Latest Post

 


SANCAnews – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan sebanyak 75 pegawai tidak memenuhi syarat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) setelah assesmen tes wawasan kebangsaan.

 

Ketua KPK, Firli Bahuri pun menjawab pertanyaan wartawan terkait nama-nama yang sebelumnya sudah beredar yang tidak lulus tes tersebut, termasuk salah satunya adalah penyidik senior, Novel Baswedan.

 

Firli mengatakan, 75 nama yang tidak memenuhi syarat nantinya akan disampaikan melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) setelah surat keputusan dari KemenPAN RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

 

"Kenapa? Kami tidak ingin menebar isu, kita ingin pastikan bahwa kita menjunjung hormati, menegakhormati hak asasi manusia," ujar Firli menjawab pertanyaan wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (5/5).

 

Karena kata Firli, jika diumumkan saat ini, akan berdampak kepada anak, keluarga, cucu, besan, mertua, dan kampung halaman para pegawai KPK tersebut.

 

"Kami bukan memiliki karakter cara kerja seperti begitu. Kalau tadi ada yang mengatakan nama-nama yang beredar, silakan anda tanya siapa yang menyebar nama-nama itu, yang pasti adalah bukan KPK," tegas Firli.

 

Hal itu ditegaskan Firli karena hasil tes wawasan kebangsaan yang diserahkan BKN sejak 27 April baru dibuka hari ini dengan disaksikan seluruh struktural KPK.

 

Sebelum diumumkan, hasil tes pun masih dalam keadaan disegel, dan disimpan di dalam lemari serta dikunci beberapa kunci pengamanan.

 

"Jadi kami pastikan, tidak ada penyebaran nama-nama. Nanti setelah itu anda bisa mengikuti, karena nanti ada ketetapan 1.274 pegawai yang memenuhi syarat dan ada ketetapan 75 orang pegawai yang tidak memenuhi syarat, dan ada 2 orang pegawai yang tidak mengikut pelaksanaan wawancara," jelas Firli. (glc)



 


SANCAnews – Eks Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah angkat bicara soal kabar tak lolosnya sejumlah pegawai di di lembaga antirasuah itu dalam tes wawasan kebangsaan untuk pengangkatan Aparatur Sipil Negara (ASN).


Febri yang kini aktif sebagai pegiat antikorupsi itu menyebut sejumlah pegawai KPK yang pernah menjadi koleganya itu mestinya tak lagi dipertanyakan terkait wawasan kebangsaan yang mereka miliki.

 

Alih-alih itu, para koruptorlah kata dia yang nyata-nyata tak memiliki wawasan kebangsaan karena mengeksploitasi negara dengan tindakannya.

 

"Yang tidak berwawasan kebangsaan itu ya koruptor, bukan pemburu koruptor," kata Febri dalam cuitan di akun twitter resmi miliknya, Rabu (5/5).

 

Febri--yang juga pernah berjibaku bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelum menjadi pegawai KPK-- menyatakan para koruptor justru telah banyak merugikan rakyat dengan mengeksploitasi dan mencuri hak-hak rakyat. Justru kata dia, para pegawai ini lah yang telah berjuang untuk melakukan perlawanan terhadap koruptor.

 

"Negeri ini dieksploitasi. Dihisap. Hak rakyat dicuri. Wawasan kebangsaan seperti apa yang dimiliki koruptor?" kata dia yang resmi mundur dari KPK pada September 2020 silam.

 

Sebaliknya, para pegawai yang telah berjuang melawan koruptor sejak lama justru disingkirkan melakui tes dengan dalih wawasan kebangsaan.

 

"Mereka yang teguh melawan korupsi justru disingkirkan dengan alasan tidak lulus tes wawasan kebangsaan? Logika," tegasnya.

 

Dalam kesempatan itu, Febri juga menyinggung terkait upaya-upaya yang dicurigai berupaya menyingkirkan pegawai KPK yang bersih dan kini sedang berjuang membongkar skandal korupsi adalah upaya pembusukan pemberantasan korupsi. Tentu kata dia hal ini juga merupakan buah dari disahkannya UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.

 

Tak hanya itu, dia juga menyinggung sejumlah kasus besar yang saat ini tengah ditangani oleh para penyidik yang terancam dipecat karena tak lolos asesmen tes wawasan kebangsaan. Kasus ini adalah dugaan suap bantuan sosial (bansos) Covid-19, suap izin ekspor benur atau benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga kasus dugaan korupsi di Tanjungbalai.

 

Bukan hanya itu, dia menyebut penyidik yang terancam dipecat ini juga pernah berhasil menangkap Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus megakorupsi e-KTP. Hanya saja, bukan mendapat apresiasi, mereka justru diserang dengan stempel Taliban dan radikal.

 

"Lebih konyol lagi, mereka distempel Taliban dan Radikal. Narasi yang juga digunakan untuk menyerang lawan-lawan politik dan melegitimasi proses Revisi UU KPK. Oleh orang-orang dan robot yang sama," katanya.

Kabar pemecatan puluhan pegawai ini telah memicu reaksi dari pegiat antikorupsi, termasuk dari sejumlah mantan komisioner yang menggawangi KPK sebelumnya.

 

Tak sedikit pihak yang menilai kabar pemecatan pegawai KPK kali ini merupakan bukti dari upaya pelemahan KPK yang telah direncanakan jauh hari, imbas dari revisi UU KPK.

 

Sementara itu, Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri menepis tudingan dirinya bersikeras memecat pegawai KPK yang tidak lolos wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status Aparatur Sipil Negara (ASN).

 

Firli menegaskan pimpinan lembaga antirasuah selalu berpegang teguh pada prinsip kolektif kolegial dalam mengeluarkan keputusan.

 

"Pimpinan KPK adalah kolektif kolegial, sifat kepemimpinan KPK adalah kolektif kolegial. Maknanya, semua keputusan diambil secara bulat dan tanggung jawab bersama oleh semua pimpinan KPK," ujar Firli kepada CNNIndonesia.com melalui keterangan tertulis, Selasa (4/5). []


Infografis Jejak Pelemahan KPK Era Jokowi


 


SANCAnews – Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan 75 pegawai KPK tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagian dari seleksi ujian Aparatur Sipil Negara (ASN).

 

KPK diketahui tengah memproses alih status para pegawai menjadi ASN yang rencananya dilantik pertengahan tahun ini. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memaparkan hasil TWK alih status ini terdiri atas dua kategori yakni memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat.

 

"Hasil sebagai berikut, (a) pegawai yang memenuhi syarat sebanyak 1.274 orang, (b) yang tidak memenuhi syarat ada 75 orang," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/5).

 

Dia mengatakan hasil TKW mendapati 1.274 pegawai dinyatakan memenuhi syarat dan 75 pegawai tidak memenuhi syarat, sementara dua pegawai tidak mengikuti tes wawasan kebangsaan. Sejumlah aspek yang diukur dalam tes ini menurut Ghufron di antaranya integritas, netralitas, dan antiradikalisme.

 

Selanjutnya Sekretaris Jenderal KPK akan membuat surat penetapan untuk semua pegawai yang mengikuti TWK, baik yang memenuhi syarat maupun yang tidak. Adapun tindak lanjut untuk pegawai yang tidak memenuhi syarat akan dikoordinasikan lebih lanjut dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN RB).

 

Kemudian, selama belum ada penjelasan lebih lanjut dari BKN dan Kemenpan RB maka KPK tidak akan memberhentikan pegawai yang tidak lolos.

 

"KPK tidak pernah menyatakan melakukan pemecatan terhadap 75 pegawai yang TMS (tidak memenuhi syarat)," tutur Sekretaris Jenderal KPK, Cahya Harefa.

 

Sebelum pengumuman dan pembacaan hasil tes, Ketua KPK Firli Bahuri sempat memaparkan soal proses alih status hingga menyentil ihwal bocornya informasi mengenai hasil tes seleksi ASN.

 

Dalam kesempatan itu dia juga meminta maaf atas penundaan pengumuman hasil tes wawasan kebangsaan. Firli beralasan harus menghormati proses hukum yakni gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).

 

"Saya dan kami semua insan KPK, saya ulangi, saya dan kami semua insan KPK sangat menyayangkan ada pihak-pihak yang mengambil suatu tindakan dan menjadikan diri sebagai korban dan membocorkan informasi tanpa menunggu informasi resmi KPK yang sama-sama kita cintai," tutur dia saat mengawali pengumuman.

 

Sebelumnya lebih dari 1.351 pegawai lembaga antirasuah menjalani tes wawasan kebangsaan mulai 18 Maret hingga 9 April 2021. Ujian ini merupakan bagian dari asesmen alih status pegawai KPK menjadi ASN sebagai konsekuensi disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

 

Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN. Aturan tersebut diteken Jokowi pada 24 Juli 2020 dan berlaku pada saat tanggal diundangkan yakni 27 Juli 2020.

 

"Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah ASN sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai ASN," demikian bunyi Pasal 1 Ayat 7 PP tersebut sebagaimana diakses pada situs JDIH Sekretariat Negara.

 

Dilansir cnnindonesia.com. dalam PP 41/2020 ini, ruang lingkup pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN meliputi pegawai tetap dan pegawai tidak tetap.

 

Terdapat sejumlah syarat dan tahapan terkait pengalihan status pegawai ini. Mulai dari penyesuaian jabatan hingga pemetaan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman pegawai KPK dengan jabatan ASN yang akan diduduki. []


 


SANCAnews – Habib Rizieq Shihab (HRS) mempertanyakan definisi kata 'onar' yang disebutkan ahli bahasa Andika Dutha Bachari sebagai 'resah' dalam sidang perkara kasus hasil swab RS Ummi.

 

Rizieq mencecar ahli soal sumber rujukan yang digunakannya dalam mendefinisikan kata 'onar'.

 

Awalnya, Andika menyampaikan adanya berita bohong dapat menimbulkan keresahan. Dia menyebutkan keresahan inilah yang disebutnya sebagai keonaran.

 

"Maksud onar dalam UU itu silakan dibaca keterangannya, itu bukan gejala material, tapi psikis. Bukan gejala material dalam pengertian keributan terjadi, ada bacok-bacokan, tapi sebetulnya itu gejala psikologis. Makanya didefinisikan onar itu resah," kata Andika dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jalan Dr Sumarno, Cakung, Rabu (5/5/2021).

 

Andika menilai keresahan sebagai bagian dari keonaran. Menurutnya, keonaran juga bisa timbul dari segi psikologis.

 

"Tidak dalam bentuk material, tapi psikologi, kecemasan. Tidak dilakukan tapi itu bohong. Pada gejala kecemasan yang ditimbulkan atau resah, apakah itu bagian dari onar?" tanya jaksa.

 

"Ya jelaslah. Onar itu kan kata kuncinya secara literal, secara harfiah, itu resah. Resah onar itu, Yang Mulia, galau...," jelas Andika.

 

Hakim ketua Khadwanto sempat menyela pernyataan Andika. Dia menanyakan soal apakah resah itu secara individual atau komunal.

 

"Sebentar, itu resah secara individual atau komunal?" sela hakim.

 

"Ini gejala individualnya, Yang Mulia. Kalau komunal itu kacau," jelas Andika.

 

Dalam kesempatannya, Habib Rizieq mencecar ahli terkait definisi onar sebagai resah. Menurutnya, arti itu tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

 

"Bicara tentang keonaran, keonaran dalam KBBI ini diartikan, satu, huru-hara dan gempar, kedua, diartikan keributan dan kegaduhan. Pertanyaan saya, tadi Anda mengartikan onar itu resah, galau, gaduh ya, ini yang saya tanya yang di KBBI, buku apa yang menjadi rujukan Anda? Karangan siapa? Halaman berapa yang mengatakan onar itu artinya resah? Sebab, di KBBI nggak disebut resah," ucap Rizieq.

 

"Saya minta rujukannya. Anda seorang ahli, seorang ahli dia harus rujukan, teori siapa yang dipakai, Anda tidak boleh buat teori sendiri sebagai ahli di ruang sidang," tambahnya.

 

Andika mengaku mendapatkan definisi itu dari buku berbahasa asing. Namun Rizieq kembali menanyakan sumber bahasa Indonesia yang mengatakan arti onar sebagai resah.

 

"Saya tidak hanya membaca buku bahasa Indonesia saja. Makanya tadi saya katakan ada terminologi sosiologis dan saya mengatakan onar ini sebenarnya terminologi sosiologis," jelas Andika.

 

"Anda kan bukan ahli sosiologi, Anda kan ahli bahasa. Saya tanya onar diartikan resah itu rujukannya ke mana. Kalau tadi Anda mengatakan onar dikatakan kegaduhan, rujukannya ada di KBBI disebut, tapi onar diartikan resah ini di KBBI tidak ada. Saya mau tahu, dari mana Anda bawa itu kata resah?" cecar Rizieq.

 

"Saya tidak menemukan dalam (buku) bahasa Indonesia," jelas Andika.

 

Diketahui dalam kasus ini, Habib Rizieq didakwa menyebarkan berita bohong terkait hasil tes swab dalam kasus RS Ummi. Jaksa menilai perbuatan Habib Rizieq menimbulkan keonaran di masyarakat.

 

Atas perbuatannya, Rizieq dijerat pasal berlapis. Berikut ini pasal yang menjerat Rizieq dalam kasus tes swab RS Ummi:

Pertama primer: Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Subsider: Pasal 14 ayat (2) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Lebih subsider: Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau

Kedua: Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau

Ketiga: Pasal 216 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (dtk)





SANCAnews – Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mengatakan pengambilan tes PCR (polymerase chain reaction) COVID-19 hanya boleh dilakukan petugas dari fasilitas kesehatan yang ditunjuk pemerintah. Dalam kasus Habib Rizieq, menurutnya, MER-C tidak berwenang melakukan tes swab.

 

Awalnya, hakim ketua Khadwanto menanyakan institusi mana yang berwenang mengambil sampel untuk tes swab PCR. Tri mengatakan hanya fasilitas kesehatan yang ditunjuk pemerintahlah yang berwenang melakukan tes itu.

 

"Jelaskan institusi mana saja yang berwenang melakukan pemeriksaan itu?" tanya hakim dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jalan Dr Sumarno, Cakung, Rabu (5/5/2021).

 

"Kalau mengambil swab-nya dari puskesmas dan rumah sakit," ujar Tri.

 

Tri menyebut pihak perseorangan juga tidak berwenang mengambil sampel tes swab PCR untuk keperluan pengecekan Corona. Hakim menanyakan kewenangan MER-C dalam pengambilan sampel untuk tes swab.

 

"Saudara tidak bisa menjelaskan apakah MER-C berwenang melakukan swab atau tidak?" tanya hakim.

 

"Kalau dia organisasi, tidak," jawab Tri.

 

"Jadi kalau mengatasnamakan MER-C boleh?" tanya hakim lagi.

 

"Tidak boleh," jawab Tri.

 

Selain itu, Tri menyebut Satgas Penanganan COVID-19 pun tidak punya wewenang mengambil tes swab PCR. Tri menyampaikan pemerintah tetap harus menunjuk dinas kesehatan untuk melakukannya.

 

"Jadi kalau Satgas COVID-19 akan memerintahkan Dinas Kesehatan. Jadi nanti dinas akan menunjuk petugas-petugas kesehatan yang bisa memeriksa atau mengambil swab," kata Tri.

 

Dalam kasus ini, Habib Rizieq Shihab (HRS) didakwa menyebarkan berita bohong terkait hasil tes swab dalam kasus RS Ummi. Jaksa menilai perbuatan Habib Rizieq menimbulkan keonaran di masyarakat.

 

Atas perbuatannya, Rizieq dijerat pasal berlapis. Berikut ini pasal yang menjerat Rizieq dalam kasus tes swab RS Ummi:

 

Pertama primer: Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Subsider: Pasal 14 ayat (2) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Lebih subsider: Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau

 

Kedua: Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau

 

Ketiga: Pasal 216 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (dtk)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.