Bupati Padangpariaman Suhatribur SE,MM, bersama pengusaha
tambak udang Haji Adrijon (Foto; Zul Tjg)
SANCAnews – Pengembangan budidaya udang merupakan salah satu prioritas di Indonesia. Selain potensinya yang sangat besar, pengembangan usaha tambak udang juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan devisa negara, serta menciptakan lapangan kerja yang luas, seperti pembenihan, pakan pabrik, peralatan tambak dan bisnis produk lainnya.
Budidaya udang di Indonesia khususnya Udang Vaname (Penaeus
monodon) mulai berkembang pesat sejak tahun 1987. Pada awalnya budidaya udang
hanya dilakukan dengan budidaya tambak skala kecil. Namun dengan semakin
meningkatnya minat budidaya udang khususnya untuk kebutuhan ekspor, pihak
swasta mulai menanamkan modal dalam usaha ini secara besar-besaran.
Hingga saat ini, usaha budidaya udang telah merambah ke
wilayah pesisir Sumatera Barat. Hampir setiap kabupaten dan kota memiliki
tambak udang dengan berbagai ukuran dan kepemilikan. Mulai dari bisnis
tradisional hingga skala besar, dengan menerapkan berbagai teknologi yang ada.
Seperti, teknologi sederhana (penyuluhan), teknologi menengah (semi intensif)
dan teknologi maju (intensif).
Terkait hal itu, awak media sancanews.id melakukan tinjauan
khusus dan wawancara dengan pengusaha Haji Ardijon Direktur PT. Dinafa Bunga
Tanjung. Ia adalah pemilik tambak udang seluas 3,5 hektar yang terletak di
Lohong Korong Padang Karambie Nagari Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau,
Kabupaten Padang Pariaman.
Haji Adrijon Tanjung pengusaha tambak Udang Vaname/Ist
Kepada media, H. Ardijon menceritakan hasil pertemuan saat
bertemu dengan Bupati Padang Pariaman Suhatri Bur SE. MM di kediamannya
beberapa waktu lalu dan Bupati Padang Pariaman, Suhatri Bur berpesan agar
lokasi pembangunan tambak udangnya harus sesuai dengan aturan dan ketentuan
yang berlaku. Yakni, jarak kolam dari bibir pantai adalah 100 meter dan
dilengkapi dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh instansi terkait. Seperti
kesesuaian tata ruang dan titik koordinat, analisis dampak lingkungan dan
memperhatikan kearifan lokal masyarakat setempat.
Saat dikonfirmasi media dengan Camat Sungai Limau Arlis,
S.Sos. Ia mengatakan pembangunan tambak udang menjadi alternatif yang sangat
baik dalam pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19. Manfaat Azaz dirasakan
oleh masyarakat terutama dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi anak-anak
desa dan membantu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar. Misalnya, orang
mulai bekerja sebagai pedagang udang skala kecil dan usaha di sektor
transportasi.
"Dengan banyaknya bermunculan usaha tambak udang di
Kabupaten Padang Pariaman, khususnya di wilayah Kecamatan Sungai Limau.
Tentunya akan memberikan dampak peningkatan ekonomi yang signifikan bagi Nagari
setempat. Dengan syarat, kehadirannya juga tidak merusak lingkungan dan
ekosistem serta tidak mengganggu situasi keamanan dan ketertiban di tengah
masyarakat,” terangnya
Secara terpisah, Gubernur Sumatra Barat Mahyeldi meminta
Bupati dan Walikota. Agar potensi tambak udang, diakomodasi dalam Peraturan
Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan Kota. Agar
perkembangannya bisa sesuai dengan aturan dan memberikan kenyamanan berusaha
bagi investor.
Menurutnya, tambak udang punya potensi besar untuk
menggerakkan perekonomian Daerah. Namun perkembangannya harus sesuai dengan
aturan, yaitu pada kawasan yang diperuntukkan berdasarkan Perda RTRW.
“Bagi daerah yang usaha tambak udangnya telah berkembang
namun belum terakomodasi dalam Perda RT RW harus dicarikan solusi untuk
dibuatkan dasar hukum yang jelas, menjelang bisa diakomodasi dalam Perda,”
katanya.
Merevisi Perda RTRW ungkap Buya Mahyeldi, perlu waktu yang
relatif lama. Sementara, usaha tambak udang terus berjalan dan berkembang
dengan pesat. Tidak boleh ada kekosongan aturan dalam hal itu, karenanya bisa coba dicek apakah bisa dibuat Perbup
atau Perwako menjelang Perda direvisi.
“Jenis tambak di Sumbar adalah tambak intensif. Beda tambak
itu dengan tambak tradisional adalah jumlah benur per M2. Tambak tradisional
jumlah benur di bawah 100 ekor per M2 sementara tambak insentif di atas 100
benur per M2,” katanya.
"Saat ini, potensi lahan yang bisa dimanfaatkan Sumatera
Barat sekitar 7.700 hektare. Tetapi itu bisa bertambah, seiring ketertarikan
investasi bidang tambak yang terus meningkat. Hal ini terlihat, dengan adanya
upaya mengubah peruntukan lahan kebun sawit, dari kawasan perkebunan menjadi
kawasan usaha perikanan atau lahan tambak". ujar Mahyeldi.
Mahyeldi menekankan, kita harus belajar dari tambak udang di
Lampung. Ada potensi pendapatan bagi Pemerintah Daerah, dari restribusi tambak
tersebut. Di provinsi Lampung restribusi yang ditetapkan dengan Perda berkisar
antara Rp.3 juta per hektare per tahun.
Kepala Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Barat Yosmeri
menyebut, persoalan lain yang dihadapi pada tembak udang di Sumbar adalah
lokasi yang berada di sempadan pantai. Namun ada pula persoalan, karena Perda
tentang penetapan sempadan itu masih belum ada. Padahal berdasarkan Perpres 51
tahun 2016, sempadan pantai ditetapkan dengan Perda Provinsi dan Perda
kabupaten kota.
Ia mengusulkan, untuk sementara Pemerintah Daerah mengambil
sikap untuk melakukan moratorium tambak baru yang melanggar aturan. Kemudian,
mendorong pengusaha tambak untuk mengurus izin dengan syarat harus ada
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
“Ke depan pembuatan tambak harus sesuai dengan kajian daya
dukung dan daya tampung di satu wilayah. Yang nantinya diakomodir melalui Perda
RTRW Daerah setempat,” katanya.
Lokasi tambak Udang Vaname di Lohong Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten
Padangpariaman/Ist
Diketahui, hingga tahun 2020, jumlah tambak di Sumbar terdata
sebanyak 625 petak. Dengan luas total sekitar 135 hektare, dengan total
produksi sebanyak 2000 ton per tahun. Tambak udang itu dikelola oleh 61 orang
pengusaha dan bukan tambak tradisional.
Dari data yang diperoleh, sudah ada beberapa Kabupaten dan
Kota yang telah merevisi Perda RTRW untuk mengakomodasi tambak. Daerah itu
diantaranya Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Padang dan Kabupaten Padang
Pariaman. Sementara Kota Pariaman, Kabupaten Agam, Pasaman Barat dan Kepulauan
Mentawai masih belum melakukan revisi. Tetapi dalam Perda yang lama itu, sudah
ada peruntukannya bagi usaha perikanan. (ZL Tjg)