SANCAnews – Forum Masyarakat Peduli Parlemen
Indonesia (Formappi) menilai kinerja lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
periode 2019-2024 bisa menjadi yang terburuk sejak era Reformasi.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius
Karus mengatakan hal itu terlihat dari pelaksanaan fungsi legislasi, di mana
DPR periode 2019-2024 baru menuntaskan empat rancangan undang-undang (RUU)
selama dua tahun.
Capaian tersebut sangat jauh dengan capaian kinerja legislasi
DPR periode 2014-2019 yang menuntaskan 16 RUU selama dua tahun awal masa bakti.
"Sementara yang sekarang baru empat [RUU]. Ini saja
sudah menunjukkan potret atau potensi DPR 2019-2024 ini menjadi DPR dengan
kinerja terburuk, saya kira untuk DPR-DPR era reformasi," kata Lucius saat
memaparkan hasil evaluasi Formappi terhadap kinerja DPR pada Masa Sidang V
Tahun Sidang 2020-2021, Kamis (12/8).
Selain pelaksanaan fungsi legislasi, lanjutnya, pelaksanaan
fungsi DPR lainnya juga dalam situasi memprihatinkan pada saat ini.
Pelaksanaan fungsi pengawasan dan anggaran, menurutnya, DPR
bisa menunjukkan kinerja yang memadai di tengah pandemi Covid-19 seperti saat
ini. Ia berkata, kinerja DPR pada pelaksanaan dua fungsi tersebut sejauh ini
hanya diwarnai dengan berbagai macam kontroversi.
"Alih-alih kemudian menunjukkan kinerja yang memadai
terkait dengan pelaksanaan fungsi, kita melihat dari hari ke hari kita hanya
disibukkan oleh berbagai kontroversi dari kejanggalan kebijakan atau keanehan
dilakukan DPR," ucap Lucius.
Lucius membeberkan, salah satu kejanggalan kebijakan atau
keanehan itu ialah terkait permintaan fasilitas bagi anggota DPR yang terpapar
Covid-19.
Menurutnya, kejanggalan kebijakan tersebut semakin diperparah
dengan tingkah anggota dewan yang melanggar protokol kesehatan dengan menggelar
acara resepsi pernikahan di tengah penerapan kebijakan PPKM di Solo, Jawa Tengah.
"Ini hal-hal yang membuat kita semua merasa bahwa
sebagai wakil rakyat, DPR ini justru gagal hadir bersama rakyat di tengah
situasi dimana rakyat paling membutuhkan mereka, yaitu situasi sulit di masa
pandemi ini," ujar Lucius.
Di sisi lain, Lucius juga mengkritik pernyataan pimpinan DPR,
khususnya Ketua DPR Puan Maharani yang tidak pernah menukik pada sasaran
pengawasan, melainkan hanya bersifat normatif dan terkesan cari aman sendiri.
Tak ketinggalan, pimpinan DPR juga dinilai bergeming dalam merespons
isu tes wawasan kebangsaan (TWK) di KPK.
"Ketegasan Pimpinan DPR hanya tampak pada penolakan
gagasan isolasi mandiri bagi anggota DPR di hotel berbintang. Ketegasan seperti
ini seharusnya dilakukan terhadap setiap persoalan yang muncul," ujarnya.
Berangkat dari itu, Lucius berharap, di sisa tiga tahun masa
baktinya, DPR 2019-2024 dapat menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi
masyarakat.
"Kita tidak ingin tiga tahun itu hanya akan diakhiri
dengan cerita tentang produktivitas buruk yang terus berlanjut dari
sekarang," kata Lucius.
Sebelumnya, dalam pidato Rapat Paripurna Penutupan Masa
Persidangan Kelima Tahun Sidang 2020-2021, Ketua DPR RI, Puan Maharani
mengatakan pelaksanaan fungsi legislasi DPR merupakan pekerjaan kolektif yang
ditempuh melalui komitmen bersama antara pihaknya dan Pemerintah.
Karena itu, menurut dia, kinerja legislasi nasional harus
menjadi perhatian bersama antara DPR dan Pemerintah.
Pada masa persidangan V, 6-15 Juli, pihaknya telah
menyelesaikan pembahasan satu rancangan undang-undang (RUU), yakni RUU tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Papua.
Terkait fungsi pengawasan untuk penanganan Covid-19, pihaknya
mengaku telah membahas percepatan vaksinasi, penanganan pasien di rumah sakit
maupun di Wisma Atlet, evaluasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
(PPKM) Darurat dan dampaknya bagi perekonomian;
Selain itu, penimbunan oksigen dan harga obat Covid-19 yang
terlalu mahal di beberapa wilayah; kebutuhan rumah sakit dan tenaga medis;
serta persiapan Indonesia mengikuti Olimpiade Tokyo 2020. (lawjustice)