Latest Post


 

SANCAnews – Rakyat Indonesia menjerit bukan saja karena kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dalam menekan laju pandemi Covid-19.

 

Tetapi, kata mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, rakyat menjerit karena mereka kebutuhan pokok mereka tidak dijamin pemerintah saat PPKM diberlakukan.

 

"Rakyat menjerit bukan karena PPKM tapi karena kebutuhannya tidak dijamin," cuit Said Didu di akun Twitternya, Jumat (30/7).

 

Said Didu mengatakan, PPKM memang beda dengan lockdown. Di mana, lockdown dapat diterapkan dengan jaminan kebutuhan rakyat dipenuhi negara.

 

"Kalau lockdown (karantina rumah) maka rakyat diminta tinggal di rumah dan seluruh kebutuhannya ditanggung negara," jelasnya.

 

Sementara, lanjut dia, PPKM yang diberlakukan pemerintah tidak memberikan jaminan kebutuhan pokok. Hal ini menjadi sebab jeritan rakyat, saat mereka butuh makan tapi negara tidak menghendaki mereka keluar rumah.

 

"Kalau PPKM, rakyat diminta tinggal di rumah tapi kebutuhannya cari sendiri," cetusnya.

 

Presiden Joko Widodo mengaku telah mendengar aspirasi masyarakat kecil yang menjerit agar PPKM Darurat dibuka.

 

tas dasar itu, pemerintah tidak memberlakukan lockdown karena dinilai akan menutup total seluruh sektor yang justru semakin memberatkan rakyat.

 

“PPKM Darurat itu kan semi lockdown. Itu masih semi saja, saya masuk ke kampung, saya masuk ke daerah, semuanya menjerit minta untuk dibuka,” ucap Jokowi dalam acara pemberian bantuan presiden produktif usaha mikro di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (30/7).

 

Presiden dua periode ini menambahkan pemerintah dengan terpaksa menerapkan PPKM Darurat untuk menekan lonjakan kasus Covid-19. (rmol)




SANCAnews – Rakyat yang menjerit karena diterapkannya PPKM Darurat dijadikan alasan oleh Presiden Joko Widodo untuk mempertegas sikap pemerintah yang tidak ingin mengambil langkah lockdown.

 

Sejumlah kalangan langsung merespon pernyataan Jokowi tersebut, yang kebanyakan melontarkan kritik.

 

Namun, seorang epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, menyampaikan sebuah pertanyaan kepada Jokowi terkait cara yang efektif untuk mengendalikan Covid-19.

 

"Apa sih yang kita bisa lakukan untuk kendalikan pandemi yang sudah semakin mengganas ke seluruh penjuru Republik Pak Jokowi? Saya tanya serius ya Pak," ujar Pandu Riono melalui akun Twitternya, Jumat (30/7).

 

Jokowi menyinggug perihal lockdown dan PPKM Darurat saat memberikan sambutan dalam acara Pemberian Banpres Produktif Usaha Mikro, di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Jumat (30/7).

 

Dalam kesempatan tersebut Jokowi menyatakan bahwa saat dilaksanakannya PPKM Darurat sejak 3 Juli hingga 20 Juli masyarakat sudah menjerit, sehingga ia menilai PPKM Darurat sama dengan semi-lockdown.

 

"Kalau lockdown bisa kita bayangkan! Dan (lockdown) belum bisa menjamin juga masalah (penyebaran virus corona) selesai," ujar Jokowi.

 

Atas alasan itu, Jokowi menganggap strategi karantina wilayah atau lockdown juga tidak menjamin penyebaran virus Covid-19 di tengah masyarakat bisa dihentikan.

 

Sehingga PPKM Darurat dia anggap sebagai strategi terbaik untuk menekan laju penularan virus, dan sembari memperbaiki kondisi perekonomian domestik. (rmol)



 

SANCAnews – Jeritan rakyat terjadi karena Presiden Joko Widodo tidak mengikuti perintah UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

 

Begitu yang disampaikan analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menanggapi pernyataan Presiden Jokowi yang dianggap keliru soal jeritan rakyat ketika penerapan PPKM.

 

"Jokowi keliru lagi. Mengapa rakyat menjerit ketika diterapkan PPKM Darurat? Sebabnya karena rakyat tidak diberikan bantuan kebutuhan dasarnya. Jokowi tidak mengikuti dan tidak mengindahkan perintah UU 6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan," ujar Ubedilah kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (30/7).

 

Menurut Ubedilah, Jokowi enggan melakukan karantina wilayah karena menghindari tanggungjawabnya untuk memberikan jaminan kebutuhan dasar rakyat.

 

"Maka dia gunakan istilah PPKM Darurat yang tidak ada di dalam UU 6/2018 itu. Jadi logika Jokowi keliru kalau mengatakan PPKM darurat saja menjerit apalagi karantina wilayah," kata Ubedilah.

 

Argumentasi Ubedillah, penyebab rakyat menjerit di saat Jokowi terapkan kebijakan PPKM darurat, rakyatnya tidak diberi uang untuk mencukupi kebutuhan dasarnya.

 

"Berikan setiap rakyat bantuan sebesar gaji satu bulan sesuai UMP atau disesuaikan maka rakyat tidak akan menjerit ketika istirahat sebulan di rumah," sambung Ubedilah.

 

Karena masih kata Ubedilah, uang pemerintah untuk melaksanakan karantina wilayah pelaksanaan karantina wilayah ada.

 

Ia menyarankan, untuk menghentikan sementara proyek infrastruktur atau menggunakan dana saldo anggaran lebih (Silpa) senilai Rp 388 triliun.

 

"Jadi utamakan nyawa rakyat dulu, ekonomi kemudian. Rakyat sehat dulu, covid reda karena rantai penyebaran terputus selama satu bulan (karantina wilayah). Maka dengan SDM yang sehat masyarakat akan produktif dan ekonomi akan bangkit kembali," pungkas Ubedilah. []



 

SANCAnews – Pemprov DKI Jakarta menemukan 99 ribu data ganda keluarga penerima manfaat (KPM) bantuan sosial COVID-19. Menyikapi hal ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersurat ke Menteri Sosial Tri Rismaharini meminta validasi data penerima bansos.

 

"Masih ada data double 99.450 KPM merupakan data double dari Kemensos sehingga kami tidak bisa memberikan uang tersebut sebelum ada validasi data. Pak gubernur sudah bersurat kepada Ibu Menteri sosial untuk meminta kepastian data by name by address," kata Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Premi Lasari dalam diskusi virtual, Jumat (30/7/2021).

 

Premi menjelaskan, bantuan sosial yang disiapkan oleh Pemprov DKI terdiri atas bantuan sosial tunai (BST) dan bantuan sosial nontunai berbentuk beras. Total sasaran kedua bansos sebanyak 1.007.379 KPM dengan sumber pendanaan dari APBD DKI.

 

Namun, dari jutaan KPM, sampai saat ini bansos baru tersalurkan kepada 907 ribu KK karena adanya data ganda. Bansos mulai disalurkan setelah Pemprov DKI mendapatkan kepastian data KPM dari Kemensos.

 

"Yang 99.450 KPM masih kita hold juga menunggu kepastian data Kemensos," sebutnya.

 

Sebagaimana diketahui, Pemprov DKI telah menyalurkan bansos nontunai berbentuk beras. Sama halnya dengan bansos tunai tahap 5 dan 6, bantuan beras dari Pemprov DKI menyasar 1.007.379 KPM. Tiap KPM akan menerima 10 kg beras jenis premium. Kendati demikian, sebanyak 99.743 KK di antaranya belum bisa diberikan karena permasalahan data.

 

Bansos beras disalurkan kepada 907.616 KK di 6 wilayah kota dan kabupaten di Jakarta. Rinciannya, Jakarta Pusat sebanyak 50.526 KK, Jakarta Utara sebanyak 181.367 KK, Jakarta Barat 73.948 KK, Jakarta Selatan sebanyak 142.029 KPM, Jakarta Timur sebanyak 457.250 KK, dan Kepulauan Seribu sebanyak 2.496 KK. (detik)



 

SANCAnews – Seorang calon bintara Polri yang mendaftar di Polres Minahasa Selatan bernama Rafael Malalangi, viral di media sosial karena namanya diganti dengan orang lain, padahal sudah dinyatakan lulus.

 

Rafael sebelumnya sudah dinyatakan lulus pada tanggal 22 Juli 2021. Saat itu, pengumuman kelulusan disampaikan melalui live streaming, dan ikut disaksikan oleh seluruh anggota keluarga Rafael.

 

Namun, tujuh hari kemudian, nama Rafael hilang dari daftar nama-nama yang lulus di lembar pengumuman. Yang menyedihkan, keluarga Rafael sudah membuat syukuran sebagai bentuk rasa syukur atas kelulusan anak mereka.

 

Hal ini pun menuai atensi Anggota DPR RI Dapil Sulawesi Utara, Hillary Brigitta Lasut.

 

Hillary langsung membantu Rafael Malalangi untuk mendapatkan keadilan. Anggota DPR termuda itu menduga ada permainan orang dalam, dan meminta konfirmasi ke Kapolri serta Presiden.

 

"Mengapa terjadi seperti ini. Apakah ini ada permainan orang dalam atau gimana. Yang pasti saya akan mempertanyakan ini langsung melalui surat kepada Presiden dan Kapolri. Kok bisa jadi begini," tuturnya.

 

Usahanya pun membuahkan hasil maksimal. Rafael yang tadinya dinyatakan gagal lolos seleksi Bintara Polri, kini dinyatakan diterima dan bisa mengikuti pendidikan Bintara. Polri menambah kuota untuk Rafael.

 

Hal ini dibenarkan oleh Kabid Humas Polda Sulut Kombes Pol Jules Abraham Abast, saat menggelar konferensi pers, Jumat (30/7/2021).

 

Keputusan ini tentu saja membuat Rafael senang karena akhirnya dia bisa menjadi seorang polisi yang merupakan impiannya.

 

“Terima kasih untuk bapak Kapolri, bapak Kapolda dan ibu Hillary yang sudah membantu saya hingga saya bisa menjadi anggota Polri dan mengikuti pendidikan tahun 2022 gelombang pertama, siap terima kasih,” ujar Rafael  lewat unggahan video di akun Instagram @hillarybrigitta.

 

Rafael juga berjanji akan mempersiapkan diri sebaik mungkin sehingga bisa menjalani latihan menjadi polisi dengan sebaik mungkin.

 

Dengan kabar baik ini, Hillary berpesan agar setiap anak-anak muda, terutama di Sulawesi Utara tidak takut bermimpi walaupun berasal dari latar belakang berbeda.

 

“Karena di Indonesia semua anak punya kesempatan yang sama untuk bermimpi dan bercita-cita selama ada semangat dan kemauan, dan yang paling penting Doa dan Iman kepada Tuhan. Salam hangat untuk semuanya. Hari yang bahagia untuk Sulawesi Utara,” imbuh Hillary.

 

Dia juga berterimakasih atas respon cepat Kapolri dan Kadiv Propam yang menambah kuota untuk Rafael sehingga bisa menjadi Bintara Polri.

 

"Terima kasih pak Kapolda karena hanya dalam 1 hari bisa menyelesaikan masalah ini dan dengan tegas mengusut masalah kelalaian oknum di bawah," pungkasnya. (indozone) 



SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.