SANCAnews – Habib Rizieq Syihab membacakan nota pembelaan
atau pleidoi dalam kasus kerumunan Petamburan dan Megamendung di PN Jakarta
Timur pada Kamis (20/5).
Ia tak terima dituntut 10 bulan penjara di kasus kerumunan
Megamendung dan 2 tahun bui di perkara kerumunan Petamburan. Sebab menurutnya,
jaksa penuntut umum (JPU) telah memanipulasi fakta dalam surat tuntutan demi
menghukumnya.
"Sungguh sangat kami sesalkan para JPU yang konon
katanya berpendidikan tinggi dan konon katanya menjunjung tinggi kesopanan,
ternyata berani dengan sengaja dan secara sadar melakukan perbuatan yang sangat
hina yaitu manipulasi fakta dengan cara menghilangkan fakta kebenaran dan
membuat fakta bohong serta cara kontroversial lainnya, hanya untuk memenuhi
syahwat politik kriminalisasi," ujar Habib Rizieq di ruang sidang PN
Jaktim.
Habib Rizieq menyebut jaksa telah menghilangkan fakta
kebenaran dalam sidang kasus kerumunan Petamburan. Ia menilai jaksa telah
menghiraukan keterangan saksi dan ahli yang tidak sesuai keinginan.
Ia mencontohkan keterangan ahli epidemiologi dan ahli
kesehatan serta ahli hukum kesehatan baik yang dihadirkan JPU yaitu Prof DR
Hariadi Wibowo (Ahli Epidemiologi) dan DR Panji Fortuna (Ahli Epidemiologi),
serta DR Tonang (Ahli Kesehatan) yang diajukan kuasa hukum Habib Rizieq.
Menurut Habib Rizieq, seluruh ahli tersebut menyatakan tidak
ada kepastian mengenai kerumunan menularkan COVID-19, yang ada hanya potensi
atau kemungkinan.
Kemudian keterangan saksi Satgas COVID-19 maupun pemerintah
yang dihadirkan jaksa yaitu Endra Muryanto (Kepala Laboratorium DKI Jakarta), M
Budi Hidayat (Plt Dirjen P2P Kemenkes RI), dan Widyastuti (Kadinkes DKI
Jakarta).
Para saksi itu, kata Habib Rizieq, tidak ada satu pun yang
menyatakan kenaikan COVID-19 di Jakarta atau Kecamatan Tanah Abang karena
kerumunan Maulid Nabi di Petamburan pada 14 November 2020. Ia menyebut para
saksi mengaku tidak tahu data detail tentang COVID-19 di tingkat Kelurahan
Petamburan dan mengaku bahwa pascakerumunan Maulid di Petamburan tidak ada
klaster bernama klaster Maulid atau klaster HRS atau klaster Petamburan.
"Ditambah lagi dengan keterangan saksi fakta Kapolres
Jakarta Pusat Heru Novianto bahwa pasca acara Maulid di Petamburan dilakukan
tracing dan rapid test terhadap warga Petamburan dan hasilnya semua negatif.
Adapun keterangan saksi fakta Lurah Petamburan Setiyanto yang mengaku terpapar
COVID-19 pasca acara Maulid di Petamburan, justru yang bersangkutan mengaku
dalam sidang ini juga bahwa ia tidak hadir di lokasi acara Maulid dan berada
jauh dari kerumunan sekitar 150 meter, serta tinggalnya juga di Bojong Gede
Bogor bukan di Petamburan dan dia pun mengaku tidak tahu terpaparnya dari
mana," kata Habib Rizieq.
"Namun JPU tetap saja 'keras kepala' dan 'ngotot' dalam
tuntutannya di halaman 342 menyatakan: 'Bahwa benar akibat berkumpulnya ribuan
orang pada acara kegiatan tersebut menimbulkan lonjakan penyebaran COVID-19 di
Petamburan'. Dari mana JPU bisa memastikan bahwa penyebaran COVID-19 di
Kelurahan Petamburan akibat acara Maulid tanpa melalui penyelidikan
epidemilogis yang benar? Ini satu lagi bukti bahwa JPU telah dengan sengaja
menghilangkan fakta kebenaran dalam sidang, sehingga dengan sengaja mengabaikan
alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang tak terbantahkan,"
lanjutnya.
Habib Rizieq menambahkan, jaksa sekaligus membuat fakta
bohong dalam surat tuntutannya. Ia mencontohkan surat tuntutan jaksa yang
menyebutnya telah melakukan tindak pidana menghasut sebagaimana putusan
Mahkamah Agung (MA) nomor 1120 K/Pid/2010 dan nomor 426 K/Pid/2011.
Habib Rizieq menegaskan tidak pernah terjerat 2 perkara
tersebut. Adapun berdasarkan penelusuran kumparan, terdakwa perkara nomor 1120
K/Pid/2010 atas nama Bensasar Pasaribu. Sedangkan terdakwa nomor 426 K/Pid/2011
atas nama Karlan Suherlan alias Elon bin Sarkim.
"Cerita di atas adalah tidak benar dan pencantuman nama
Moh Rizieq bin Sayyid Husein Shihab alias Habib Muhammad Rizieq Syihab dalam
isi putusan Mahkamah Agung RI di atas adalah suatu kebohongan besar bahkan
fitnah keji. Karena saya tidak pernah melakukan tindak pidana sebagaimana
tersebut dalam 2 putusan MA tersebut. Ini juga bisa jadi bukti bahwa JPU telah
mengarang cerita sehingga menjadi fakta bohong persidangan," ucapnya.
Ia pun meminta jaksa memperbaiki dengan mencoret dan memberi
paraf dalam surat tuntutannya. Namun menurutnya jaksa tidak memberikan
pemberitahuan lisan/tulisan atas kesalahan tersebut kepada hakim maupun
penasihat hukumnya.
"Maka terdakwa menganggap ini adalah penyebaran berita
bohong yang bisa menimbulkan keonaran, karena terdakwa mau pun pengikut
terdakwa tidak akan terima dan berpotensi marah besar, sekaligus ini merupakan
penyebaran hoaks lewat ITE dan juga fitnah yang mencemarkan nama baik terdakwa,
parahnya itu dilakukan dalam forum sidang terhormat di depan majelis hakim Yang
Mulia," ucapnya. (glc)