Latest Post


 


SANCAnews – Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN) mendesak dilakukan investigasi terkait hilangnya nama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang diterbitkan Kemdikbud.

 

“Harus diinvestigasi. Fakta ini menjawab pernyataan KH SAS (Said Aqil Siroj) sebelumnya yang mengatakan tidak ada bahaya laten PKI. Dan sekarang sudah dengan fakta nama ulama besar pendiri NU hilang adalah sangat mungkin disengaja dihilangkan,” jelas Ketua Harian PPKN, Tjetjep Muhammad Yasin, kpada Kantor Berita RMOLJatim, Rabu (21/4).

 

Selain hilangnya nama-nama tokoh NU di Kamus Sejarah Indonesia Jilid I, pria yang karib disapa Gus Yasin ini mengatakan, justru yang muncul adalah nama-nama tokoh komunis Indonesia.

 

Beberapa nama tokoh komunis yang muncul antara lain Henk Sneevliet, Darsono, Semaoen, hingga DN Aidit. Karena itu Gus Yasin menduga penghilangan nama KH Hasyim Asyari pasti dilakukan dengan sengaja oleh orang-orang yang berhaluan kiri.

 

“PKI dengan ideologi komunisnya jelas merupakan bahaya laten, hanya kader PKI atau kemungkinan anak PKI atau simpatisan PKI atau pengusung ideologi komunis dan orang Syiah yang mengatakan PKI dan ideologi komunis bukan bahaya laten. Sebaliknya, bagi warga Nahdliyin, PKI dan ideologi komunis sampai kapanpun tetap merupakan bahaya laten,” tegasnya.

 

Gus Yasin juga geram dengan pernyataan Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid bahwa naskah Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang tidak memuat KH Hasyim Ansyari, bukan disusun di masa Nadiem Makarim.

 

Menurut Hilmar Farid, naskah kamus itu disusun pada 2017. Bahkan, di masa kepemimpinan Nadiem, kamus itu belum disempurnakan dan belum ada rencana penerbitan.

 

Seperti diketahui, Mendikbud pada 2017 adalah Muhadjir Effendy. Dan Muhadjir Effendy adalah tokoh Muhammadiyah yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK).

 

Dari kesalahan dalam Kamus Sejarah Indonesia dan bantahan Hilmar Farid ini, Gus Yasin mencurigai ada upaya jahat yang terstruktur dan masif untuk mengadu domba NU dengan Muhammadiyah, sekaligus upaya membangkitkan PKI yang patut diduga disengaja dilakukan.

 

“Yang mengatakan kamus sejarah dibuat sebelum Menteri Nadiem Makarim yang berarti dibuat di era Menteri Muhadjir Effendy adalah alibi yang patut diduga untuk adu domba NU dan Muhammadiyah. Ini sangat berbahaya,” tandasnya. []



 


SANCAnews – Presiden Jokowi hari ini meninjau panen padi di Desa Wanasari, Kabupaten Indramayu. Dalam kesempatan itu, Jokowi menekankan pemerintah terus membangun sistem pertanian untuk meningkatkan produksi.

 

"Intinya kita ingin terus membangun sebuah pertanian yang semakin baik produksinya dan kita harap jadi sebuah ketahanan pangan bagi Indonesia," kata Jokowi di Indramayu, Rabu (21/4).

 

Selain itu, Jokowi juga mengatakan pemerintah sebenarnya tidak suka memberlakukan kebijakan impor beras. Namun, pemerintah punya alasan menerapkan kebijakan ini.

 

Salah satunya demi memastikan keamanan stok beras di tengah bencana alam atau pandemi corona.

 

"Tentu saja kita juga ingin swasembada. Pemerintah sebetulnya tidak seneng, tidak suka yang namanya impor beras. Tapi karena hitung hitungan, banyak yang kena banjir, pandemi, kadang memang hitung hitungan kalkulasi, waduh ini kurang sehingga perlu tambahan untuk cadangan. Tapi kemarin sudah kita putuskan bahwa sampai Juni tidak ada impor," ujar Jokowi.

 

"Insyaallah nanti sampai akhir tahun, kalau kita tahan produksinya bagus, berarti juga tidak akan impor," lanjut Jokowi.

 

Sebelumnya, rencana impor beras 1 juta ton telah disepakati dalam rapat koordinasi terbatas (Rakortas) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Namun, pada akhir Maret lalu, Jokowi menegaskan tidak bakal ada impor beras hingga Juni.

 

"Saya pastikan bahwa sampai bulan Juni 2021 tidak ada beras impor yang masuk ke negara kita, Indonesia. Sudah hampir 3 tahun ini kita tidak mengimpor beras," kata Jokowi dalam pernyataan pers di akun Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (26/3). []

 




SANCAnews – Penghapusan mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib perguruan tinggi menjadi sorotan.

 

Pengahapusan mata kuliah tersebut menjadi polemik di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia

 

Tak hanya penghapusan mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib perguruan tinggi, Kemendikbud pun dinilai disusupi oleh pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).

 

Hal tersebut disampaikan Fadli Zon merujuk Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbud Republik Indonesia, Hilmar Farid.

 

Dalam status twitternya, @FadliZon; pada Rabu (21/4/2021), Anggota DPR Republik Indonesia itu menilai Hilmar Farid membela sejarah versi PKI.

 

Hilmar katanya menyebut Orde Baru dan TNI merupakan pihak bersalah. Sementara PKI menjadi korban atas legitimasi pemerintahan Orde Baru.

 

Hilmar pun disebutkan Fadli Zon mau membelokkan sejarah kelam atas kudeta dan pembantaian para Jenderal TNI pada tahun 1965 silam.

 

"Dlm soal PKI, Dirjen Kebudayaan ini jelas bela sejarah versi PKI, menyalahkan Orde Baru n TNI. Tak akui PKI lakukan kudeta, malah PKI sbg korban," tulis Fadli Zonpada Rabu (21/4/2021).

 

"Ia tdk sebut G30S/PKI tp G30S saja, Ia cb menepis penyiksaan thd para Jenderal di Lubang Buaya dg hasil visum. Ia mau belokkan sejarah," tegas Fadli Zon.

 

Hal tersebut disampaikan Fadli Zon menanggapi postingan Mustofa Nahrawardaya lewat akun twitter @TofaTofa_id, pada Rabu (21/4/2021).

 

Dalam postingan, Mustofa menyebutkan polemik yang terjadi di Kemendikbud Republik Indonesia tidak mengejutkan.

 

Dirinya beralasan polemik sudah terjadi di jajaran Kemendikbud sejak lama, merujuk pandangan Hilmar Farid yang menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Republik Indonesia.

 

Hilmar menyebut Orde Baru berdiri karena memanipulasi sejarah yang dimulai dengan G30S PKI pada 30 September 1965 silam.

 

Hilmar menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) hanya menjadi korban dan dijadikan Soeharto sebagai alat untuk melegitimasi pemerintahan Orde Baru menggantikan Kepemimpinan Soekarno.

 

"Polemik di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bagi saya, TIDAK MENGAGETKAN SAMA SEKALI," tulis Mustofa.

 

"Kalau enggak percaya, silahkan tonton Pandangan Bapak Hilmar Farid yang sekarang menjabat Dirjen Kebudayaan ini, tentang sejarah PKI. Simpan videonya!," jelasnya. []




Video:




 


SANCAnews – Dua jilid buku Kamus Sejarah Indonesia terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menuai kritik pedas dari sejumlah kalangan, baik dari akademisi maupun parlemen.

 

Pasalnya, tidak hanya soal hilangnya nama pahlawan nasional KH Hasyim Asyari saja, namun Kemendikbud justru memasukkan sejumlah tokoh komunis dalam buku tersebut.

 

Tak heran jika Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Hidayat Nur Wahid (HNW), turut mengkritik keras isi Kamus Sejarah Indonesia Jilid I dan II yang beredar dan dibuat berdasarkan arahan dari Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan Direktur Sejarah Kemendikbud Triana Wulandari tersebut.

 

“Karena tidak menampilkan fakta sejarah yang proporsional, terutama terkait dengan tidak dimasukkannya banyak peran tokoh Islam dalam membangun bangsa, sedangkan tokoh komunis yang melakukan pemberontakan justru banyak disebut dalam kamus tersebut, sehingga dapat menyesatkan masyarakat umum maupun guru dan anak didik,” tegas HNW melalui keterangannya, Rabu (21/4).

 

Dirinya mengaku telah membaca keseluruhan draf kamus tersebut. Hidayat tidak menemukan sejumlah nama yang jelas-jelas menjadi pahlawan nasional seperti putra KH Hasyim Asyari, KH Wahid Hasyim, yang merupakan anggota BPUPK, panitia 9 dan PPKI, yang berperan aktif serta konstruktif untuk membentuk Indonesia mardeka, ”Ini maksudnya apa?” tegasnya.

 

Wakil Ketua Majelis Syuro PKS itu juga mencatat beberapa tokoh penting lainnya yang tidak masuk dalam buku tersebut. Di antaranya KH Mas Mansoer yang merupakan mantan Ketua PB Muhammadiyah, anggota BPUPK, pendiri MIAI; Syafruddin Prawiranegara yang merupakan tokoh Masyumi sekaligus pencetus dan pemimpin Pemerintahan Darurat RI (PDRI).

 

Kemudian Mohammad Natsir, tokoh Partai Masyumi sekaligus pencetus mosi integral yang menyelamatkan NKRI; Ir Djoeanda yang merupakan guru Muhammadiyah yang berjasa dengan Resolusi Djoeanda menjadikan Indonesia menjadi betul-betul NKRI yang bercirikan nusantara, dan lain sebagainya.

 

Sedangkan, dari sisi organisasi, HNW melanjutkan, tidak ada penjelasan apa pun mengenai Jong Islamiten Bond yang berperan aktif dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober1928.

 

"Padahal mereka semua punya peran yang sangat penting dan diakui dalam pembentukan bangsa ini, sesuai dengan judul Kamus tersebut. Tapi justru malah tidak dimasukkan,” imbuhnya.

 

Di sisi lain, justru sejumlah pihak yang tercatat pernah memberontak dan memecah belah bangsa Indonesia dimasukan ke dalam Kamus Sejarah Indonesia tersebut.

 

Misalnya, tokoh-tokoh sentral Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti Alimin, Semaun, Musso, Amir Syarifuddin, DN Aidit malah ditulis dalam buku tersebut.

 

Bahkan, Bapak Komunis Asia Tenggara, Henk Sneevliet, yang sukses memecah belah Sarekat Islam menjadi putih dan merah justru dicantumkan. Termasuk organisasinya, ISDV.

 

"Apakah peran mereka yang memecah belah perjuangan bangsa dan memberontak terhadap Pemerintah Indonesia yang sah lebih penting di mata Dirjen dan Direktur Sejarah Kemendikbud, ketimbang peran tokoh-tokoh bangsa dari umat Islam yang telah menghadirkan Indonesia Merdeka dan mempertahakankan Indonesia Merdeka dengan NKRI-nya?” tegasnya menutup. (*)



 


SANCAnews – Wakil Ketua MPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani menyoroti sejumlah peristiwa yang terjadi di lingkungan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam beberapa bulan terakhir, menyusul hilangnya nama KH Hasyim Asy'ari hilang dari draf Kamus Sejarah yang dibuat Kemendikbud.

 

Arsul menyebutkan, setidaknya ada 3 peristiwa beruntun dalam waktu berdekatan terkait Kemendikbud yang menurutnya justru menambah atau menciptakan beban politik bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dimata segmen umat Islam tertentu.

 

"Pertama, hilang atau tidak ada-nya frase agama dalam draf/rancangan peta jalan pendidikan nasional (PJPN). Kedua, tidak tercantumnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam peraturan pemerintah yang diprakarsai yang kemudian menjadi PP No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Ketiga, soal hilangnya pendiri NU dan pahlawan nasional K.H. Hasyim Asy'ari dr buku atau kamus sejarah online yg diterbitkan dan dikelola oleh Direktorat Sejarah, Ditjen Kebudayaan-Kemendikbud," kata Arsul kepada wartawan di Jakarta, Rabu (21/4/2021).

 

Menurut Wakil Ketua Umum PPP ini, sejumlah kalangan Nahdhiyin, khususnya yang tergabung dalam Lingkaran Profesional Nahdhiyin (NU Circle) menyampaikan kepadanya bahwa ternyata bukan hanya nama K.H. Hasyim Asy'ari saja yang tidak muncul dalam kamus sejarah online Kemendikbud, ada sejumlah nama tokoh sentral lainnya yang tidak dimuat dalam kamus tersebut.

 

"Nama Gus Dur juga tidak ditempatkan sebagai tokoh sentral yang dimuat tersendiri dalam peristiwa sejarah. Juga nama Jenderal Sumitro dan Sumitro Djojohadikusumo, ayah kandung Prabowo Subianto, juga tokoh Islam serta anggota PPKI, Abdul Kahar Muzakir," ungkapnya.

 

Terkait Gus Dur, anggota Komisi III DPR ini menjelaskan, namanya dalam Kamus Sejarah tersebut tidak dimasukkan ke jajaran tokoh yang ada. Namanya hanya dimunculkan untuk melengkapi sejarah beberapa tokoh seperti ketika Kamus tersebut menerangkan tokoh Ali Alatas yang ditunjuk sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri pada masa pemerintahan Gus Dur. Juga disebut untuk melengkapi sejarah tokoh Megawati Sukarnoputri dan Widjojo Nitisastro.

 

Menurut Arsul, yang mengherankan justru ada nama Abu Bakar Ba'asyir dalam deretan tokoh sejarah itu. Bahkan, sejumlah elemen masyarakat mempertanyakan kepadanya selaku pimpinan MPR atas kemunculan sosok Abu Bakar Ba’asyir yang termuat di halaman 11.

 

"Mengapa nama mantan narapidana kasus terorisme yang menolak membuat pernyataan setia pada ideologi Pancasila ini justru muncul sebagai tokoh pada buku atau kamus yang diterbitkan oleh Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini," tukas Arsul.

 

Oleh karena itu, mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP ini melihat bahwa keteledoran Kemendikbud semakin menambah beban pemerintahan Jokowi di tengah berbagai kecurigaan yang sudah muncul.

 

"Jajaran Kemendikbud alih-alih mengurangi beban dan kecurigaan politik yang selama ini masih dihembuskan kepada Presiden Jokowi oleh kalangan tertentu, tapi malah menambahnya," tandas Arsul. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.