Latest Post


 


SANCAnews – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim merupakan salah satu nama yang diprediksi masuk daftar rombak. Sebab, mantan bos Gojek itu paling diinginkan publik untuk direshuffle.

 

Atas alasan itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai wajar jika langkah Nadiem sowan ke Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri diartikan sebagai upaya mencari aman agar bebas dari reshuffle kabinet.

 

"Posisinya rawan di-reshuffle. Mungkin sedang minta dan cari dukungan ke PDIP dengan seolah-olah membahas program merdeka belajar dan soal Pancasila," ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL sesaat lalu di Jakarta, Rabu (21/4).

 

Menurut dosen ilmu politik Universitas Al-Azhar Indonesia ini, upaya Nadiem untuk mencari aman dengan mencari perlindungan Megawati agar tidak di-reshuffle akan sia-sia. Sebab, Nadiem lebih banyak kontroversi dibandingkan prestasinya di Kemendikbud.

 

“Layak tuk direshuffle. Dan rakyat pun banyak yang minta dia untuk di-reshuffle," kata Ujang Komarudin.

 

Namun secara politis, kata Ujang, bisa saja Presiden Jokowi masih mangamankan Nadiem Makarim di Kemendikbud yang nanti bakal berubah menjadi Kemendikbud-Ristek, "Karena reshuffle merupakan hak prerogatif presiden," katanya.

 

"Kalau objektif, Nadiem akan kena reshuffle. Dan Jokowi mestinya menilai menteri dengan objektif. Bukan politis," demikian Ujang Komarudin.

 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim bertemu dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Selasa (20/4). Dia turut mengunggah swafoto atau selfie bersama Megawati di akun media sosial pribadinya.

 

"Ngobrol dua jam sama Bu Mega, diskusi strategi mempercepat Merdeka Belajar dan Profil Pelajar Pancasila. Saya banyak belajar dari pengalaman beliau," tulis Nadiem postingan Nadiem di media sosial seperti akun Instagram @nadiemmakarim, Selasa malam. []



 

SANCAnews – Politisi PKS Mardani Ali Sera menyoroti soal deretan kontroversi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

 

Menurutnya, masalah bangsa Indonesia ialah korupsi, hutang negara, ekonomi yang anjlok, pengangguran, dan sumber daya manusia.

 

Bukan kontroversi yang dibuat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mulai dari Pancasila dan Bahasa Indonesia yang hilang dari Standar Nasional Pendidikan (SNP).

 

Baru-baru ini, Nadiem Makarim juga menghapus nama KH Hasyim Asy'ari dari Kamus Sejarah Indonesia jilid I.

 

Menurut Mardani, pemerintah semakin tidak jelas karena tidak mengurusi masalah korupsi hingga pengangguran. Hal itu ia cuitkan melalui akun Twitter pribadinya @MardaniAliSera, Rabu (21/4/2021).

 

"Masalah bangsa saat ini korupsi, utang negara, ekonomi ambruk, pengangguran, SDM, dan lain-lain. Kenapa yang diotak atik pemerintah 'frasa agama', Pancasila, Bahasa Indonesia dan baru-baru ini menghilangkan peran ulama NU dari sejarah. Semakin nggak jelas pemerintah," ujarnya, dikutip Beritahits.id.

 

Perlu diketahui, sebelumnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) membuat heboh publik.

 

PP tersebut mengatur kurikulum untuk jalur pendidikan formal dan nonformal itu tidak lagi mencantumkan Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam SNP.

 

Selain itu, muncul kontroveri baru yaitu hilangnya sejumlah tokoh penting dalam sejarah Indonesia di Kamus Sejarah Indonesia.

 

Pada jilid I, tidak ada nama KH Hasyim Asy'ari. Sementara, di jilid II tidak ada nama Soekarno dan Mohammad Hatta dalam entry khusus.

 

Namun sebaliknya, ada deretan nama tokoh komunis yang muncul dalam kamus yang diterbitkan oleh Kemendikbud. (sc)



 


Oleh. Irfan S Awwas*

 

Mungkinkah seorang bergelar Kyai Haji berideologi komunis ? Mungkinkah orang yang lama nyantri di pesantren bisa terpapar PKI ? Sejarah Indonesia membuktikan bahwa kyai berideologi komunis dan seorang haji berhaluan PKI, bukan hal yang mustahil.


Komunisme dan PKI sebagai wadah perjuangan politik, jauh sebelum Indonesia merdeka dilakukan oleh kyai haji maupun santri. Dan justru merekalah yang sangat keras permusuhannya terhadap Islam dan kaum muslimin. Akibat ideologi komunis yang dibungkus paham agama, para kyai dan santri PKI ini menjadi sangat radikal.

Maka bukan hil yang mustahal bagi seorang kepala BPIP, seperti Yudian Wahyudi sangat keras terhadap gerakan Islam sekalipun dia tergolong santri dan bahkan rektor kampus UIN. Dialah orangnya yang secara sadar mengatakan, “musuh terbesar pancasila adalah agama”. Sebab sejarah bangsa ini mencatat komunisme bisa menjangkit pada seorang santri atau kyai.

 

Kyai PKI dari Pesantren Kasingan 

Contoh sejarahnya adalah KH. Achmad Dasuki Siradj. Riwayat pendidikannya kental dengan pesantren. Pendidikan dasarnya ditempuh di Pondok Pesantren Djansaren (tingkat Ibtidaiyah), Madrasah Manbaul Ulum Surakarta (tingkat Tsanawiyah) dan Pondok Pesantren Kasingan Rembang (tingkat Aliyah). Tapi kemudian, dia menjadi tokoh besar PKI era Musso maupun era Soekarno.

 

Ahmad Dasuki Siradj mengaku, menjadikan PKI sebagai jalan perjuangannya di jalan Allah.

 

“Menurut pengalaman saya yang telah 33 tahun di dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) hanya di situ itulah (baca: PKI) tempat mengamalkan hukum Allah dalam arti politik, bukan ditempat lainnya. Apabila Saudara yang terhormat memang dengan sungguh-sungguh hati menjalankan hukum Allah dan beramal dengan ikhlas marilah bersama dengan saya di dalam lingkungan Partai Komunis Indonesia (PKI),” tegas Kyai Siradj dalam Sidang Konstituante.

 

Haji Berhaluan PKI 

Selain KH. Achmad Dasuki Siradj, di Solo ada juga tokoh komunis bergelar Haji, yang ketokohannya disejajarkan dengan Semaun dan Tan Malaka. Namanya H. Mohammad Misbach atau Haji Misbach. Selain meyakini kebenaran ajaran Islam, ia juga dikenal sebagai penganut setia komunisme. Misbach sangat mengagumi kepribadian Nabi Muhammad sekaligus mengidolakan Karl Marx. Maka ia disebut juga dengan panggilan “Haji Merah”, atau “Haji Marxis”.

 

Di masa sekarang, banyak juga kyai yang, mungkin tanpa sadar, terpapar pemikiran sesat KH. Achmad Dasuki Siradj. Sebut saja misalnya KH. Said Aqil Siraj yang mengaggap bahaya laten radikalisme lebih mengancam ketimbang komunisme.

Dalam seminar virtual, Said Agil Siradj mengatakan, “Mohon maaf, saya berani mengatakan bukan PKI bahaya laten kita, tapi radikalisme dan terorisme yang selalu mengancam kita sekarang ini,” katanya pada Selasa (30/3/2021).

 

“Adapun pintu masuk radikalisme adalah paham Wahabi dan Salafi,” katanya yakin.

 

Jadi, adanya kyai yang kata dan prilakunya terkesan membela dan melindungi komunis, memang terdengar aneh. Tapi sikap demikian memiliki benang merah dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

 

Tak hanya itu, kyai yang berprofesi sebagai ketua ormas Islam, dan belum lama ditunjuk sebagai komisaris utama PT KAI ini, mengusulkan supaya para dosen agama di fakultas umum tingkat universitas untuk tidak terlalu banyak mengajarkan Aqidah dan Syariah. Menurutnya, hal itu dapat meningkatkan risiko peningkatan radikalisme.

 

“Bagi dosen agama yang mengajar agama di bukan fakultas agama, tidak usah banyak-banyak bincang akidah dan syariah. Cukup dua kali pertemuan. Rukun iman dan [rukun] Islam,” katanya dalam sebuah diskusi daring, Senin (5/4/2021).

 

“Kenapa? Kalau ini diperbanyak, nanti isinya, surga-neraka, Islam, kafir, lurus, benar, sesat. Terus-terusan bicara itu radikal jadinya,” ucap dia.

 

“Agama bukan dari langit, tapi dari manusia sendiri,” imbuhnya lagi.

 

Maka, rakyat Indonesia harus terus waspada dan cerdas menghadapi bahaya kebangkitan PKI di negeri ini. Karena bukan hanya propaganda tokoh tak beragama, bahkan ucapan seorang kyai maupun santri bisa menjadi pintu masuk komunisme dan kebangkitan PKI di bawah rezim Jokowi. []

 

*) source:

https://www.sejarahone.id/fenomena-kyai-komunis-dan-haji-komunis/



 

 

SANCAnews – Ketika nama-nama tokoh Nahdlatul Ulama (NU) hilang di Kamus Sejarah Indonesia Jilid I dan Jilid II yang diterbitkan Direktorat Sejarah pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, nama-nama tokoh komunis Indonesia justru bermunculan.

 

Disampaikan Ketua Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN), Tjetjep Muhammad Yasin atau biasa disapa Gus Yasin, ada beberapa tokoh komunis yang diulas dalam kamus setebal 339 halaman tersebut.

 

Misalnya, muncul profil Henk Sneevliet di halaman 87 kamus tersebut. Sneevliet diketahui adalah pendiri Indische Social-Democratische Vereniging (ISDV), organisasi beraliran kiri yang menjadi partai komunis pertama di Asia.

 

“Ada juga profil Darsono atau Raden Darsono Notosudirjo yang ditemukan pada halaman 51. Ia adalah tokoh Sarekat Islam (SI) yang pernah menjabat sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1920-1925,” terang Gus Yasin dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Rabu (21/4).

 

Lanjutnya, ada profil Semaoen ditemukan di halaman 262. Semaoen menjabat Ketua Partai Komunis Indonesia yang semula bernama ISDV. Ia juga dikenal sebagai aktivis komunis dan pimpinan aksi PKI 1926.

 

Selanjutnya ada profil Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia. Profil DN Aidit ditemukan di halaman 58 Kamus Sejarah Indonesia.

 

DN Aidit sendiri membawa PKI sebagai partai terbesar keempat di Indonesia pada Pemilu 1955 dan partai komunis ke-3 terbesar di dunia setelah Rusia dan China.

 

“Kita (Nahdliyin) harus bangkit. Kita tidak bisa menyerahkan urusan penting seperti ini ke PBNU. Kebanyakan pengurus NU sudah ewuh pakewuh, karena banyak di antara mereka sudah memangku jabatan,” tegas Gus Yasin.

 

Gus Yasin juga mengkritik pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siroj (SAS), yang menganggap Partai Komunis Indonesia bukan bahaya laten, melainkan radikalisme berujung terorisme lebih berbahaya.

 

“Aneh saja kiai SAS ngomong PKI sudah bukan bahaya laten. Tokoh-tokoh PKI malah dimunculkan dalam sejarah, sedang keberadaan tokoh sentral pendiri NU seperti KH Hasyim Asyari tidak dimunculkan. Ada apa ini? Mungkinkah gara-gara pernyataan Kiai SAS tentang PKI yang sudah disebutnya bukan bahaya laten?” tutupnya. []



 

 

SANCAnews – Banyaknya masalah yang terjadi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI dalam beberapa bulan terakhir menambah preseden buruk dunia pendidikan di Indonesia.

 

Selain itu, rentetan kontroversi yang terjadi justru menambah beban Presiden Joko Widodo (Jokowi).

 

Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, kepada wartawan, Rabu (21/4).

 

"Kemendikbud alih-alih mengurangi beban dan kecurigaan politik yang selama ini masih diembuskan kepada Presiden Jokowi oleh kalangan tertentu, tapi malah menambahnya," kata Arsul.

 

Arsul memaparkan, setidaknya ada tiga peristiwa dalam waktu berdekatan terkait Kemendikbud yang dinilai telah menambah beban politik bagi Presiden Jokowi.

 

Pertama, hilang atau tidak adanya frasa agama dalam draf atau rancangan peta jalan pendidikan nasional (PJPN).

 

Kedua, tidak tercantumnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam peraturan pemerintah yang diprakarsai dan kemudian menjadi PP Nomor 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.

 

Teranyar, terkait hilangnya pendiri NU sekaligus pahlawan nasional KH Hasyim Asyari dari Kamus Sejarah Indonesia yang diterbitkan dan dikelola oleh Direktorat Sejarah, Ditjen Kebudayaan Kemendikbud.

 

Bahkan, kalangan Nahdliyin khususnya yang tergabung dalam Lingkaran Profesional Nahdliyin (NU Circle) menyampaikan, ternyata bukan hanya nama KH Hasyim Asyari saja yang tidak muncul dalam kamus sejarah online Kemendikbud tersebut.

 

Tetapi, nama KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga tidak ditempatkan sebagai tokoh sentral yang dimuat tersendiri dalam modul kamus sejarah.

 

"Juga nama Jenderal Sumitro dan Sumitro Djojohadikusumo, ayah kandung Prabowo Subianto. Juga tokoh Islam serta anggota PPKI, Abdul Kahar Muzakir," tuturnya.

 

Nama Gus Dur, lanjut Arsul menyayangkan keteledoran Nadiem Makarim, hanya dimunculkan untuk melengkapi sejarah beberapa tokoh. Seperti ketika kamus tersebut menerangkan tokoh Ali Alatas yang ditunjuk sebagai Penasihat Menteri Luar Negeri pada masa pemerintahan Gus Dur.

 

"Juga disebut untuk melengkapi sejarah tokoh Megawati Soekarnoputri dan Widjojo Nitisastro," sesal Wakil Ketua MPR RI ini.

 

Lebih mengherankan lagi, menurut Arsul, justru ada nama Abu Bakar Baasyir dalam deretan tokoh sejarah itu.

 

Padahal, nama Abu Bakar Baasyir yang termuat di halaman 11 itu adalah mantan narapidana kasus terorisme yang menolak membuat pernyataan setia pada ideologi Pancasila

 

"Mengapa ini (Abu Bakar Baasyir) justru muncul sebagai tokoh pada buku/kamus yang diterbitkan oleh Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini?" pungkasnya. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.