Latest Post


 

SANCAnews – Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan hukuman kepada eks Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab, terkait kasus kerumunan di Megamendung, Jawa Barat. Adapun hukumannya adalah denda Rp 20 juta subsider lima bulan kurungan penjara.

 

Wakil Ketua Komisi III DPR RI asal Fraksi Partai NasDem, Ahmad Sahroni, menyebut majelis hakim patut diapresiasi dan menjadi contoh agar masyarakat tidak mengadakan kegiatan yang menyebabkan kerumunan di era pandemi.

 

“Untuk putusan Rizieq Syihab, kami di Komisi III mengapresiasi para penegak hukum karena sudah menetapkan hukuman pada beliau. Semoga putusan ini bisa menjadi pelajaran buat masyarakat agar menghindari kegiatan apa pun yang menyebabkan munculnya kerumunan,” ujar Sahroni dalam keterangannya, Jumat (28/5).

 

Meski begitu, Sahroni menegaskan agar polisi maupun pihak terkait tetap tegas dan tidak tebang pilih dalam menegakkan aturan terkait kerumunan di masyarakat.

 

“Vonis ini juga sekaligus menjadi pengingat untuk para penegak hukum tetap tegakkan aturan, jangan pilih kasih dalam memastikan bahwa protokol kesehatan tetap dipatuhi," tutur politikus asal Jakarta Utara itu.


"Harus tegas juga terhadap pelanggar lain, apalagi setelah angka positif kini kembali meningkat,” 
- Sahroni.

 

Habib Rizieq Syihab menjalani sidang putusan terkait kasus kerumunan di Petamburan dan Megamendung di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (27/5) kemarin.

 

Di kasus Petamburan, Habib Rizieq Syihab bersama Ahmad Sobri Lubis, Haris Ubaidillah, Ali bin Alwi Alatas, Maman Suryadi, dan Idrus dijatuhi hukuman 8 bulan penjara.

 

Mereka dinilai oleh hakim terbukti bersalah terkait kasus kerumunan Petamburan, Jakarta. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yakni 2 tahun penjara. Dari 5 dakwaan, Habib Rizieq dkk hanya terbukti bersalah atas satu dakwaan yakni dakwaan ketiga.

 

Dalam kasus Megamendung, Habib Rizieq dinilai oleh hakim bersalah dan melanggar kekarantinaan kesehatan. Namun, hakim hanya menjatuhkan Rp 20 juta subsider pidana kurungan selama lima bulan. Padahal dalam kasus ini, Habib Rizieq didakwa dengan hukuman penjara selama 10 bulan. (glc)



 

SANCAnews – PDI Perjuangan tidak akan asal-asalan dalam menentukan partai politik koalisi menuju Pemilu 2024.

 

Bahkan, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu telah menandai satu partai yang tak akan masuk dalam radar koalisi, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

 

"PDIP berbeda dengan PKS karena basis ideologinya berbeda, sehingga sangat sulit untuk melakukan koalisi dengan PKS. Itu saya tegaskan sejak awal," kata Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto dalam webinar Para Syndicate bertema 'Membaca Dinamika Partai dan Soliditas Koalisi Menuju 2024', Jumat (28/5).

 

Selain PKS, lanjut Hasto, PDIP juga tak membuka kemungkinan untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat. Menurutnya, ideologi kedua partai berbeda dalam melihat suara pemilih.

 

"Dengan Demokrat berbeda, basisnya berbeda. (Partai Demokrat) partai elektoral, kami adalah partai ideologi tapi juga bertumpu pada kekuatan massa," ujarnya.

 

"Sehingga kami tegaskan, DNA-nya kami berbeda dengan Partai Demokrat. Ini tegas-tegas saja, supaya tidak ada jurunikah yang ingin mepertemukan," pungkasnya. []



 

SANCAnews – Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengaku prihatin atas polemik 75 pegawai KPK yang gagal tes wawasan kebangsaan (TWK). Oleh sebab itu, PGI akan menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi).

 

"Kita sangat prihatin dengan upaya-upaya pelemahan KPK yang terjadi selama ini, terutama yang memuncak dengan pelabelan intoleran dan radikalisme atas 75 pegawai KPK melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan belakangan ini," kata Ketua Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom, dalam keterangan tertulis, Jumat (28/5/2021).

 

PGI menyampaikan hal itu saat menerima 9 perwakilan dari pegawai KPK bersama tim hukumnya. Gomar menyebut PGI akan meminta Jokowi menyelamatkan KPK lewat surat tersebut.

 

"Dengan disingkirkannya mereka yang selama ini memiliki kinerja baik serta memiliki integritas kuat dengan alasan tidak lulus TWK, dikhawatirkan akan membuat para penyidik berpikir ulang untuk melaksanakan tugasnya dengan profesional seturut dengan kode etik KPK di masa depan karena khawatir mereka di-TWK-kan dengan label radikal," lanjut Gomar.

 

Gomar menyebut para pegawai KPK yang tak lolos TWK adalah yang sedang menangani kasus-kasus korupsi yang sangat signifikan.

 

Salah satu perwakilan pegawai KPK yang hadir dalam pertemuan dengan PGI, Novel Baswedan, menuturkan selama ini dia dan rekan-rekannya bekerja profesional. Namun, lanjut Novel, dia tiba-tiba dilabeli radikal.

 

"Bagaimana kita mau berbangsa bila yang selama ini bekerja profesional tiba-tiba dilabeli radikal dan menjadi musuh negara?" ucap Novel.

 

Novel juga berpendapat TWK bukan alat untuk penentu lulus-tidaknya seseorang menjadi ASN dalam konteks alih status pegawai ini. Novel menyebut dirinya sudah ditarget.

 

"Prosesnya adalah upaya yang sudah ditarget. Ada fakta dan bukti untuk ini. TWK hanyalah justifikasi untuk target tertentu," lanjutnya.

 

Hotman Tambunan mengeluhkan ketika taat beragama diidentikkan dengan talibanisme.

 

Salah satu pegawai KPK yang merupakan jemaat gereja, Hotman Tambunan, mengatakan pegawai KPK harus taat beragama lantaran banyak godaan dalam pekerjaannya. Namun ketaatannya itu membuat dia dicap radikal.

 

"Kami harus taat beragama, karena agamalah yang mengajar kami untuk berbuat seturut etika. Di KPK itu godaannya banyak sekali, dan ancaman selalu datang. Nilai-nilai agamalah yang membuat kami tetap bertahan," ucap Hotman.

 

Pegawai KPK yang tak lolos TWK lainnya, Adri Deddy Nainggolan, membantah adanya penyidik yang menganut paham radikal di KPK. "Tidak ada itu. Dan celakanya warga gereja pun mudah termakan oleh isu ini," timpal Adri.

 

Selanjutnya anggota tim hukum 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK, Saor Siagian, menyebut pimpinan KPK yang lalu, Saut Situmorang, juga pernah membantah isu radikalisme di KPK.

 

"Tiga dari Komisioner KPK periode baru lalu Kristen, dan Sekjen KPK juga Kristen. Saut Situmorang berkali-kali berkata, tidak ada talibanisme di KPK," ucap Saor.

 

Pegawai KPK lainnya, Rasamala Aritonang, menganalogikan KPK sebagai pisau yang memotong korupsi. Kegagalan dia dan 74 penyidik lainnya dalam tes TWK, kata Rasamala, adalah reaksi dari koruptor yang ingin membuang 'pisau' itu.

 

"Kami sebagai KPK ini tantangannya berat. Kami berhadapan dengan koruptor. Dan yang bisa korupsi hanyalah mereka yang punya akses kepada kekuasaan. KPK ini hanyalah alat, pisau untuk memotong bagian badan yang koruptif. Dan reaksi dari para koruptor ini adalah membuang pisau ini. Itu yang sedang kami alami," ungkap Rasamala.

 

Menanggapi keluhan para pegawai KPK itu, Sekretaris Umum PGI Pendeta Jacky Manuputty menyampaikan kekhawatiran akan fenomena pabrikasi hoax di media sosial. Menurutnya, fenomena pabrikasi hoax mudah mengubah persepsi seseorang dan hal tersebut, menurut Jacky, terjadi dalam upaya pelemahan KPK.

 

Kembali ke Pendeta Gomar, dia juga mengaku heran karena menilai arahan Jokowi untuk tidak menggunakan TWK sebagai dasar penonaktifan pegawai KPK diabaikan, "Siapa sebenarnya yang menjadi presiden?" pungkas Gomar. []



 

SANCAnews – Eks Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menanggapi putusan majelis hakim terhadap terdakwa kasus kerumunan Petamburan, Habib Rizieq Shihab.

 

Habib Rizieq divonis 8 bulan penjara akibat terbukti melanggar Pasal 93 UU 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Putusan hakim tersebut disahkan pada sidang pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis 27 Mei 2021.

 

Menanggapi keputusan hakim tersebut, Din Syamsuddin menilai bahwa seharusnya Habib Rizieq dibebaskan saja.

 

Din mengatakan dari sudut pandang keadilan, Habib Rizieq harusnya tidak dijatuhkan hukuman apapun.

 

“Dari sudut rasa keadilan seharusnya HRS dibebaskan dari hukuman,” kata Din, dikutip dari Hops, Jumat 28 Mei 2021.

 

Lebih lanjut, Din Syamsuddin kemudian menyoroti beberapa kasus kerumunan yang terbentuk yang melibatkan para pejabat serta penguasa di negeri ini.

 

Din Syamsuddin mempertanyakan kenapa kemudian hanya kasus Habib Rizieq-lah yang diproses secara hukum.

 

Sedangkan, menurut Din, banyak sekali kasus pelanggaran protokol kesehatan yang lain namun tak ditindak oleh aparat.

 

“Mengapa fakta-fakta kerumunan yang begitu banyak, termasuk yang melibatkan penguasa, tidak dibawa ke jalur hukum?” tanya Din.

 

Oleh karena itu, Din Syamsuddin beranggapan bahwa keputusan hakim dapat mencederai keadilan. Menurut Din Syamsuddin, keputusan tersebut akan melukai hati masyarakat Indonesia.

 

“Rasa keadilan rakyat terusik. Sangat nyata dan kasat mata ketakadilan itu,” tuturnya.

 

Sebagai informasi, selain divonis 8 bulan penjara bersama terdakwa lainnya. Habib Rizieq dijatuhi denda 20 juta untuk kasus di Megamendung. []



 

SANCAnews – Dalam sejumlah kesempatan, Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun kerap menyinggung nama Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Bahkan, dia pernah mengatakan, putri presiden pertama Indonesia itu merupakan pribadi tak berilmu yang jauh dari masyarakat bawah.

 

Disitat dari video lawas berjudul ‘Cak Nun: Megawati Tak Pernah Sekolah’ di saluran Youtube Ach Sin, pada mulanya Cak Nun bicara mengenai fenomena kenegaraan di Indonesia. Dia melihat, banyak pejabat atau elit partai yang lebih mementingkan kelompoknya, ketimbang masyarakat umum.

 

Padahal, dalam konsep bernegara, mereka yang memiliki jabatan mestinya lebih banyak bicara mengenai bangsa dan kemaslahatan orang banyak.

 

“Bendera (partai) jangan terlalu banyak-banyak, sampai bendera Indonesia dihilangkan. Sekarang saya tanya, kalau kalian orang PKB, tanya sama PKB, lebih penting mana PKB atau Republik Indonesia? Kalau yang lebih penting PKB, salah atau benar? Salah kan?” ujar Cak Nun, dikutip Jumat 28 Mei 2021.

 

“Sekarang parpol mana yang lebih mementingkan Indonesia dibanding parpol-nya?” sambungnya.

 

Lebih jauh, Cak Nun menambahkan, fenomena serupa juga terjadi di tubuh PDIP. Kendati menjabat sebagai presiden, namun Jokowi hanya diposisikan sebagai petugas partai atau anak buah Megawati. Sehingga, secara tak langsung, mantan Gubernur DKI itu tak memiliki kekuasaan penuh.

 

Kenyataan tersebut seakan membuktikan, kepentingan partai masih berada di atas segalanya. Namun, menariknya, sosok yang dikenal berani mengkritik pemerintah tersebut tak mau menyalahkan keadaan. Lantas, mengapa demikian?

 

“Sampai hari ini, Megawati mengatakan Jokowi tetap petugas partai. Jadi (menurutnya) Indonesia itu bagian dari PDIP, bukan PDIP bagian dari Indonesia. Salah atau benar? Salah. Tapi jangan salahkan Mega, karena dia enggak ngerti,” tegasnya.

 

Cak Nun sebut Megawati tak pernah sekolah

 

Lebih jauh, Cak Nun sebenarnya tak heran seandainya Megawati lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya ketimbang masyarakat luas. Mengingat, kata dia, petinggi PDIP tersebut hampir tak pernah bersentuhan langsung dengan mereka. Sejak kanak-kanak, hidupnya sudah enak dan serba berkecukupan.

 

Selain faktor sosial, Cak Nun melihat, Megawati kurang terampil dalam pemahaman akademis. Bahkan, menurutnya, bekal keilmuwan wanita 74 tahun tersebut terkesan minim, bahkan cenderung kurang.

 

“Dia enggak punya ilmu buat memahami itu, dia enggak sekolah, dia enggak pernah menjadi manusia biasa seperti Anda. Bergaul di kampung-kampung enggak pernah. Sejak kecil beliau itu anak presiden di istana.”

 

“Anda jangan menuntut Mega untuk mengerti itu, orang dia enggak ngerti kok. Jangan dipaksa-paksa. Sementara Jokowi juga enggak ngerti. Makanya kalau milih presiden hati-hati,” kata Cak Nun. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.