Latest Post


 


SANCAnews – Politikus Partai Demokrat Benny K. Harman mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo terkait eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku lembaga penegak hukum. Menurutnya, KPK mati kutu di masa pemerintahan Jokowi.

 

Mulanya, Benny berpikir Jokowi akan menjadi presiden yang melindungi dan memperkuat KPK. Namun, prediksinya keliru dan dia mengakui itu usai 51 pegawai KPK bakal diberhentikan karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan (KPK).

 

"Semula saya pikir Presiden Jokowi benar2 akan melindungi dan memperkuat KPK. Apalagi dgn diangkatnya Prof Mahfud MD jadi Menkopolhukam di periode kedua Presiden Jokowi. Ternyata perkiraan saya meleset. Di tangan mereka berdua KPK mati kutu," cuit Benny sebagaimana dikutip Kamis (27/5).

 

Polemik pemberhentian pegawai KPK bermula dari tes wawasan kebangsaan untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN). Diketahui, buntut dari revisi UU KPK, para pegawai termasuk penyidik harus menjadi ASN.

 

Dalam perjalanannya, ada 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes tersebut. Termasuk Novel Baswedan dan penyidik lain yang mengungkap kasus-kasus besar. Mereka lalu dinonaktifkan sementara dari tugasnya.

 

Beredar isu bahwa Ketua KPK Firli Bahuri bakal memecat 75 pegawai tersebut. Publik mulai menyorot tajam. Kritik lantas berdatangan, terutama mengenai pertanyaan dalam tes yang dinilai tidak berkorelasi dengan misi pemberantasan korupsi.

 

Presiden Joko Widodo lalu angkat suara. Dia menyatakan tes untuk menjadi ASN tidak boleh dijadikan dasar pemecatan pegawai KPK.

 

Ia sejalan dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan peralihan status menjadi ASN tak boleh sedikit pun merugikan hak pegawai. Setelah itu, sejumlah pimpinan lembaga terkait menghelat rapat.

 

Mereka adalah Menkumham Yasonna Laoly, Menpan-RB Tjahjo Kumolo, para pimpinan KPK dan beberapa petinggi lembaga negara lainnya. Rapat dihelat di kantor Badan Kepegawaian Negara (BKN), Jakarta pada 25 Mei.

 

Rapat menyimpulkan sebanyak 51 dari 75 pegawai lembaga antirasuah tak lolos tes wawasan kebangsaan tidak bisa lagi bekerja di KPK.

 

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan 51 pegawai tidak bisa melanjutkan dan tidak bisa menjadi ASN karena sudah masuk dalam kategori merah.

 

Ada 24 pegawai lainnya yang masih mungkin dilakukan pembinaan agar memenuhi syarat alih status menjadi ASN. Mereka akan mengikuti pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan. []





SANCAnews – Politisi Partai Demokrat, Rachland Nashidik mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo membelah dan menyingkirkan orang-orang yang menghalangi politik istana.

 

Rachland mengatakan hal itu sebagai respons terhadap polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

Menurut Rachland, Jokowi selama ini disebut membela kebhinekaan. Namun, isu Taliban di KPK dan juga TWK itu tidak berhubungan dengan kebhinekaan.

 

“Sudah lama dikritik: Jokowi ‘membela kebhinekaan’ dengan cara membelah dan menyingkirkan,” kata Rachland melalui akun Twitter-nya pada Kamis, 27 Mei 2021.

 

“Tapi dari kasus KPK kini kita tahu, tudingan ‘Taliban’ itu, ‘test kebangsaan’ itu, tak berhubungan dengan kebhinekaan. Ia membelah dan menyingkirkan sesiapa yang menghalangi politik istana,” tambahnya.

 

Seperti diketahui, KPK sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini terkait polemik TWK yang tak dilulusi 75 pegawai.

 

TWK itu ramai dibicarakan karena beberapa pertanyaan yang bocor ke publik dinilai tidak ada kaitannya drngan wawasan kebangsaan.

 

Contohnya, salah satu pegawai yang tak lulus, Tata Khoiriyah yang ditanya “kalau pacaran ngalain aja?”

 

Setelah masalah TWK itu semakin memanas, Presiden Jokowi telah pernah angkat suara pada Senin, 18 Mei 2021 lalu.

 

“Saya berpendapat, hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK, hendaknya tidak serta-merta jadi dasar untuk memberhentikan 75 pegawai yang dinyatakan tidak lulus tes,” kata Jokowi, dikutip dari akun Twitter resminya.

 

Kalau ada kekurangan, lanjut Jokowi, tentu bisa diperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.

 

Akan tetapi, pada Selasa, 25 Mei 2021, KPK mengumumkan bahwa 51 dari 75 pegawai yang tak lulus itu resmi diberhentikan.

 

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan bahwa para pegawai itu dipecat karena dinilai tidak bisa mengikuti pelatihan dan pembinaan lanjutan.

 

“Yang 51 tentu karena sudah tidak bisa dilakukan pembinaan berdasarkan penilaian asesor tentu tidak bisa bergabung lagi dengan KPK,” kata Alexander, dilansir dari Kompas TV. (terkini)



 


Oleh: M. Rizal Fadilillah

BUKAN Mahfud MD kalau tidak membuat gaduh. Seolah Menko Polhukam adalah Menteri yang mengkoordinir penciptaan keramaian politik, kegundahan hukum, dan kerentanan keamanan. Lempar batu sembunyi tangan.

 

Ungkapan mutakhir adalah korupsi kini yang merajalela dan perguruan tinggi harus bertanggung jawab. Alasannya adalah koruptor itu sebagian besar produk perguruan tinggi. Naif sekali.

 

Mahfud lupa korupsi merajalela pasca reformasi dan rakyat menilai di era Pemerintahan Jokowi justru yang paling parah, bukan beban tanggungjawab perguruan tinggi.

 

Realitanya bahwa lingkungan yang dimasuki para alumni adalah ruang beriklim kehidupan ketatanegaraan yang korup. Birokrasi, legislatif, yudikatif, pemerintahan daerah dan instansi lainnya.

 

Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, karenanya bertanggung jawab atas atmosfir yang ada di berbagai bidang kehidupan pengelolaan negara.

 

Ikan itu busuk dari kepalanya. Jika Kepala Negara dan kepala Pemerintahan mengalami proses pembusukan maka dampaknya menjadi multi-dimensional. Menjadi ikutan bawahan dan instansi lain. Penilaiannya adalah cara memimpin atau mengelola negara yang gagal atau tidak becus.

 

Presiden siapapun yang tidak tegas dalam memerangi korupsi akan dilingkari oleh orang-orang yang berani untuk korupsi.

 

Sebaliknya jika Presiden tegas, tidak pandang bulu, serta membuktikan dalam kebijakan politik yang diambilnya selalu memerangi dan memberi contoh sebagai pemberantas korupsi, maka birokrasi, legislatif atau  badan apapun akan segan bahkan takut untuk melakukan korupsi.

 

Jadi korupsi merajalela meski banyak faktor yang turut menjadi sebab dan banyak pihak harus  bertanggungjawab, maka faktor utama dan menentukan adalah Presiden yang berwibawa, jujur dan berkualitas. Bukan Presiden yang masa bodoh, gemar pencitraan, plintat-plintut, atau pelabrak hukum dan etika politik. Bahkan bisa-bisa diindikasikan korup juga.

 

Presiden Jokowi dengan revisi UU KPK yang melumpuhkan lembaga KPK justru tidak menunjukkan teladan bagi pemberantasan korupsi. Ia semestinya mampu menggerakkan segenap aparat penegak hukum untuk bekerja maksimal memberantas korupsi.

 

Sebaliknya korupsi seperti dibiarkan merajalela sebagai konsekuensi dari rezim investasi. Investasi dan utang luar negeri yang berimplikasi pada budaya upeti dan komisi. Korupsi dianggap biasa bahkan terencana.

 

Dampingan korupsi yaitu kolusi dan nepotisme ternyata turut merajalela pasca reformasi, khususnya sekarang ini.

 

Mahfud MD semestinya bukan menyalahkan perguruan tinggi tetapi menyalahkan diri sendiri sebagai bagian dari Pemerintahan Jokowi.

 

Menko Polhukam adalah "tangan kanan" penanggungjawab pemberantasan korupsi. Saat ini dan di negeri ini.

 

Jadi jika dipertanyakan merajalelanya korupsi menjadi tanggung jawab perguruan tinggi atau Menko Polhukam, maka jawabannya tanggungjawab Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

 

Nah, jika pertanyaannya menjadi tanggung jawab perguruan tinggi atau Presiden? Pastilah jawabannya tanggungjawab Presiden!

 

Presiden yang disadari atau tidak telah menciptakan iklim korupsi di segala bidang. Tidak serius dalam melakukan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

 

(Pemerhati politik dan kebangsaan)



 


SANCAnews – Menjelang pembacaan vonis hakim terhadap terdakwa kasus kerumunan Petamburan, Jakarta Pusat dan Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Habib Rizieq Shihab (HRS) menyampaikan pesannya kepada ummat Islam Indonesia.

 

Ia meminta doa dan dukungan dari pencinta keadilan, ummat Islam dan masyarakat Indonesia pada umumnya agar mendapatkan keadilan dari majelis hakim yang akan memutus perkaranya.

 

"Kita minta doanya kepada para pencinta keadilan, kepada ummat Islam, dan masyarakat Indonesia secara umumnya, yang memang kami yakin mencintai keadilan, kami yakin mendambakan keadilan, penegakan hukum yang tidak diskriminatif, kami mohon dukungannya dan doanya," kata kuasa hukum HRS, Azis Yanuar saat ditanya pesan HRS sebelum vonis sebagaimana dikutip dari YouTube MimbarTube, Kamis, (27/5/2021).

 

Doa dan dukungan itu, kata dia, ditujukan agar majelis hakim yang akan membacakan vonis tergerak hatinya untuk memutus perkara tersebut secara adil dan bijaksana. Sebab, kata dia, kasus pelanggaran Prokes yang dituduhkan kepada HRS merupakan satu-satunya kasus di dunia pada persoalan Protokol Kesehatan di era Pandemi Covid-19.

 

"Supaya majelis hakim digerakan hatinya oleh Allah untuk memutuskan dengan seadil-adilnya, sebijaksana-bijaksananya dan juga memperhatikan fakta. Baik fakta persidangan juga di dunia serta di Indonesia bahwa dalam penegakan Prokes ini, inilah yang luar biasa," ujarnya.

 

Dia mengingatkan majelis hakim agar memutus perkara HRS Cs dengan adil dan berdasarkan fakta persidangan. Sebab, kata dia, bila hakim tidak adil, maka sejarah akan mencatat mereka sebagai hakim yang tidak adil memutus perkara.

 

"Kami berharap dan berdoa semoga majelis hakim yang memutus perkara ini tidak dicatat dalam tinta sejarah dengan memutus kasus Prokes sedemikian rupa yang tidak kita harapkan," ujarnya. []



 


SANCAnews – Ribuan personel kepolisian dikerahkan untuk mengamankan jalannya sidang vonis Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam perkara dugaan kerumunan Petamburan dan Megamendung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (27/5).

 

Kapolres Metro Jakarta Timur, Kombes Pol Erwin Kurniawan mengatakan, pihaknya mengerahkan 2.300 personel yang terdiri dari Satuan Lalulintas, Brimob, Satpol PP, Dishub, dan unsur TNI.

 

"Kita bagi tiga ring, ring pertama itu ada di dalam pengadilan, ruang sidang dan halaman pengadilan, ring dua seputaran dalam pengadila,n dan ring tiga yang melakukan mobile di jalan-jalan protokol menuju pengadilan Jaktim," ujar Kombes Erwin kepada wartawan di PN Jaktim, Kamis (27/5).

 

Pengerahan ribuan personel ini dilakukan guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan menjelang sidang vonis HRS dkk.

 

"Kekuatannya tentu kita lakukan secara berkesinambungan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Kita khawatir di tengah pandemi ada penyebaran Covid-19 yang kita jadikan pertimbangan dalam pengamanan pada pagi sampai sore nanti," pungkasnya. (rmol)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.