Latest Post


 

SANCAnews – Pengamat Sosial Politik dari Univesitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menilai PDIP tidak layak disebut sebagai partai ideologis.

 

Hal itu disampaikan menanggapi Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristianto, yang menutup ruang koalisi dengan Demokrat dan PKS dengan alasan berbeda ideologisnya.

 

Menurut Ubedilah, alasannya yang diutarakan Hasto mengenai hal ini justru memperjelas corak partai yang tidak ideologis.

 

Sebab selama pengamatannya, kepemimpinan PDIP cendrung mengamini praktik pragmatisme kekuasaan dan perilaku koruptif, bahkan menurutnya terjadi dimana-mana.

 

“Mereka melakukan korupsi paling jahat sepanjang sejarah, karena melakukan korupsi uang bantuan sosial (bansos) yang seharusnya untuk orang miskin,” ujar Ubedilah, Senin (31/5).

 

Dari situ, Ubedilah memandang PDIP bukan partai yang ideologis. Sehingga, fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa koalisi yang dibangun PDIP bukanlah koalisi ideologis, tetapi koalisi pragmatis.

 

“Jadi tidak layak jika PDIP mengklaim sebagai partai ideologis lalu membangun koalisi Pilpres 2024 dengan basis ideologis, sementara koalisi capres lain dinilai tidak ideologis,” tuturnya.

 

Narasi Hasto, disimpulkan ubaedillah, harus segara dikoreksi PDIP. Karena mengarah pada dua hal, yaitu klaim partai paling ideologis dan mengarah pada pola Pilpres yang sama seperti pada Pilpres 2019 lalu yang hanya dua pasang capres-cawapres.

 

“Itu head to head yang juga akan memicu potensi konflik yang lebih besar. Apalagi dibumbuhi dengan klaim ideologis,” kata Ubedilah.

 

Potensi konflik yang lebih besar akan terjadi jika hanya ada dua pasangan calon Presiden di Pilpres 2024.

 

Hasto Klaim PDIP Partai Ideologis

 

Sebelumnya Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto berharap agar Pilpres 2024 mendatang diikuti diikuti dua pasang calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Dengan demikian diharapkan tidak ada pemungutan suara putaran kedua.

 

“Kami akan membangun koalisi sehingga paling tidak pemilu kedepan itu hanya diikuti oleh dua pasangan calon, jadi tidak ada dua ronde supaya energi kita ini bisa difokuskan mengatasi berbagai persoalan,” kata Hasto dalam diskusi yang digelar Para Syndicate secara daring, Jumat (28/5).

 

Ia berharap pilpres ke depannya tidak hanya sekadar soal kontestasi semata. Menurutnya, untuk memimpin sebuah negara perlu ada persiapan matang.

 

“Untuk jadi pemimpin melalui proses penyiapan, bukan hanya lahir dari kontestasi yang sifatnya liberal,” ucapnya.

 

Hasto menambahkan, apalagi saat ini ketegangan tengah terjadi di Laut Tiongkok Selatan dan Timur Tengah. Peran Indonesia dinilai penting untuk membantu persoalan negara yang tengah berseteru agar bisa selesai.

 

“Agar masalah Palestina bisa selesai, agar perdamaian di Timur Tengah bisa tercipta karena campur tangan Indonesia,” ucapnya.

 

Sebelumnya, Hasto juga mengungkapkan PDIP sulit berkoalisi dengan PKS dan Partai Demokrat. Hasto mengatakan ketidakcocokan tersebut lantaran keduanya memiliki ideologi yang berbeda.

 

“PDIP berbeda dengan PKS karena basis ideologinya berbeda, sehingga sangat sulit untuk melakukan koalisi dengan PKS. Itu saya tegaskan sejak awal,” ucapnya.

 

“Dengan Demokrat berbeda, basisnya berbeda. (Mereka) partai elektoral, kami adalah partai ideologi tapi juga bertumpu pada kekuatan massa. Sehingga kami tegaskan dari DNA-nya kami berbeda dengan Partai Demokrat,” imbuhnya. []

 

 

 



 

SANCAnews – Tanggal 1 Juni 2021 seluruh rakyat Indonesia memperingati hari lahirnya Pancasila, pada hari inilah Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang merupakan gabungan tokoh nasionalis dan ulama oleh karenanya Pancasila kemudian tidak terlepas dari agama sehingga pada sila pertama tercantum Ketuhanan Yang Maha Esa dilanjutkan dengan sila-sila berikutnya yang penuh dengan nilai-nilai agama.

 

Seiring dengan perkembangan zaman, terutama dengan terbukanya era digitalisasi dan mudahnya arus informasi, sehingga tidak ada lagi sekat antara satu daerah dengan daerah lainya, bahkan tidak lagi ada batas antara satu negara dengan negara lainya.

 

Kemajuan tekhnologi komunikasi tersebut banyak memberikan manfaat yang positif, bahkan para pencari ilmu dapat berselancar menggunakan tekhnologi internet untuk dapat menambah pengetahuan. Namun demikian, tidak sedikit pula orang maupun kelompok yang memanfaatkan tekhnologi informasi untuk menyebarkan paham transnasional radikal untuk mengikis nilai-nilai Pancasila yang telah tertanam di masyarakat.

 

Kemajuan teknologi komunikasi, termasuk dengan munculnya konektivitas 5G, ternyata ikut memunculkan tantangan baru. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan, kemudahan komunikasi melalui konektivitas 5G bisa saja dimanfaatkan untuk menyebarkan ideologi transnasional radikal.

 

“Ketika konektivitas 5G melanda dunia maka interaksi antardunia juga semakin mudah dan cepat. Kemudahan ini bisa digunakan oleh ideolog transnasional radikal untuk merambah ke semua pelosok Indonesia ke seluruh kalangan dan keseluruh usia tidak mengenal lokasi dan waktu,” kata Jokowi dalam sambutan peringatan Hari Lahir Pancasila, seperti dikutip dari laman republika.co.id Selasa (1/6).

 

Penyebaran paham radikal yang semakin cepat ini, menurut Jokowi, perlu diimbangi dengan penanaman nilai-nilai Pancasila yang juga perlu digencarkan. Caranya pun juga dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi. Ideologi Pancasila, menurutnya, perlu terus dipupuk kepada generasi muda untuk menggerus penyebaran ideologi transnasional radikal.

 

Presiden menyadari, kendati Pancasila sendiri sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagai sebuah ideologi, namun globalisasi menambah tantangan bagi masyarakat Indonesia dalam meresapi nilai Pancasila.

 

“Yang harus kita waspadai adalah meningkatnya rivalitas dan kompetisi, termasuk rivalitas antarideologi. Ideologi transnasional cenderung semakin meningkat memasuki berbagai lini kehidupan masyarakat dengan berbagai cara dan berbagai strategi,” ujar Jokowi dalam sambutannya.

 

Jokowi lantas mengajak seluruh aparat pemerintahan, tokoh agama, tokoh masyarakat, para pendidik, kaum profesional, generasi muda Indonesia, dan seluruh rakyat indonesia untuk bersatu padu dan bergerak aktif memperkokoh nilai pancasila dalam mewujudkan Indonesia yang maju.

 

“Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila, selamat membumikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” ujar Jokowi. []

 

 



 

SANCAnews – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk kembali memanggil dua politisi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yang dalam persidangan disebut turut mendapatkan jatah kuota bantuan sosial (bansos) sembako Covid-19 di Kementerian Sosial (Kemensos).

 

Desakan itu disampaikan oleh pakar sosial politik, Muslim Arbi yang menilai dari beberapa persidangan kerap muncul nama Herman Herry selaku Ketua Komisi III DPR RI dan Ihsan Yunus selaku mantan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI. Keduanya merupakan politisi PDIP.

 

Dari sidang yang digelar pada Senin (31/5), Adi Wahyono yang juga terdakwa dalam perkara suap bansos sembako Covid-19 dihadirkan menjadi saksi untuk terdakwa Juliari Peter Batubara selaku mantan Menteri Sosial.

 

Dalam sidang itu, muncul banyak fakta yang memperlihatkan keterlibatan Herman Herry dan Ihsan Yunus.

 

"Dari sidang kemarin itu, diketahui, melalui telepon anaknya Herman Herry Ketua Komisi III DPR, minta tidak dilibatkan dirinya dalam kasus bansos. Padahal sudah diberitakan media sebelumnya dan ada aksi ke KPK agar Herman Herry ditangkap karena turut menikmati dana bansos," ujar Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (1/6).

 

Muslim menilai sudah saatnya KPK kembali memanggil dan memeriksa Herman Herry untuk menggali keterangannya terkait fakta persidangan tersebut. Termasuk segera memanggil dan memeriksa Ihsan Yunus mantan Wakil Ketua Komisi VIII DPR.

 

“Jika diperiksa dengan bukti-bukti yang cukup kuat dan meyakinkan, mereka dapat dijadikan tersangka dan di tahan," demikian Muslim Arbi. []

 

 

 




SANCAnews – Pancasila dicetuskan dan ditetapkan sebagai dasar negara dengan tujuan menjadi alat pemersatu serta pedoman negara Republik Indonesia.

 

Namun, sebagian pihak meyakini rezim demi rezim menyalahgunakan Pancasila sebagai alat kekuasaan.

 

Pancasila lahir dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

 

Merujuk risalah rapat BPUPKI, Mohammad Yamin, Soepomo dan Sukarno menyampaikan gagasan tentang dasar negara Indonesia setelah merdeka.

 

Anggota rapat lantas menyetujui konsep yang diusung Sukarno lewat pidato menggebu-gebu pada 1 Juni 1945.

 

Kemudian, dibentuk panitia untuk menindaklanjuti usulan Sukarno hingga Pancasila ditetapkan.

 

Seperti melansir cnnindonesia.com, Ria Casmi Arrsa dalam bukunya bertajuk Deideologi Pancasila (2011), menyebut perdebatan dasar negara Indonesia belum selesai meski sudah merdeka. Terlihat dari rapat-rapat Dewan Konstituante yang dipenuhi gesekan pandangan.

 

Dewan Konstituante sendiri dibentuk dari hasil Pemilu 1955 yang bertugas menyusun undang-undang dasar (UUD) baru. pengganti UUD Sementara tahun 1950.

 

Rapat Dewan Konstituante selalu panas. Fraksi-fraksi partai politik dan golongan di dalamnya tak pernah bisa mencapai kata sepakat.

 

Sebanyak 52 persen anggota Konstituante setuju Indonesia tetap menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Di saat yang sama, 48 persen lainnya memilih Islam sebagai dasar negara.

 

Sukarno, yang saat itu menjabat sebagai kepala negara, gusar lantaran Dewan Konstituante tak kunjung mampu menghasilkan UUD yang baru. Dia lalu membubarkan Dewan Konstituante.

 

Sukarno kemudian menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dia kembali menerapkan UUD 1945 lalu memulai rezim Demokrasi Terpimpin atau yang kerap disebut sebagai Orde Lama.


Sukarno (kiri) dan Soeharto (kanan) memiliki cara masing-masing dalam menggunakan Pancasila sebagai alat kekuasaaan saat menjadi Presiden.(AFP PHOTO / PANASIA-FILES)



Orde Lama

 

Di masa Demokrasi Terpimpin, Sukarno mencetuskan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Dia berupaya merangkul kelompok komunis yang selama periode 1950-an kerap tidak diajak kelompok nasionalis dan agamis dalam pembentukan kabinet parlementer padahal memiliki suara keempat terbanyak di DPR.

 

Arrsa menilai konsep Nasakom merupakan awal membawa Pancasila sebagai alat politik. Semua seolah dipaksa setuju, padahal kala itu pertentangan kelompok agamis dengan komunis sudah sangat kental di berbagai lapisan masyarakat.

 

"Dikeluarkannya ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat kedudukan presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden," tulis Arrsa dalam buku tersebut.

 

Di masa itu, Sukarno membubarkan Partai Sosialis Indonesia dan partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Sukarno juga menasbihkan dirinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan serta panglima angkatan perang. Semua anggota DPR pun ditunjuk olehnya.

 

Orde Baru

 

Pada era 1960-an, Arrsa menyebut Pancasila digunakan oleh kelompok antikomunis. Kelompok itu memakai Pancasila sebagai pembenaran atas pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap komunis setelah prahara 1965.

 

Orde Baru melanjutkan kecenderungan penggunaan Pancasila sebagai alat kekuasaan. Soeharto memberi tafsir tunggal kepada Pancasila. Ia juga menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang tidak dapat diganggu gugat.

 

"Formulasi yang dicetuskan oleh Soeharto untuk memberikan tafsir terhadap Pancasila dengan pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila (P4) yang mana eksistensi keberadaan P4 diperkuat melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978," ucap Arrsa.

 

Arrsa menyebut Orde Baru juga mendelegitimasi Sukarno lewat tafsir Pancasila mereka. Salah satu manuver Orde Baru adalah menggelar Simposium Kebangkitan Semangat 66: Mendjelajah Tracee Baru di Universitas Indonesia, 6-9 Mei 1966. Simposium menyatakan Nasakom gagal.


Di era setelah reformasi 1998, para pimpinan negara jarang menggaungkan konsep dan nilai-nilai Pancasila. Hal itu diakui oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean).



Reformasi

 

Pada awal reformasi 1998, Arrsa menilai para pemimpin menghindari pembicaraan Pancasila. Mulai dari B.J. Habibie hingga Megawati jarang tampil untuk menyuarakan nilai-nilai Pancasila dan penerapannya.

 

Dugaan Arrsa itu dikuatkan lagi oleh pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 1 Juni 2006. SBY mengakui pembahasan Pancasila mulai luput dari ruang publik sejak Orde Baru runtuh.

 

"Kita merasakan, dalam delapan tahun terakhir ini, di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negeri kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan dan lain-lain," ucap SBY.

 

"Karena bisa-bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa dianggap tidak reformis," sambungnya.

 

Pancasila kembali sering didengungkan pada masa pemerintahan Joko Widodo. Pada 2016, Jokowi menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila lewat Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 2016. Hari Lahir Pancasila 1 Juni juga ditetapkan sebagai hari libur nasional.

 

Selain itu, Jokowi juga membentuk Badan Ideologi Pembina Pancasila (BPIP) pada 28 Februari 2018. Badan itu sah terbentuk dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sebagai landasan.

 

Stempel Politik

 

Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai ada kecenderungan penyalahgunaan Pancasila sebagai alat politik di berbagai era. Dia berpendapat kecenderungan itu juga terjadi di era pemerintahan Joko Widodo.

 

Refly berpendapat ada pemisahan antarkelompok masyarakat di masa pemerintahan Jokowi. Dia menyebut kelompok yang tidak sejalan dengan pemerintah akan dirundung oleh buzzer atau pendengung di media sosial.

 

Para buzzer, kata dia, akan menggunakan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI sebagai stempel politik. Kelompok yang tak sejalan akan dicap tidak Pancasilais.

 

"Itu sudah terjadi sejak zaman Bung Karno, sejak Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, terutama pada zaman Presiden Jokowi mulai lagi Pancasila dijadikan stempel, judgement. Misalnya, untuk menilai saya Pancasila bahwa yang lain bukan," kata Refly beberapa waktu lalu.

 

Di era Presiden Joko Widodo, Pancasila dianggap kerap dijadikan alat gebuk pihak yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Meski begitu, di era Presiden Jokowi, hari lahir Pancasila menjadi hari libur nasional(Rusman-Biro Setpres)


Di era Presiden Joko Widodo, Pancasila dianggap kerap dijadikan alat gebuk pihak yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Meski begitu, di era Presiden Jokowi, hari lahir Pancasila menjadi hari libur nasional(Rusman-Biro Setpres)


Pendapat serupa juga disampaikan pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi. Dia berpendapat ada kecenderungan Pancasila digunakan sebagai alat penghakiman tetapi bukan di pengadilan.

 

Asrinaldi melihat penghakiman itu dilakukan terhadap kelompok-kelompok yang keras mengkritik pemerintah. Lebih khusus, terhadap kelompok beraliran Islam.

 

"Saya pikir itu jadi justifikasi ya bahwa ini dianggap tidak Pancasilais. Dikait-kaitkan ke sana. Sebenarnya kalau kita lihat ada label Islam garis keras, radikalisme, barang kali tidak sesuai Pancasila, tapi kalau hanya kesadaran mereka menjalankan agama kan dijamin Pancasila," ucap Asrinaldi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (28/5).

 

Terpisah, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo membantah anggapan-anggapan itu. Dia menegaskan pemerintahan Jokowi tak pernah menggunakan Pancasila sebagai alat politik kekuasaan.

 

Benny menyampaikan penggunaan Pancasila sebagai alat pemukul lawan politik terjadi pada Orde Baru. Ia mengenang perjuangannya menolak penggusuran Kedung Ombo saat Orde Baru hendak membangun waduk dengan pendanaan Bank Dunia.

 

"Kalau Orde Baru kita ngomong saja enggak bisa apa-apa, dikejar-kejar. Ketika Kedung Ombo kan alasannya itu. Orang yang menolak pembangunan Kedung Ombo kan disebut antipancasila, di-PKI-kan," ucap Benny saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (28/5).

 

Dia menyebut keadaan berubah pascareformasi. Menurutnya, saat ini Pancasila telah kembali menjadi ideologi dan dasar negara, bukan alat politik kekuasaan.

 

Lebih lanjut, Benny menilai pemerintahan Jokowi juga tak mengotak-atik Pancasila sebagai dasar negara. Dia menyebut pemerintah tidak pernah menyingkirkan orang-orang yang mengkritik.

 

"Kekhawatiran itu berlebihan lah. Kenyataannya negara ini demokratis kok. Justru yang ditangkap itu ketika menyebarkan kebencian, SARA, menyebarkan yang meresahkan publik, itu yang diproses," ucapnya. (ljc)



 

SANCAnews – Indonesia Corruption Watch (ICW) angkat bicara soal label 'merah' yang diberikan pimpinan KPK terhadap 51 pegawai KPK yang tidak bisa dibina lagi menjadi ASN.

 

Menurut ICW, hal itu sengaja dibuat agar pegawai KPK tunduk kepada Ketua KPK Firli Bahuri.

 

"ICW berpandangan sembilan indikator tanda 'merah' kepada 51 pegawai KPK semakin menguatkan dugaan publik bahwa Tes Wawasan Kebangsaan ini memang didesain untuk menundukkan seluruh pegawai kepada Pimpinan KPK, terutama Firli Bahuri. Cara-cara seperti ini sangat bertolak belakang dengan nilai dan budaya yang dibangun di KPK," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Selasa (1/6/2021).

 

Kurnia mengatakan ada 9 poin indikator saat pencalonan Firli sebagai Ketua KPK. Dia menegaskan bahwa Firli memiliki rekam jejak yang buruk saat ingin mencalonkan sebagai Ketua KPK.

 

"Betapa tidak, diantara 9 poin indikator tertera perihal penolakan atas pencalonan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Sebelumnya penting untuk ditegaskan bahwa Firli Bahuri memiliki rekam jejak buruk saat mencalonkan diri sebagai Pimpinan KPK, jadi, menjadi hal wajar jika sejumlah pegawai, atau bahkan masyarakat luas berbondong-bondong melancarkan kritik terhadap yang bersangkutan," ujar Kurnia.

 

Lalu, dia mempertanyakan soal dasar ukur TWK itu apakah hanya memang penilaian atas Firli sendiri. Jika dugaan itu benar, ICW menilai TWK KPK hanya sengaja dibuat untuk upaya menyingkirkan.

 

"Pertanyaan lanjutannya, apakah cara mengukur wawasan kebangsaan didasarkan atas penilaian terhadap Firli Bahuri semata? Jika benar, maka TWK ini hanya dijadikan langkah bersih-bersih," katanya.

 

ICW juga menilai penyelenggara TWK KPK masih menggunakan kultur lama. Pasalnya, sikap mereka dalam menolak revisi UU KPK hanya disikapi secara kelembagaan, bukan sikap individu pegawai.

 

"Selanjutnya ada pula poin terkait penolakan atas revisi UU KPK. Dari sini terlihat bahwa panitia penyelenggara TWK ini ahistoris, sebab, sikap penolakan atas revisi UU KPK bukan merupakan sikap individu pegawai, melainkan kelembagaan KPK kala itu," ujarnya.

 

"Bahkan, KPK di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo cs telah melayangkan surat untuk menolak pembahasan revisi UU KPK," sambungnya.

 

Selanjutnya, ICW mengatakan saat draft UU KPK beredar, KPK jelas-jelas menerangkan bahwa akan ada 26 poin kelemahan saat UU KPK itu diundangkan. Jika TWK menjadi dasar dalam mengukur seseorang dalam wawasan kebangsaan, sebagian masyarakat Indonesia bahkan ratusan akademisi, menurut ICW tidak akan memenuhi syarat sebagai warga yang memiliki wawasan kebangsaan.

 

"Tidak hanya itu, saat draft UU KPK beredar, lembaga antirasuah itu secara terang benderang mengumumkan 26 poin kelemahan yang akan dialami oleh KPK pasca regulasi itu diundangkan.

 

Jika benar ini menjadi tolak ukur menilai wawasan kebangsaan, maka sebagian besar masyarakat Indonesia, ratusan akademisi, puluhan guru besar, dan ribuan mahasiswa juga tidak memenuhi syarat sebagai warga negara yang memiliki wawasan kebangsaaan," ujarnya.

 

Dengan itu, ICW menilai penyelenggaraan TWK ini sangat buruk. Tidak heran jika TWK ini hanya merugikan negara.

 

"Maka dari itu, dengan kualitas penyelenggaraan yang sangat buruk seperti ini, maka tidak salah jika dikatakan penyelenggaraan TWK telah merugikan negara miliaran rupiah," katanya.

 

Sikap Pimpinan KPK

 

Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan tak pernah memecat ke-75 pegawai KPK yang tak lolos TWK itu. Dia mengatakan pimpinan KPK bakal berkoordinasi lebih lanjut setelah ada arahan dari Jokowi tersebut.

 

"Saya pastikan KPK sebagaimana arahan Presiden, kita pegang teguh dan kita tindak lanjuti dengan cara koordinasi, komunikasi dengan MenPAN dan Kepala BKN termasuk juga dengan kementerian lain karena sesungguhnya, kalau ada perintah Presiden, tentulah kita tindak lanjuti tetapi menindaklanjutinya tidak bisa dengan satu jari, tidak bisa hanya KPK, karena terkait dengan kementerian/lembaga lain," ucap Firli.

 

Dia mengatakan KPK harus berkoordinasi dengan lembaga lain terkait tindak lanjut arahan Jokowi itu, antara lain BKN, KemenPAN-RB, hingga Kemenkumham.

 

"Ada MenPAN, ada Kumham yang mengatur regulasi, ada Komisi Aparatur Sipil Negara, ada Lembaga Administrasi Negara, ada MenPAN-RB dan ada BKN, inilah yang kita kerja-samakan, dan kami mohon maaf tidak ingin mendahului keputusannya tetapi yang pasti hari Selasa kita akan lakukan pembahasan secara intensif untuk penyelesaian 75 pegawai KPK. Rekan-rekan kami, adik-adik saya, bagaimana proses selanjutnya, tentu melibatkan kementerian dan lembaga lain. Karena itu, kami tidak berani memberikan respons sejak awal karena kami harus bekerja dengan bersama-sama kementerian dan lembaga," tuturnya.

 

51 Pegawai Dinyatakan Tak Bisa Dibina Lagi

 

Pimpinan KPK kemudian berkoordinasi dengan BKN, KemenPAN-RB serta Kemenkumham untuk menentukan nasib ke-75 pegawai KPK yang tak lolos itu. Di antara ke-75 nama itu, ada nama-nama seperti penyidik senior KPK Novel Baswedan hingga pejabat struktural KPK, seperti Giri Suprapdiono dan Sujanarko.

 

Seusai pertemuan, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan ada 51 nama yang tak bisa 'diselamatkan'. Sementara, 24 pegawai KPK dinilai masih bisa dibina.

 

"Ada cukup diskusi antara yang hadir dengan pihak asesor. Dari hasil pemetaan dari asesor dan kita sepakati bersama, dari 75 itu, dihasilkan bahwa ada 24 pegawai dari 75 tadi yang masih dimungkinkan untuk dilakukan pembinaan, jadi sebelum diangkat jadi ASN. Sedangkan yang 51 orang dari asesor sudah warnanya bilang sudah merah dan ya tidak memungkinkan dilakukan pembinaan," ucap Alexander dalam konferensi pers di BKN, Selasa (25/5). (dtk)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.