Latest Post



SANCAnews – Pancasila dicetuskan dan ditetapkan sebagai dasar negara dengan tujuan menjadi alat pemersatu serta pedoman negara Republik Indonesia.

 

Namun, sebagian pihak meyakini rezim demi rezim menyalahgunakan Pancasila sebagai alat kekuasaan.

 

Pancasila lahir dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

 

Merujuk risalah rapat BPUPKI, Mohammad Yamin, Soepomo dan Sukarno menyampaikan gagasan tentang dasar negara Indonesia setelah merdeka.

 

Anggota rapat lantas menyetujui konsep yang diusung Sukarno lewat pidato menggebu-gebu pada 1 Juni 1945.

 

Kemudian, dibentuk panitia untuk menindaklanjuti usulan Sukarno hingga Pancasila ditetapkan.

 

Seperti melansir cnnindonesia.com, Ria Casmi Arrsa dalam bukunya bertajuk Deideologi Pancasila (2011), menyebut perdebatan dasar negara Indonesia belum selesai meski sudah merdeka. Terlihat dari rapat-rapat Dewan Konstituante yang dipenuhi gesekan pandangan.

 

Dewan Konstituante sendiri dibentuk dari hasil Pemilu 1955 yang bertugas menyusun undang-undang dasar (UUD) baru. pengganti UUD Sementara tahun 1950.

 

Rapat Dewan Konstituante selalu panas. Fraksi-fraksi partai politik dan golongan di dalamnya tak pernah bisa mencapai kata sepakat.

 

Sebanyak 52 persen anggota Konstituante setuju Indonesia tetap menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Di saat yang sama, 48 persen lainnya memilih Islam sebagai dasar negara.

 

Sukarno, yang saat itu menjabat sebagai kepala negara, gusar lantaran Dewan Konstituante tak kunjung mampu menghasilkan UUD yang baru. Dia lalu membubarkan Dewan Konstituante.

 

Sukarno kemudian menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dia kembali menerapkan UUD 1945 lalu memulai rezim Demokrasi Terpimpin atau yang kerap disebut sebagai Orde Lama.


Sukarno (kiri) dan Soeharto (kanan) memiliki cara masing-masing dalam menggunakan Pancasila sebagai alat kekuasaaan saat menjadi Presiden.(AFP PHOTO / PANASIA-FILES)



Orde Lama

 

Di masa Demokrasi Terpimpin, Sukarno mencetuskan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Dia berupaya merangkul kelompok komunis yang selama periode 1950-an kerap tidak diajak kelompok nasionalis dan agamis dalam pembentukan kabinet parlementer padahal memiliki suara keempat terbanyak di DPR.

 

Arrsa menilai konsep Nasakom merupakan awal membawa Pancasila sebagai alat politik. Semua seolah dipaksa setuju, padahal kala itu pertentangan kelompok agamis dengan komunis sudah sangat kental di berbagai lapisan masyarakat.

 

"Dikeluarkannya ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat kedudukan presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden," tulis Arrsa dalam buku tersebut.

 

Di masa itu, Sukarno membubarkan Partai Sosialis Indonesia dan partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Sukarno juga menasbihkan dirinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan serta panglima angkatan perang. Semua anggota DPR pun ditunjuk olehnya.

 

Orde Baru

 

Pada era 1960-an, Arrsa menyebut Pancasila digunakan oleh kelompok antikomunis. Kelompok itu memakai Pancasila sebagai pembenaran atas pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap komunis setelah prahara 1965.

 

Orde Baru melanjutkan kecenderungan penggunaan Pancasila sebagai alat kekuasaan. Soeharto memberi tafsir tunggal kepada Pancasila. Ia juga menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang tidak dapat diganggu gugat.

 

"Formulasi yang dicetuskan oleh Soeharto untuk memberikan tafsir terhadap Pancasila dengan pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila (P4) yang mana eksistensi keberadaan P4 diperkuat melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978," ucap Arrsa.

 

Arrsa menyebut Orde Baru juga mendelegitimasi Sukarno lewat tafsir Pancasila mereka. Salah satu manuver Orde Baru adalah menggelar Simposium Kebangkitan Semangat 66: Mendjelajah Tracee Baru di Universitas Indonesia, 6-9 Mei 1966. Simposium menyatakan Nasakom gagal.


Di era setelah reformasi 1998, para pimpinan negara jarang menggaungkan konsep dan nilai-nilai Pancasila. Hal itu diakui oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean).



Reformasi

 

Pada awal reformasi 1998, Arrsa menilai para pemimpin menghindari pembicaraan Pancasila. Mulai dari B.J. Habibie hingga Megawati jarang tampil untuk menyuarakan nilai-nilai Pancasila dan penerapannya.

 

Dugaan Arrsa itu dikuatkan lagi oleh pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 1 Juni 2006. SBY mengakui pembahasan Pancasila mulai luput dari ruang publik sejak Orde Baru runtuh.

 

"Kita merasakan, dalam delapan tahun terakhir ini, di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negeri kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan dan lain-lain," ucap SBY.

 

"Karena bisa-bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa dianggap tidak reformis," sambungnya.

 

Pancasila kembali sering didengungkan pada masa pemerintahan Joko Widodo. Pada 2016, Jokowi menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila lewat Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 2016. Hari Lahir Pancasila 1 Juni juga ditetapkan sebagai hari libur nasional.

 

Selain itu, Jokowi juga membentuk Badan Ideologi Pembina Pancasila (BPIP) pada 28 Februari 2018. Badan itu sah terbentuk dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sebagai landasan.

 

Stempel Politik

 

Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai ada kecenderungan penyalahgunaan Pancasila sebagai alat politik di berbagai era. Dia berpendapat kecenderungan itu juga terjadi di era pemerintahan Joko Widodo.

 

Refly berpendapat ada pemisahan antarkelompok masyarakat di masa pemerintahan Jokowi. Dia menyebut kelompok yang tidak sejalan dengan pemerintah akan dirundung oleh buzzer atau pendengung di media sosial.

 

Para buzzer, kata dia, akan menggunakan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI sebagai stempel politik. Kelompok yang tak sejalan akan dicap tidak Pancasilais.

 

"Itu sudah terjadi sejak zaman Bung Karno, sejak Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, terutama pada zaman Presiden Jokowi mulai lagi Pancasila dijadikan stempel, judgement. Misalnya, untuk menilai saya Pancasila bahwa yang lain bukan," kata Refly beberapa waktu lalu.

 

Di era Presiden Joko Widodo, Pancasila dianggap kerap dijadikan alat gebuk pihak yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Meski begitu, di era Presiden Jokowi, hari lahir Pancasila menjadi hari libur nasional(Rusman-Biro Setpres)


Di era Presiden Joko Widodo, Pancasila dianggap kerap dijadikan alat gebuk pihak yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Meski begitu, di era Presiden Jokowi, hari lahir Pancasila menjadi hari libur nasional(Rusman-Biro Setpres)


Pendapat serupa juga disampaikan pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi. Dia berpendapat ada kecenderungan Pancasila digunakan sebagai alat penghakiman tetapi bukan di pengadilan.

 

Asrinaldi melihat penghakiman itu dilakukan terhadap kelompok-kelompok yang keras mengkritik pemerintah. Lebih khusus, terhadap kelompok beraliran Islam.

 

"Saya pikir itu jadi justifikasi ya bahwa ini dianggap tidak Pancasilais. Dikait-kaitkan ke sana. Sebenarnya kalau kita lihat ada label Islam garis keras, radikalisme, barang kali tidak sesuai Pancasila, tapi kalau hanya kesadaran mereka menjalankan agama kan dijamin Pancasila," ucap Asrinaldi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (28/5).

 

Terpisah, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo membantah anggapan-anggapan itu. Dia menegaskan pemerintahan Jokowi tak pernah menggunakan Pancasila sebagai alat politik kekuasaan.

 

Benny menyampaikan penggunaan Pancasila sebagai alat pemukul lawan politik terjadi pada Orde Baru. Ia mengenang perjuangannya menolak penggusuran Kedung Ombo saat Orde Baru hendak membangun waduk dengan pendanaan Bank Dunia.

 

"Kalau Orde Baru kita ngomong saja enggak bisa apa-apa, dikejar-kejar. Ketika Kedung Ombo kan alasannya itu. Orang yang menolak pembangunan Kedung Ombo kan disebut antipancasila, di-PKI-kan," ucap Benny saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (28/5).

 

Dia menyebut keadaan berubah pascareformasi. Menurutnya, saat ini Pancasila telah kembali menjadi ideologi dan dasar negara, bukan alat politik kekuasaan.

 

Lebih lanjut, Benny menilai pemerintahan Jokowi juga tak mengotak-atik Pancasila sebagai dasar negara. Dia menyebut pemerintah tidak pernah menyingkirkan orang-orang yang mengkritik.

 

"Kekhawatiran itu berlebihan lah. Kenyataannya negara ini demokratis kok. Justru yang ditangkap itu ketika menyebarkan kebencian, SARA, menyebarkan yang meresahkan publik, itu yang diproses," ucapnya. (ljc)



 

SANCAnews – Indonesia Corruption Watch (ICW) angkat bicara soal label 'merah' yang diberikan pimpinan KPK terhadap 51 pegawai KPK yang tidak bisa dibina lagi menjadi ASN.

 

Menurut ICW, hal itu sengaja dibuat agar pegawai KPK tunduk kepada Ketua KPK Firli Bahuri.

 

"ICW berpandangan sembilan indikator tanda 'merah' kepada 51 pegawai KPK semakin menguatkan dugaan publik bahwa Tes Wawasan Kebangsaan ini memang didesain untuk menundukkan seluruh pegawai kepada Pimpinan KPK, terutama Firli Bahuri. Cara-cara seperti ini sangat bertolak belakang dengan nilai dan budaya yang dibangun di KPK," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Selasa (1/6/2021).

 

Kurnia mengatakan ada 9 poin indikator saat pencalonan Firli sebagai Ketua KPK. Dia menegaskan bahwa Firli memiliki rekam jejak yang buruk saat ingin mencalonkan sebagai Ketua KPK.

 

"Betapa tidak, diantara 9 poin indikator tertera perihal penolakan atas pencalonan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Sebelumnya penting untuk ditegaskan bahwa Firli Bahuri memiliki rekam jejak buruk saat mencalonkan diri sebagai Pimpinan KPK, jadi, menjadi hal wajar jika sejumlah pegawai, atau bahkan masyarakat luas berbondong-bondong melancarkan kritik terhadap yang bersangkutan," ujar Kurnia.

 

Lalu, dia mempertanyakan soal dasar ukur TWK itu apakah hanya memang penilaian atas Firli sendiri. Jika dugaan itu benar, ICW menilai TWK KPK hanya sengaja dibuat untuk upaya menyingkirkan.

 

"Pertanyaan lanjutannya, apakah cara mengukur wawasan kebangsaan didasarkan atas penilaian terhadap Firli Bahuri semata? Jika benar, maka TWK ini hanya dijadikan langkah bersih-bersih," katanya.

 

ICW juga menilai penyelenggara TWK KPK masih menggunakan kultur lama. Pasalnya, sikap mereka dalam menolak revisi UU KPK hanya disikapi secara kelembagaan, bukan sikap individu pegawai.

 

"Selanjutnya ada pula poin terkait penolakan atas revisi UU KPK. Dari sini terlihat bahwa panitia penyelenggara TWK ini ahistoris, sebab, sikap penolakan atas revisi UU KPK bukan merupakan sikap individu pegawai, melainkan kelembagaan KPK kala itu," ujarnya.

 

"Bahkan, KPK di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo cs telah melayangkan surat untuk menolak pembahasan revisi UU KPK," sambungnya.

 

Selanjutnya, ICW mengatakan saat draft UU KPK beredar, KPK jelas-jelas menerangkan bahwa akan ada 26 poin kelemahan saat UU KPK itu diundangkan. Jika TWK menjadi dasar dalam mengukur seseorang dalam wawasan kebangsaan, sebagian masyarakat Indonesia bahkan ratusan akademisi, menurut ICW tidak akan memenuhi syarat sebagai warga yang memiliki wawasan kebangsaan.

 

"Tidak hanya itu, saat draft UU KPK beredar, lembaga antirasuah itu secara terang benderang mengumumkan 26 poin kelemahan yang akan dialami oleh KPK pasca regulasi itu diundangkan.

 

Jika benar ini menjadi tolak ukur menilai wawasan kebangsaan, maka sebagian besar masyarakat Indonesia, ratusan akademisi, puluhan guru besar, dan ribuan mahasiswa juga tidak memenuhi syarat sebagai warga negara yang memiliki wawasan kebangsaaan," ujarnya.

 

Dengan itu, ICW menilai penyelenggaraan TWK ini sangat buruk. Tidak heran jika TWK ini hanya merugikan negara.

 

"Maka dari itu, dengan kualitas penyelenggaraan yang sangat buruk seperti ini, maka tidak salah jika dikatakan penyelenggaraan TWK telah merugikan negara miliaran rupiah," katanya.

 

Sikap Pimpinan KPK

 

Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan tak pernah memecat ke-75 pegawai KPK yang tak lolos TWK itu. Dia mengatakan pimpinan KPK bakal berkoordinasi lebih lanjut setelah ada arahan dari Jokowi tersebut.

 

"Saya pastikan KPK sebagaimana arahan Presiden, kita pegang teguh dan kita tindak lanjuti dengan cara koordinasi, komunikasi dengan MenPAN dan Kepala BKN termasuk juga dengan kementerian lain karena sesungguhnya, kalau ada perintah Presiden, tentulah kita tindak lanjuti tetapi menindaklanjutinya tidak bisa dengan satu jari, tidak bisa hanya KPK, karena terkait dengan kementerian/lembaga lain," ucap Firli.

 

Dia mengatakan KPK harus berkoordinasi dengan lembaga lain terkait tindak lanjut arahan Jokowi itu, antara lain BKN, KemenPAN-RB, hingga Kemenkumham.

 

"Ada MenPAN, ada Kumham yang mengatur regulasi, ada Komisi Aparatur Sipil Negara, ada Lembaga Administrasi Negara, ada MenPAN-RB dan ada BKN, inilah yang kita kerja-samakan, dan kami mohon maaf tidak ingin mendahului keputusannya tetapi yang pasti hari Selasa kita akan lakukan pembahasan secara intensif untuk penyelesaian 75 pegawai KPK. Rekan-rekan kami, adik-adik saya, bagaimana proses selanjutnya, tentu melibatkan kementerian dan lembaga lain. Karena itu, kami tidak berani memberikan respons sejak awal karena kami harus bekerja dengan bersama-sama kementerian dan lembaga," tuturnya.

 

51 Pegawai Dinyatakan Tak Bisa Dibina Lagi

 

Pimpinan KPK kemudian berkoordinasi dengan BKN, KemenPAN-RB serta Kemenkumham untuk menentukan nasib ke-75 pegawai KPK yang tak lolos itu. Di antara ke-75 nama itu, ada nama-nama seperti penyidik senior KPK Novel Baswedan hingga pejabat struktural KPK, seperti Giri Suprapdiono dan Sujanarko.

 

Seusai pertemuan, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan ada 51 nama yang tak bisa 'diselamatkan'. Sementara, 24 pegawai KPK dinilai masih bisa dibina.

 

"Ada cukup diskusi antara yang hadir dengan pihak asesor. Dari hasil pemetaan dari asesor dan kita sepakati bersama, dari 75 itu, dihasilkan bahwa ada 24 pegawai dari 75 tadi yang masih dimungkinkan untuk dilakukan pembinaan, jadi sebelum diangkat jadi ASN. Sedangkan yang 51 orang dari asesor sudah warnanya bilang sudah merah dan ya tidak memungkinkan dilakukan pembinaan," ucap Alexander dalam konferensi pers di BKN, Selasa (25/5). (dtk)



 

SANCAnews – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI), Chudry Sitompul ikut menanggapi terkait 700 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menolak menghadiri pelantikan sebagai ASN.

 

Chudry menilai, aksi solidaritas pegawai KPK yang lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) itu tidak serta merta membuat kerja KPK terhenti.

 

Kendati demikian, ia tak menampik aksi solidaritas ini akan berpengaruh terhadap performa KPK, "Saya kira tidak akan membuat KPK menjadi berhenti."

 

"(Tetapi) Kalau hanya solidaritas, solidaritas ini mengurangi performa KPK itu sendiri," kata Chudry, dalam tayangan Youtube Kompas TV, Selasa (1/6/2021).

 

Untuk itu, Chudry menilai, aksi solidaritas ini bukan cara terbaik dalam menyikapi polemik seleksi kepegawaian di KPK.

 

Ia menganggap bentuk aksi solidaritas ini justru mirip dengan aksi pemboikotan. Terlebih, menurut Chudry, para pegawai di KPK adalah orang-orang yang taat hukum.

 

"Teman-teman dari KPK kan orang-orang yang taat hukum, mengerti putusan pengadilan."

 

"Jadi saya kira kalau mau melakukan solidaritas, bentuknya bukan seperti ini, karena ini seperti pemboikotan."

 

"Padahal solidaritas bisa dilakukan dengan cara yang lain seperti tempuh jalur hukum," ungkap Chudry.

 

Lebih lanjut, Chudry pun menilai, jika aksi solidaritas sampai menghambat kerja KPK, maka pemerintah bisa mengambil alih sementara.

 

"Ketika KPK pertama dibentuk, penyidik-penyidiknya itu dari kepolisian dan kejaksaan."

 

"Kalau nanti sampai terjadi seperti ini (performa KPK menurun akibat aksi solidaritas), saya kira nanti presiden dan pemerintah akan mengeluarkan Perpu untuk mengambil alih sementara penyidik dari kepolisian dan lembaga lain," lanjutnya.

 

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menanggapi ratusan pegawai KPK yang menolak menghadiri pelantikan sebagai ASN dengan tangan terbuka.

 

Menurut Margarito, aksi solidaritas para pegawai tersebut adalah hak mereka sebagai warga negara.

 

Untuk itu, ia menghormati sikap mereka, baik yang akan menghadiri pelantikan, maupun yang menolaknya.

 

"Saya hormati sikap mereka sepenuhnya, mau datang ikut pelatihan monggo, kalau mau ikut datang juga saya hormati mereka karena itu hak mereka."

 

"Pelantikan adalah titik awal Anda diresmikan jadi pegawai, jadi itu hak Anda," kata Margarito.

 

Ia pun mengingatkan Ketua KPK Firli Bahuri, untuk mengikuti proses hukum dengan taat terkait polemik seleksi kepegawaian di KPK ini, "Kepada Firli, dia hanya perlu taat hukum dan tidak perlu mencla-mencle," ungkapnya.

 

700 Pegawai KPK Kompak Minta Pelantikan ASN Diundur

 

Sebelumnya diberitakan Tribunnews, sebanyak 700 pegawai KPK yang dinyatakan lulus TWK kompak meminta pelantikan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) ditunda hingga polemik TWK menemui titik terang.

 

Diketahui, sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lulus TWK, 51 diantaranya bakal dipecat, sementara 24 lainnya akan dibina.

 

Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) berpandangan, permintaan tersebut merupakan bentuk solidaritas pegawai KPK terhadap para koleganya yang dinilai disingkirkan melalui TWK oleh pimpinan KPK.

 

"Kita tengah menyaksikan solidaritas tanpa dan melampaui batas dari Pegawai KPK yang lulus TWK terhadap para koleganya yang disingkirkan secara melawan hukum oleh Pimpinan KPK melalui instrumentasi TWK," kata BW dalam keterangannya, Senin (31/5/2021).

 

BW menyebut, aksi solidaritas dengan melayangkan surat terbuka kepada Ketua KPK Firli Bahuri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut belum pernah terjadi sepanjang sejarah KPK maupun lembaga antirasuah negara lain.

 

Melalui surat itu, pegawai KPK meminta agar hasil TWK dibatalkan, memerintahkan seluruh pegawai KPK beralih status menjadi ASN sesuai mandat UU 19/2019 dan PP 41/2020 dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), serta meminta penundaan pelantikan.

 

"Fakta ini sekaligus menegaskan spirit yang berkembang berupa solidaritas yang berpucuk dari akal sehat dan berpijak dari nurani menjadi 'barang langka' yang harus dihormati danndijunjung tinggi oleh siapapun," katanya.

 

BW menilai, aksi solidaritas itu merupakan sinyal bahwa tidak ada lagi kepercayaan yang dimiliki pegawai KPK terhadap pimpinannya.

 

"Siapapun pemimpin yang baik karena menjunjung tinggi kehormatannya harusnya tahu diri dan ikhlas meletakkan jabatan serta mengundurkan diri jika sudah kehilangan legitimasinya."

 

"Ketua KPK dan pimpinan lainnya telah gagal jadi konduktor yang mengorkestrasi pemberantasan korupsi serta diduga keras menjadi bagian dari masalah tipikor," katanya.

 

Di sisi lain, BW turut mengecam dugaan adanya tekanan serta ancaman yang dilakukan oknum pimpinan terhadap sekira 700 pegawai KPK tersebut.

 

Tindakan tersebut, menurut dia, telah melanggar kebebasan berekspresi yang diatur oleh konstitusi. Ia menegaskan, pelaku tindakan dimaksud sudah tidak pantas lagi menjadi pimpinan KPK.

 

"Seluruh hal di atas sudah cukup menjadi dasar agar Presiden segera melakukan tindakan tegas untuk menolak hasil TWK dan mengalihkan serta melantik seluruh pegawai KPK sesuai mandat UU, PP dan Putusan MK," katanya.

 

"Hal ini penting dilakukan agar supaya dapat diwujudkan keadilan karena delayed juctice sama dengan injustice. Sekaligus, mempertimbangkan untuk meminta Pimpinan KPK mengundurkan diri," imbuh BW. []



 

SANCAnews – Areal Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta, dipenuhi ratusan personel gabungan dari kepolisian dan TNI pada Selasa pagi (1/6).

 

Mereka tampak menggelar apel gabungan persis di depan Hotel Royal Kuningan, sebelah gedung Merah Putih KPK. Apel dipimpin langsung Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Azis Andriansyah.

 

Keberadaan ratusan personel TNI-Polri itu tampaknya terkait dengan acara pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) pada siang nanti (1/6).

 

Pantauan Kantor Berita Politik RMOL di lokasi, terlihat puluhan aparat TNI berbaju loreng dan berbaret cokelat mengikuti apel tersebut bersama ratusan personel kepolisian.

 

Sementara itu, di sekitaran Gedung Merah Putih KPK terparkir sejumlah Baracuda, mobil Water Canon, dan mobil korps Brimob lainnya. (rmol)



 

SANCAnews – Warganet mempertanyakan kondisi kesehatan eks Sekretaris FPI, Munarman, pasalnya sejak ditangkap April lalu ia tidak pernah muncul lagi dalam pemberitaan media.

 

"Sudah lama tidak terdengar? Bagaimana kabarnya?" cuit warganet @IdaMeiselva sambil membagikan poster bergambar Munarman dengan tulisan 'Munarman bukan teroris' melalui twitter pada Selasa, 1 Juni 2021.

 

Meski Polri telah mengonfirmasi kondisi Munarman dalam keadaan sehat, tetapi warganet meragukan kebenarannya.

 

"Munarman dalam kondisi sehat," ucap Kepala Biro Penerangan Mabes Polri, Brigadir Jenderal Rusdi Hartono pada Senin, 31 Mei 2021, seperti dikutip dari tempo.

 

Seorang warganet Usri Lesmana meminta Polri untuk memunculkan Munarman ke hadapan masyarakat.

 

"Dear @DivHumas_Polri jika memang benar saudara Munarman baik-baik saja dan sehat-sehat saja sesuai dengan yang telah disampaikan Mabes Polri, maka munculkan dan tunjukan sosok Munarman kepada masyarakat," cuit akun @GandA_1719 pada Selasa, 1 Juni 2021.

 

"Agar kepercayaan masyarakat itu tercapai. Dan demi hukum yang trasparan," tambahnya.

 

Selain itu, warganet juga menuntut pembuktian atas pernyataan Polri tentang kondisi Munarman.

 

"Buktikan kalau beliau (Munarman) sehat, buktikan ke publik kalau beliau baik-baik saja. Jangan kalian sembunyikan," tulis akun @Lanange93192236.

 

Tak hanya itu, warganet juga beramai-ramai mentwit tagar 'HadirkanMunarman'. Seperti dilihat pada Selasa, 1 Juni 2021, tagar tersebut sudah dibagikan 2.293 twit.

 

Sebelumnya, melansir tempo, Munarman diisukan mengalami penyiksaan dan lumpuh permanen.

 

Kabar itu pertama kali dilontarkan oleh sebuah akun twitter dengan avatar penyanyi Korea Selatan.

 

"Bang Munarman terlupakan oleh kita. Banyak kabar beredar jika beliau sekarang tidak bisa berjalan dan bisa jadi lumpuh permanen, juga susah untuk berbicara dengan jelas akibat terus-terusan mengalami penyiksaan sejak ditangkap 27 April lalu," cuit akun tersebut, seperti dilansir dari tempo pada Selasa, 1 Juni 2021.

 

"Bahkan Munarman cuma diberi makan seminggu dua kali oleh polisi sehingga beliau sudah sangat teraniaya. Dan isu beredar jika itu desainernya Jokowi sendiri. Rezim Laknatullah!" tambahnya.

 

Diketahui sebelumnya, Munarman ditangkap pada 27 April lalu atas dugaan terorisme. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.