangkan pada 3 Agustus 2021.

 

Beberapa pasal yang diubah yaitu di antara pasal 8 dan 9 disisipkan pasal 8A yang berisi 5 ayat. Kemudian perubahan juga terdapat di pasal 9, pasal 14, penambahan aturan pasal 14A, perubahan pasal 16 dan penambahan pasal 16A, perubahan pasal 20 dan 20A.

 

Di dalamnya tak hanya mengatur terkait penugasan, penyediaan, dan pendistribusian jenis BBM tertentu. Yaitu jenis solar (gas oil) dan minyak tanah (kerosene) maupun BBM khusus penugasan bensin RON 88 atau Premium kepada Badan Usaha, namun Perpres No.69 tahun 2021 ini juga mengatur tentang ketentuan harga jual eceran jenis BBM tertentu dan jenis BBM khusus penugasan tersebut.

 

Ketentuan mengenai harga jual eceran jenis BBM tertentu dan khusus diatur dalam pasal 14, ini rincian aturannya:

 

(1) Menteri menetapkan harga jual eceran Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan.

 

(2) Harga jual eceran Jenis BBM Tertentu berupa Minyak Tanah (Kerosene) di titik serah, untuk setiap liter merupakan nominal tetap yang sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

 

(3) Jenis BBM Tertentu untuk Minyak Tanah (Kerosene) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk setiap liter diberikan subsidi.

 

(4) Harga jual eceran Jenis BBM Tertentu berupa Minyak Solar (Gas Oil) di titik serah, untuk setiap liter, dihitung dengan formula yang terdiri atas harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikurangi subsidi, dan ditambah Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).

 

(5) Harga jual eceran Jenis BBM Khusus Penugasan di titik serah untuk setiap liter, dihitung dengan formula yang terdiri atas harga dasar ditambah biaya tambahan pendistribusian di wilayah penugasan, serta ditambah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

 

(6) Menteri menetapkan besaran Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (41 dan ayat (5) untuk perhitungan harga jual eceran Jenis BBM Tertentu berupa Minyak Solar (Gas OiI) dan Jenis BBM Khusus Penugasan.

 

(7) Dalam hal terdapat perubahan harga jual eceran jenis BBM Tertentu dan jenis BBM Khusus Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan harga jual eceran Jenis BBM Tertentu dan harga jual eceran Jenis BBM Khusus Penugasan berdasarkan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

 

(8) Menteri dapat menetapkan harga jual eceran Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan berbeda dengan perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dengan mempertimbangkan:

a. kemampuan keuangan negara;

b. kemampuan daya beli masyarakat; dan/atau

c. ekonomi riil dan sosial masyarakat, berdasarkan rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

 

(9) Menteri menetapkan formula harga dasar yang terdiri dari biaya perolehan, biaya distribusi, dan biaya penyimpanan serta margin.

 

(10) Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditetapkan setelah mendapatkan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

 

(11) Biaya perolehan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) merupakan biaya penyediaan BBM dari produksi kilang dalam negeri dan/acau impor sampai dengan Penyalur/Terminal BBM/Depot.

 

(12) Menteri menetapkan besaran harga dasar mengacu pada formula harga dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (9).

 

(13) Untuk menetapkan harga dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (12), Menteri menetapkan harga indeks pasar yaitu harga produk BBM yang merupakan bagian dari biaya perolehan yang digunakan untuk menghitung harga dasar Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan.

 

Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal I4A yang berbunyi:

 

Pasal 14A

(1) Harga jual eceran Jenis BBM Umum di titik serah untuk setiap liter, dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha berdasarkan formula harga tertinggi yang terdiri atas harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

 

(2) Harga dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan formula yang terdiri atas biaya perolehan, biaya distribusi, dan biaya penyimpanan serta margin.

 

Sekedar diketahui, jenis BBM Umum yaitu bensin atau solar non subsidi, di luar BBM subsidi dan BBM khusus penugasan. BBM Umum ini seperti bensin dengan nilai oktan (Research Octane Number/ RON) di atas 90 seperti Pertamax.

 

Sayangnya, dalam Perpres No.69/2021 ini tidak disebutkan secara pasti besaran PBBKB yang ditetapkan. Sementara dalam Perpres sebelumnya, nomor 191/2014 disebutkan bahwa besaran PBBKB harga jual eceran Jenis BBM Tertentu dan harga jual eceran Jenis BBM Khusus Penugasan sebesar 5% (lima persen) dan harga jual eceran Jenis BBM Umum sesuai dengan peraturan daerah provinsi setempat. (detik)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.