Latest Post


 

SANCAnews – Peristiwa Gedung Serba Guna (GSG) ITB pada Sabtu pagi, 5 Agustus 1989 tidak terjadi secar tiba-tiba, melainkan puncak dari kritik panjang pada era otoritarian Presiden Soeharto.

 

Begitu dikatakan aktivis 89, Jumhur Hidayat dalam webinar bertema "Refleksi Peristiwa 5 Agustus 1989 dan Gerakan Mahasiswa Masa Kini", Sabtu (7/7).

 

"Sebetulnya tidak berdiri sendiri ya peristiwa 5 Agustus, bukan ujug-ujug ada. Bulan bahkan tahun sebelumnya, kritik dan perlawanan pada otoritarianisme Soeharto itu luar biasa di dalam kampus, setiap ada momen selalu arahnya ke sana," kata Jumhur yang pada peristiwa tersebut menjadi koordinator lapangan.

 

Dijelaskan Jumhur, pada era tersebut gerakan mahasiswa memang masih terfokus di dalam kampus masing-masing.

 

"Dari tahun 86-87 (1986-1987), masih di dalam kampus, dialog dengan berbagai kampus sudah dilakuka juga. Antarkampus di Bandung dengan Jogja, dengan Jakarta itu terus berlangsung," jelasnya.

 

Dalam setiak komunikasi antarkampus itu, lanjutnya, selalu dicari cara terbaik dan efektif untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru.

 

"Kita mencari sebetulnya waktu itu model kritik apa yang bisa langsung diterima masyarakat sekaligus mengadvokasi supaya pemerintah tidak bersikap seperti," tandasnya.

 

Peristiwa 5 Agustus 1989, 32 tahun lalu ini, menjadi satu rekam jejak Gerakan Mahasiswa di Indonesia dalam perjuangan untuk perubahan dan demokrasi.

 

Peristiwa ini memakan korban, belasan aktivis mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dikirim ke LP Nusakambangan yang dikenal sebagai LP “Kelas Berat”

 

Demontrasi mahasiswa ITB 5 Agustus 1989 ini adalah respons aktivis kampus ITB atas kehadiran Menteri Dalam Negeri Rudini dalam acara Penerimaan Mahasiswa Baru dan Pembukaan Penataran P4 Angkatan 1989. (rmol)



 

SANCAnews – Instruksi kepada mahasiswa IAIN Ciputat agar bergerak ke Gedung DPR RI dalam aksi unjuk rasa Reformasi 1998 disampaikan Azyumardi Azra yang kala itu sebagai pejabat rektor. Kini IAIN Ciputat sudah berganti nama menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

Kenangan itu disampaikan aktivis 98, Ray Rangkuti, saat menjadi pembicara dalam webinar bertajuk “Refleksi Peristiwa 5 Agustus 1989 dan Gerakan Mahasiswa Masa Kini”, Sabtu (7/8).

 

Diceritakan Ray Rangkuti, sebelum menggelar konsolidasi di Ciputat, dia bersama rekan rekan sejawat aktivis lainnya, diundang dalam rapat mahasiswa Universitas Indonesia (UI).

 

“Tanggal 17 Mei seingat saya, saya diundang kawan-kawan dari UI untuk rapat, sesampai saya di sana ternyata sudah ada skenario untuk mencoba menguasai gedung DPR,” katanya.

 

Usai rapat di UI, Ray Rangkuti bertolak ke Ciputat untuk konsolidasi dengan aktivis IAIN.

 

Tidak disangka, konsolidasi itu juga dihadiri dosen IAIN yang tinggal di sekitar Ciputat.

 

“Uniknya bukan hanya kawan-kawan yang datang, tapi hampir seluruh dosen IAIN yang berada di lingkungan Ciputat hadir pada rapat hari itu, termasuk pejabat rektor Azyumardi Azra,” terangnya.

 

Lanjutnya, pada rapat tersebut juga Azyumardi Azra menginstruksikan seluruh mahasiswa untuk hadir di Kampus IAIN.

 

Entah sedang ada jadwal kuliah atau tidak, semua diwajibkan hadir untuk bersama-sama menuju gedung DPR RI.

 

“Karena itu tanggal 18 Mei dengan diantar 13 mobil bus besar, saya kira hampir mencapai 4.000 mahasiswa IAIN di bawah koordinasi saya bergerak ke DPR,” pungkas Ray Rangkuti. (pojoksatu)



 

SANCAnews – Respon keberatan yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI adalah sikap saling menghormati antar Lembaga Negara. Karena keberatan yang KPK disampaikan didasarkan pada aturan hukum yang berlaku.

 

Berdasarkan Peraturan Ombudsman nomor 48/2020 pasal 25 ayat 26 poin B, apa yang disampaikan KPK, menunjukkan bahwa KPK  tetap pada jati dirinya yang independen dan tetap pula bersikap sesuai koridor hukum. Hal ini penting dan harus digarisbawahi karena begitulah harusnya citra diri insan KPK.

 

Demikian disampaikan peneliti dari Lembaga Studi Anti Korupsi (L-SAK) Ahmad  Aron H, dalam keterangan kepada Redaksi Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu pagi (7/8).

 

“KPK telah bersikap benar berdasarkan pada sistem dan aturan yang benar. Konsistensi ini perlu dipahami publik. Sebab bagi siapapun yang merasa benar tanpa sistem dan aturan, itu namanya ngotot. Ngotot merasa paling benar sendiri bahkan mencap yang lain pasti salah, malah nyata mirip paradigma kelompok yang sukanya mencipta keresahan di masyarakat,” urainya.

 

Ditambahkannya, respon KPK juga merupakan sikap bijak atas upaya pihak tertentu menciptakan problem tumpang tindih kewenangan antar lembaga negara.

 

“Otak-atik opini semau sendiri dan adu-adu lembaga negara lewat kelompoknya sendiri hanyalah drama berseri-seri dari 75 orang TMS yang selesai sampai di sini,” tegasnya.

 

Ahmad Aron menyinggung kembali inkonsistensi sikap yang diperlihatkan kubu Novel Baswedan yang sempat menolak UU 19/2019. Kelompok ini menjadikan gedung KPK sebagai posko ketika membuat alat peraga unjuk rasa. Mereka juga turun ke jalan menolak UU 19/2019 dan menyatakan akan mengundurkan diri dari KPK.

 

“Tapi setelah itu, ketika UU tersebut berlaku, mereka bertahan di KPK. Sekarang, statusnya sudah tidak memenuhi syarat utk menjadi ASN, terus merengek rengek minta supaya diluluskan. Ini drama yang semakin tidak menarik,” kata Ahmad Aron lagi.

 

Dia menilai, drama yang dimainkan Novel Baswedan Cs ini sudah tidak menarik. Apalagi sudah mengarah pada upaya mengadu domba lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lain.

 

“Padahal kalau ada malu, begitu tidak lulus ya langsung keluar dari KPK.  Ayo ngaca, kalau buruk muka cermin dibelah, itu yang memalukan,” demikian Ahmad Aron. []

 



SANCAnews – Ada dua agenda penting yang dibawa Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri saat menyindir tongkat komando penanganan pandemi Covid-19 yang tak kunjung dipegang Presiden Joko Widodo.

 

Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, Ray Rangkuti, pernyataan Mega tersebut bertujuan mengkritik lambannya kinerja pemerintah dalam mengatasi Covid-19.

 

Agenda lain, Megawati juga ingin menaikkan citra putrinya, Puan Maharani yang digadang-gadang akan bertarung di 2024.

 

"Tentu saja, kejengkelan itu tidak semata soal citra PDIP, tapi juga citra Puan. Puan butuh popularitas dan kenaikan elektabilitas. Itu bisa diraih, selain dari baliho, juga dari citra kinerja pemerintah yang sekarang," kata Ray Rangkuti kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (7/8).

 

Meski begitu, pengamat politik jebolan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini berpandangan bahwa sindiran Megawati ke Jokowi dan Ganjar Pranowo yang diikuti beberapa kader PDIP ibarat kamuflase untuk menunjukkan Partai Banteng tidak selamanya pro pemerintah.

 

"Kejengkelan (PDIP) ini tetap dalam koridor terkelola, tak akan menjadi gunjangan politik. Ini hanya sekadar kritik kecil untuk mencitrakan PDIP tak selalu sama dengan pemerintah," demikian Ray Rangkuti. []



 

SANCAnews – Banyak pihak menilai, saat ini hubungan PDIP dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah renggang. Kendati sekalipun PDIP tidak lain adalah parpol pengusung utama Jokowi selama dua periode ini.

 

Hal itu ditandai dengan kader PDIP yang beramai-ramai ‘menyerang’ Pemerintahan Jokowi. Anak buah Megawati Soekarnoputri itu pun terang-terangan menunjukn hidung Jokowi.

 

Utamanya terkait penanganan pandemi Covid-19 seperti yang disuarakan Pauan Maharani, Effendi Simbolon, sampai Masinton Pasaribu.

 

Di sisi lain, di periode kepemimpinannya, Jokowi dinilai lebih nyawan dengan Partai Golkar ketimbang PDIP.

 

Itu setidaknya dengan diberikannya posisi strategis kepada Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

 

Demikian ulasan yang disampaikan Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie dikutip dari RMOL (jaringan PojokSatu.id), Jumat (6/8/2021).

 

“Sampai kini, Golkar mengendalikan sejumlah proyek besar, misalkan Kartu Prakerja, sampai Airlangga diangkat jadi Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional,” tuturnya.

 

Dalam program ini, pemerintah juga menggelontor anggaran yang tidak main-main besarnya.

 

Untuk penyelenggaraan pelatihan Kartu Prakerja saja, ditetapkan sebesar Rp5,6 triliun.

 

Bagi pendaftar Kartu Prakerja yang dinyatakan lolos seleksi, pemerintah memberikan dana sebesar Rp3.550.000.

 

“Yang dialokasikan untuk membayar biaya pelatihan (kursus online) dan insentif bagi pesertanya,” paparnya.

 

Di sisi lain, jabatan sebagai Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, kata Jerry, merupakan jabatan prestisius.

 

Ditambah, Airlangga Hartarto juga merupakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

 

Dari semua itu, menurut Jerry, secara tidak sadar Jokowi lebih dekat dengan Golkar keimbang PDI Perjuangan.

 

Atas dasar itu, Jerry menggambarkan Airlangga Hartarto bak sebuah pepatah, air tenang tapi menghanyutkan.

 

“Saya lihat ada indikasi Jokowi merapat ke Golkar, seperti berada dalam comfortable zone (zona nyaman),” ungkapnya.

 

“Siapa tahu dirinya dan Airlangga punya deal-deal politik untuk mengamankan keluarga Jokowi seperti Gibran Rakabuming dan anak mantunya Bobby Nasution,” tandas Jerry. []


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.