Latest Post


 

SANCAnews – Waktu makan di warteg dan warung pedagang kaki lima (PKL) selama 20 menit yang tertera dalam aturan PPKM Level 4 mendapat sorotan publik. Bahkan tak jarang yang menjadikan aturan ini sebagai sebuah cemoohan.

 

Aturan ini juga tidak luput dari sorotan aktivis asal Papua, Natalius Pigai. Menurutnya, ada hal yang disorientasi dari terbitnya aturan tersebut.

 

“Pemerintah sudah kehilangan akal “Oleng”,” tuturnya kepada wartawan, Selasa (27/7).

 

Disebut disorientasi karena pemerintah gagal menerjemahkan cara untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19.

 

Diterangkan mantan anggota Komnas HAM tersebut bahwa pokok masalah dari sebaran Covid-19 itu bukan soal variabel waktu orang berada di suatu tempat. Tapi seberapa jauh jarak antar orang dalam tempat tersebut.

 

Sehingga yang seharusnya diatur bukan waktu makan seseorang di warteg, melainkan jarak antarorang saat makan di warteg.

 

“Nah kalau makan 20 menit tapi yang makan ditempat berjubel 10 orang, apa nggak tertular itu? Harusnya konsep 1 meja 1 orang,” demikian Natalius Pigai. (rmol)



 

SANCAnews – Razia penyekatan sejak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diterapkan pemerintah membuat banyak orang yang ingin mencari nafkah menjadi kesal.

 

Bahkan, sebagian di antaranya tak mampu menahan emosi sehingga mengamuk di pos penyekatan.

 

Seperti pria pengendara motor yang satu ini. Di tengah kemacetan di pos penyekatan yang bercampur baur dengan emosi, dia mengamuk dan berteriak "polisi PKI!".

 

Dalam video berdurasi  18 menit 56 detik yang diunggah kanal YouTube Rana Films, awalnya terlihat bagaimana petugas penyekatan menghalau para pengendara yang ingin melintas.

 

Bahkan, seorang jurnalis dari CNN pun tidak dibolehkan lewat. Padahal ia sedang ada jadwal siaran langsung dan ia sudah terjebak kemacetan selama 2 jam.

 

"Tolong, Pak, saya ada live jam 9. Tadi saya diizinin," ujar jurnalis tersebut memohon, namun tetap tak diizinkan lewat.

 

Saat polisi dan tentara sedang sibuk menjaga pos penyekatan, seorang pria mengenakan masker hitam dan jaket akhirnya meluapkan kekesalannya.

 

"Saya mau kerja, Pak, mau nyari nafkah buat anak buat istri. Kenapa dipersulit ya Allah?" kata pria itu meradang.

 

Tak lama kemudian, ia digiring ke pos penyekatan dan diinterogasi. Seluruh kartu di dompetnya diperiksa, seolah-olah tak cukup cuma KTP dan SIM.

 

"Bawa kantor!" kata seorang polisi.

 

"Bilang PKI ke polisi, ke petugas, gak pantas betul gak," ujar polisi yang lain.

 

"Bukan pantas gak pantas sih. Emang kita ini dikira apa? Kerja main-main apa?" kata polisi yang lain lagi.

 

Pria itu pun meminta maaf atas perkataannya. Ia mengaku khilaf karena tak mampu menahan emosinya.

 

"Kalau ada salah kata-kata saya mohon maaf ya," katanya. (indozone)



 

SANCAnews – Antibodi dalam tubuh yang dihasilkan dari vaksin Sinovac ditemukan menurun setelah 6 bulan menerima vaksin.

 

Penurunan tersebut dilaporkan terjadi walau telah mendapatkan dua dosis secara lengkap. Laporan ini dirilis berdasarkan hasil penelitian terbaru di China, Minggu (25/7).

 

Hasil penelitian ini didapatkan dari pengecekan sampel darah orang dewasa sehat berusia 18-59 yang dibagi menjadi dua kelompok dengan peserta masing-masing lebih dari 50 orang. Hasilnya, tak sampai dari separuh peserta memiliki antibodi di atas ambang batas.

 

"Untuk peserta yang menerima dua dosis, dua atau empat minggu terpisah, hanya 16,9% dan 35,2% masing-masing masih memiliki tingkat antibodi penetralisir di atas ambang batas enam bulan setelah dosis kedua," tertulis dalam hasil penelitian tersebut, dikutip dari Reuters, Selasa (27/7).

 

Walaupun ditemukan adanya penurunan antibodi, penelitian ini juga menemukan peningkatan antibodi pada peserta hingga 3 sampai 5 kali lipat setelah 4 minggu diberikan suntikan dosis ketiga.

 

Penelitian gabungan Sinovac dan institusi China lainnya ini memang terbilang baru dan belum mendapatkan tinjauan.

 

Namun, para peneliti mengingatkan bahwa perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk melihat berapa lama antibodi usai suntikan dosis ketiga bisa bertahan dalam tubuh. (kumparan)



 

SANCAnews – Presiden KSPI: 5 Agustus, puluhan ribu buruh di Indonesia siap unjuk rasa mogok kerja. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pada 5 Agustus 2021 mendatang, puluhan ribu buruh atau pekerja di ribuan pabrik di 24 provinsi akan melakukan unjuk rasa (unras) mogok kerja dengan mengibarkan bendera putih di ribuan pabrik.

 

Hal itu, sebut Said Iqbal, sebagai bentuk pekerja dan buruh menyerah dalam menghadapi hantaman selama pandemi Covid-19.

 

“Buruh akan mengibarkan bendera putih di luar pabrik tempatnya bekerja, karena kaum buruh menyerah dengan banyaknya buruh yang sudah meninggal dan terpapar Covid-19,” ungkap Said Iqbal dalam konferensi pers virtual, Senin 26 Juli 2021.

 

Seperti dilansir dari wartapembaruan.co.id, Said Iqbal juga mengatakan, puluhan ribu buruh menyerah lantaran sudah berulang-ulang berteriak agar perusahaan di tempatnya bekerja mengatur jam bergilir di situasi pandemi Covid-19.

 

Ia juga mengatakan, buruh dan pekerja sudah berulang-ulang berteriak agar yang isolasi mandiri (isoman) diberikan vitamin dan obat-obatan gratis melalui jaringan BPJS Kesehatan.

 

“Berulang-ulang teriak jangan ada PHK, berulang-ulang berteriak jangan dirumahkan dengan memotong gaji,” tegas Said Iqbal.

 

Selain itu, ia mengatakan jika pihaknya berulang-ulang berteriak Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja merugikan buruh.

 

“Bendera putih akan kita kibarkan dan akan memasang spanduk dengan tiga tuntutan, selamatkan nyawa buruh dan rakyat, cegah penularan Covid-19 dan cegah ledakan PHK,” imbuh Said Iqbal.

 

Said Iqbal juga menjelaskan, dalam unjuk rasa mogok kerja tersebut para buruh dan pekerja dengan tegas meminta agar pemerintah membatalkan Undang-undang Cipta Kerja.

 

Said Iqbal menjamin, gelaran unjuk rasa mogok kerja itu akan dilaksanakan dengan mematuhi aturan 5M, yaitu menjaga protokol kesehatan, menjaga jarak, memakai masker, menyiapkan hand sanitizer, dan menjaga tidak akan ada kerumunan.

 

“Gelaran unras mogok kerja ini akan dilakukan di luar area produksi, tapi tetap dilaksanakan di lingkungan pabrik dan diikuti puluhan ribu buruh dari seluruh Indonesia di 24 provinsi, serta di seribu pabrik pada tanggal 5 Agustus 2021,” kata Said Iqbal. (suara)




SANCAnews – Koalisi Guru Besar Antikorupsi mengapresiasi temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dalam menyikapi laporan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab Ombudsman menyatakan, terdapat maladministrasi dalam pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

 

“Koalisi Guru Besar Antikorupsi merasa penting untuk menyerukan agar Pimpinan KPK segera melantik 75 pegawai menjadi aparatur sipil negara,” kata Anggota Koalisi Guru Besar Antikorupsi, Prof Azyumardi Azra dalam keterangannya, Selasa (27/7).

 

Dia menjelaskan, ada ada dua poin yang melandaskan kesimpulan tersebut. Pertama, selaku aparat penegak hukum, sudah selayaknya KPK taat atas keputusan lembaga negara yang dimandatkan langsung oleh Undang-Undang untuk memeriksa dugaan maladminstrasi.

 

“Poin ini pun ditegaskan dengan adanya Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Ombudsman yang menyatakan terlapor (KPK) wajib hukumnya melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Jadi, masyarakat tentu tidak berharap KPK menggunakan dalih-dalih lain untuk menghindar dari kewajiban ini,” ujar Azra.

 

Kedua, temuan Ombudsman penting untuk ditindaklanjuti di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap KPK. Sebab berdasarkan hasil sejumlah lembaga survei, lanjut Azra, KPK yang sediakala selalu mendapatkan apresiasi oleh masyarakat, sekarang justru bertolak belakang.

 

“Anomali ini mesti disikapi secara bijak dan profesional, setidaknya maladministrasi TWK ini dapat menjadi bahan evaluasi mendasar bagi KPK. Terlebih selama periode perdebatan TWK, KPK juga terlihat arogan karena mengabaikan instruksi Presiden dan melanggar putusan Mahkamah Konstitusi,” tegas Azra.

 

Meski demikian, jika KPK juga enggan untuk melantik 75 pegawai, maka Presiden Joko Widodo selaku Kepala Negara mesti bertindak. Pilihannya ada dua, Presiden memerintahkan secara langsung Pimpinan KPK atau Presiden mengambil alih untuk melaksanakan putusan Ombudsman dan melakukan prose pelantikan pegawai KPK.

 

“Hal ini penting untuk segera menyudahi kegaduhan di tengah situasi pandemi Corona Virus Disease-19. Selain itu, penting pula untuk dicatat, selaku eksekutif tertinggi, baik KPK maupun BKN, wajib hukumnya mengikuti arahan Presiden,” cetus Azra.

 

Dalam hasil pemeriksaan Ombudsman, Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng membeberkan maladministrasi dalam pelaksanaan TWK yang menjadi syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN. Dia menyebut, proses penyusunan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN dimulai sejak Agustus 2020, hingga pada Januari 2021. Dia menyebut, saat itu belum muncul klausul TWK.

 

Menurutnya ide TWK muncul sehari sebelum rapat harmonisasi terakhir, tepatnya pada 25 Januari 2021. TWK diduga disisipkan dalam syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.

 

“Ombudsman Republik Indonesia berpendapat, proses panjang sebelumnya dan harmonisasi empat hingga lima kali tidak muncul klausul TWK, sekaligus mengutip notulensi 5 Januari 2021. Munculnya klausul TWK adalah bentuk penyisipan ayat, pemunculan ayat baru. Munculnya di bulan terakhir proses ini,” ujar Robert dalam konferensi pers daring, Rabu (21/7).

 

Dalam hasil penelusuran Ombudsman, pihaknya juga menemukan adanya penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan Perkom 1/2021. Menurutnya, berdasarkan Peraturan Menkumham Nomor 23 tahun 2018, harmonisasi selayaknya dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi dalam hal ini Sekjen atau Kepala Biro, JPT, pejabat administrast dan panja.

 

Tetapi hal itu dinilai tidak dipatuhi. Dalam rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021, yang hadir bukan lagi jabatan pimpinan tinggi atau perancang, melainkan para pimpinan lembaga.

 

“Ada lima pimpinan yang hadir, yakni Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menkumham dan Menpan RB. Sesuatu yang luar biasa,” ungkap Robert.

 

Dia pun mempersoalkan terkait berita acara rapat harmonisasi, yang justru ditandatangani oleh pihak-pihak yang tidak hadir dalam rapat, seperti Kepala Biro Hukum KPK, Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Ditjen PP Kemkumham.

 

“Sekali lagi yang hadir pimpinan, tapi yang tanda tangan berita acara adalah yang tidak hadir, yakni level JPT,” papar Robert menandaskan. (jawapos)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.