Ngaku Sedih dan Minta Maaf, Polri: Kekerasan terhadap Jurnalis Cuma Oknum
SANCAnews –
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Kombes Ahmad Ramadhan mengaku sedih
atas catatan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang menempatkan polisi
menjadi pelaku terbanyak dalam kekerasan terhadap jurnalis. Dominasi polisi
dalam kasus kekerasan tersebut bahkan mencapai 70 persen.
Namun,
menurut Ahmad jumlah tersebut bukan berarti menandakan mayoritas polisi
melakukan kekerasan. Ia memiliki kalkulasi tersendiri, yang ujungnya menyebut
bahwa masih banyak polisi yang justru menjadi sahabat bagi jurnalis.
"Kemi
sedih bahwa nomor satu adalah polisi. Tapi begini, 70 persen kalau misal dari
100 (personel) itu 70, Polri itu jumlahnya 400 ribu lebih. Jadi kira-kira kalau
bermain matematika ada 1 polisi yang melakukan kekerasan dari 20.000
(personel). Artinya, 199.999 lainnya masih menjadi sahabat jurnalis," kata
Ahmad secara daring, Senin (3/5/2021).
Karena itu,
Ahmad meminta catatan dari AJI itu tidak lantas menggeneralisasi bahwa semua
polisi melakukan kekerasan. Ia menyebut bahwa pelaku kekerasan terhadap
jurnalis dilakukan oleh oknum, "Artinya mohon tidak digeneralisasi, ini
adalah oknum," ucap Ahmad.
Ahmad
mengatakan pihaknya juga sudah berupaya melakukan edukasi dan penjelasan
terhadap personel kepolisian di daerah bahwa media dan jurnalis adalah mitra
dari kepolisian.
Ia mengaku
Polri juga sudah menyampaikan kepada jajaran tentang tugas jurnalis yang
dilindungi oleh undang-undang pers.
"Jadi
sekali lagi, kami menyampaikan permohonan maaf dan tentu kami akan memperbaiki
perilaku anggota di lapangan," kata Ahmad.
Kekerasan Jurnalis Didominasi Polisi
AJI mencatat
ada 90 kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Ketua AJI Sasmito bahkan menyebut
jumlah tersebut menjadi yang paling banyak dalam 10 tahun terakhir.
Hal itu
disampaikan Sasmito dalam peluncuran catatan AJI atas situasi kebebasan pers di
Indonesia 2021, yang diselenggarakan secara daring.
"Bahkan
di 2020 dari Januari sampai Desember ada 84, tapi Mei 2020-2021 ada 90 kasus.
Artinya peningkatan dalam 10 tahun terakhir cukup banyak," kata Sasmito,
Senin.
Ironisnya,
kata Sasmito pelaku kekerasan terhadap jurnalis didominasi oleh kepolisian.
Fakta itu sangat disayangkan, mengingat seharusnya polisi menjadi pelindung
bagi masyarakat, tidak terkecuali jurnalis.
"Ada 58
kasus yang terduga pelakunya aparat polisi. Tentu ini ironi krn polisi
seharusnya jadi pelindung masyarakat, termasuk jurnalis, tapi justru menjadi
pelaku utama. Kami berharap kapolri baru melakukan reformasi di tubuh
kepolisian," kata Sasmito.
Sementara
itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Erick Tanjung dalam paparannya menyebutkan bahwa
polisi menjadi mayoritas pelaku kekerasan terhadap jurnalis dengan persentase
70 persen. Menyusul kemudian pihak lainnya, semisal advokat, jaksa, pejabat
pemerintahan/eksekutif, Satpol PP/aparat pemerintah daerah, dan pihak tidak
dikenal.
"Dari
periode 2020-2021, catatan kami ada 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Ini
meningkat jauh dari periode sebelumnya, yang sebanyak 57 kasus," jata
Erick.
Ia
mengatakan kekinian ada sejumlah kasus yang menjadi perhatian AJI dalam satu
tahun belakangan. Mulai dari kekerasan yang dialami jurnalis Tempo di Surabaya,
yakni Nurhadi hingga vonis terhadap jurnalis banjarhits.id di Kalimantan
Selatan, Diananta Sumedi.
Polisi Dominasi Kasus HAM
Ketua Komnas
HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, Polri menjadi instansi yang paling banyak
mendapat aduan soal pelanggaran HAM. Data itu berdasarkan laporan jumlah aduan
selama lima tahun terakhir.
Data itu
disampaikan Taufan dalam rapat bersama Komisi III DPR, Selasa (6/4/2021) hari
ini.
"Kalau
kita lihat statistiknya yang paling banyak diadukan Kepolisian Republik
Indonesia, yang kedua korporasi, yang ketiga pemerintah daerah. Kemudian tentu
saja ada lembaga peradilan, pemerintah pusat dalam hal ini beberapa
kementerian-kementerian terkait. Tapi tiga ini selalu menjadi yang tertinggi
dalam pengaduan," tutur Taufan.
Taufan
menjelaskan, ada dua jenis aduan pelanggaran HAM terhadap kepolisian,
"Kepolisian baik karena ada kasus yang memang menurut aduan itu dilakukan
oleh aparat kepolisian, maupun karena ada pihak lain yang diduga atau dituduh
oleh pihak pengadu sebagai pelanggaran hak asasi manusia ke pihak kepolisiannya
dianggap tidak proper menangani penegakkan hukumnya. Jadi ada dua tipologinya
itu," papar Taufan.
Kendati
begitu, kata Taufan, memang tidak seluruhnya aduan pelanggaran HAM terhadap
kepolisian itu benar. Setelah dicek dan verifikasi kembali, ditemukan aduan
yang tidak berbasis pada data yang kuat.
Namun Taufan
tetap menegaskan bahwa berdasarkan statistik laporan, Kepolisian Negara RI
menjadi yang paling banyak diadukan.
"Tetapi
tentu data-data statistik ini menunjukan memang harus ada perhatian yang khusus
bagi kepolisian kita. Sehingga kepolisian kita bisa benar-benar menjadi
kepercayaan masyarakat di dalam menegakan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan
menjaga demokrasi di negeri kita yang kita cintai ini," ujarnya lagi.
Sebelumnya,
Taufan menyebutkan dalam lima tahun terakhir ada sebanyak 28.305 aduan soal
pelanggaran HAM. Namun setelah diseleksi lebih jauh, ada sekitar 9.800 duan
yang tidak dilanjutkan karena terkendala permasalahan administratif.
"Karena
sebagain itu aduannya hanya bersifar tembusan. Jadi tempat pengaduan utamanya
justru bukan Komnas HAM, misalnya ORI atau yang lain-lain. Karena itu yang
9.800 ini juga karena alasan administrarif tidak kami lanjutkan," kata
Taufan.
"Ada
14.363 aduan yang diteruskan yang masuk ke dalam dukungan pemantauan
penyelidikan itu 4.536 kasus, kemudian ada 3.400-an kasus yang kami masukan ke
dalam dukungan mediasi," imbuh dia. []