Setelah 23 Tahun, Jokowi Mematikan Reformasi
Reformasi yang dikumandangkan 23 tahun yang lalu kini sudah dikubur pemerintah Jokowi. Lembaga-lembaga yang lahir dari rahim reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial sudah diamputasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang sudah hampir mati. Ya, sejak pemerintahan Joko Widodo periode pertama, semua dikikis perlahan, tapi pasti. Hampir tujuh tahun berkuasa, Jokowi dan kroninya menumbuh-suburkan KKN, membunuh demokrasi, mempermainkan hukum. “Hukum tajam ke oposisi dan pengeritik, tetapi tumpul ke pendukung Jokowi.”
SANCAnews – KAMIS, 21 Mei 1998 sekitar pukul 09.00, Soeharto
menyatakan pengunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia. Pengumuman
tersebut disambut meriah oleh mahasiswa yang telah menduduki DPR / MPR
berhari-hari (DPR / MPR, Senayan, Jakarta Pusat).
Kemeriahan itu diekspresikan dengan berbagai cara. Beberapa
orang menceburkan diri ke air mancur di halaman gedung. Yang lainnya mencukur
rambutnya sampai botak dan beberapa melambaikan spanduk serta bertepuk tangan
dan bersorak ria.
Itulah kejadian 23 tahun yang lalu. Ketika masyarakat dan
mahasiswa turun ke jalan, menuntut Soeharto lengser dari jabatan yang sudah
dipegangnya selama 32 tahun.
Masyarakat menuntut Soeharto berhenti sebagai presiden karena
kepemimpinannya dinilai syarat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). KKN
adalah isu sentral waktu itu. Selain itu juga ada tuntutan menghapus Dwifungsi
ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), serta pembubaran Golongan Karya
(Golkar).
Dwifungsi ABRI berhasil dihapus tidak lama setelah Soeharto
lengser. ABRI berganti nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pun dipisah dari TNI.
Sedangkan tuntutan agar Golkar dibubarkan tidak berhasil.
Partai penyokong utama Orde Baru (Orba) itu tetap kokoh, dengan tambahan nama
menjadi Partai Golkar. Perubahan nama dan kokohnya Golkar berkat kegigihan
perjuangan Akbar Tanjung. Walaupun banyak pentolan partai berlambang pohon
beringin itu mendirikan partai, namun Partai Golkar tetap kokoh, dan selalu
menjadi urutan tiga besar pemenang dalam Pemilihan Umum (Pemilu).
Turunnya Soeharto adalah rangkaian penolakan sejak ia dipilih
kembali menjadi presiden dalam Pemilu 1997. Kemudian, ia menaikkan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM), yang menjadi pemicu gelombang demonstrasi yang dilakukan
masyarakat di beberapa kota, seperti Medan, Makassar, Bandung dan Yogyakarta.
Tidak ketinggalan demonstrasi di Jakarta, dengan titik
konsentrasi di sekitar kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat.
Puncaknya, ketika terjadi penembakan terhadap mahasiswa yang berdemo di depan
kampus tersebut pada tanggal 12 Mei 1998.
Penembakan dengan peluru tajam yang dilakukan aparat keamanan
menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti, dan puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 –
1998), Hafidin Royan (1976 – 1998), dan Hendriawan Sie (1975 – 1998). Mereka
tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital
seperti kepala, tenggorokan, dan dada.
Peristiwa penembakan itu tidak membuat aksi demo surut
Bahkan, tidak lama setelah itu, aksi kerusuhan yang diikuti dengan penjarahan
dan pembakaran rumah toko (ruko) milik orang-orang China. Sejumlah pusat perbelanjaan
modern, baik mal maupun minimarket juga tidak luput dari aksi yang sama.
Puncaknya, gabungan mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta
dan sekitarnya, termasuk dari Bandung menduduki gedung DPR/MPR. Walau sempat
dihalau aparat keamanan, tetapi mereka bergeming dan menginap di “rumah rakyat”
itu.
Mahasiswa yang didukung masyarakat dan juga sejumlah
purnawirawan jenderal TNI menginap di gedung tersebut. Harapannya, Soeharto
turun tanggal 20 Mei 1998, berkaitan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Namun,
Soeharto membaca hal itu, dan dia ulur waktu walau hanya semalam.
Perubahan! Itulah yang diharapkan masyarakat setelah Soeharto
lengser. Perubahan dari rezim otoriter menjadi demokratis. Dari represif
menjadi humanis. Dari pemerintahan yang kotor dengan KKN menjadi bersih. Masih
banyak lagi harapan lain.
Kini, setelah 23 tahun reformasi, hampir semua yang
diharapkan masyarakat itu hanya menjadi mimpi belaka. KKN yang diharapkan
hilang, malah semakin gemilang. Cita-cita demokrasi, sudah kandas. Sejumlah
aktivis yang kritis terhadap pemerintah pun ditangkapi. Demo masyarakat
dibubarkan dengan gas air mata, dan bahkan kekerasan yang berujung pada
tewasnya beberapa orang dan ratusan luka (peristiwa demi Mei 1999 di Bawaslu,
Jakarta).
Reformasi Dikubur
Reformasi yang dikumandangkan 23 tahun yang lalu kini sudah
dikubur pemerintah. Lembaga-lembaga yang lahir dari rahim reformasi, seperti
Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial sudah diamputasi. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sekarang sudah hampir mati. Ya, sejak pemerintahan Joko Widodo
periode pertama, semua dikikis perlahan, tapi pasti. Hampir tujuh tahun
berkuasa, Jokowi dan kroninya menumbuh-suburkan KKN, membunuh demokrasi,
mempermainkan hukum. “Hukum tajam ke oposisi dan pengeritik, tetapi tumpul ke
pendukung Jokowi.”
Bukti KKN semakin marak sudah terlihat di depan mata. Jika di
era Soeharto korupsi berada di lingkaran Bina Graha (Kantor Presiden Soeharto)
dan Cendana (kediaman pribadinya), sekarang korupsi sudah menyebar secara
merata. Jika dilihat, yang paling banyak melakukan korupsi berasal dari partai
pendukung utama pemerintah Jokowi, yaitu PDI Perjuangan. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika ada upaya terstruktur, sistematis dan masif untuk membubarkan
KPK.
Kolusi juga semakin merajalela. Lihat saja, kasus korupsi
yang melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edy Prabowo dan Menteri Sosial,
Juliari Batubara, yang ditandai kolusi dengan pengusaha. Kolusi antara pejabat
pemerintah dan pengusaha, kini hampir terjadi di semua tingkatan. Itu baru yang
kelihatan nyata.
Biasanya, pejabat yang berkolusi beralasan menjalin
kerjasama. Tidak heran, karena kolusi, korupsi semakin tumbuh subur. Markobar,
yang merupakan usaha martabak milik putra Jokowi, Gibran Rakabuming diplesetkan
menjadi Mari Korupsi Barang (Sama-sama).
Nepotisme, jelas di depan.mata, terutama dilakukan Jokowi
terhadap anaknya, Gibran yang menjadi Wali Kota Solo, dan menantunya Boby
Nasution yang menjadi Wali Kota Medan. Seandainya Jokowi bukan presiden – cuma
Gubernur DKI Jakarta – belum tentu anak dan menantunya itu menjadi wali kota.
Nepotisme dilakukan seluruh partai, termasuk partai yang lahir di era
reformasi.
Nah, ini baru enam tahun jadi presiden, ia sudah bisa
menempatkan anak dan menantunya di singgasana kekuasaan. Berbeda dengan
Soeharto yang berkuasa 32 tahun, tetapi tidak pernah menempatkan putra dan
putrinya maupun menantunya menjadi gubernur, bupati dan wali kota. Padahal, di
masa Soeharto semua gubernur, bupati dan wali kota yang dipilih melalui DPRD,
harus mendapat persetujuan dari Jenderal Besar TNI itu.
Hanya di penghujung jabatannyalah, putri sulungnya Siti
Herdiyanti Indrarukmana atau Tutut diangkat menjadi Menteri Sosial. Jabatan itu
pun hanya diemban sekitar tiga bulan, karena sang ayah berhenti sebagai
presiden.
Betul, di masa Orba, menterinya sering diisi dengan kroni Soeharto. Akan tetapi, hal yang sama juga terjadi di era Jokowi. Sebut saja Puan Maharani yang diangkat menjadi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, pada periode pertama Jokowi-Jusuf Kalla. []
Penulis, Pemimpin Redaksi FNN.co.id.