Latest Post


 


SANCAnews – Perdana Menteri (PM) Pakistan Imran Khan meminta negara-negara mayoritas muslim bersatu untuk mendesak pemerintah negara barat agar mengkriminalisasi penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW.

 

Dalam pidatonya yang disiarkan di televisi, Senin (19/4/2021) waktu setempat, Khan mengatakan dia akan menjadi yang terdepan memimpin kampanye negara-negara mayoritas muslim untuk meyakinkan negara-negara barat penistaan terhadap Rasulullah merupakan masalah serius.

 

"Banyak kasus atas nama kebebasan berbicara namun menghina kehormatan Nabi Muhammad. 50 negara Muslim harus bersatu, berani mengatakan jika penghinaan ini terjadi di negara mana pun, maka kita siap meluncurkan boikot perdagangan terhadap mereka, dan tidak akan membeli barang-barang mereka, itu jelas akan berpengaruh," ujar Khan, dikutip Aljazeera, Selasa (20/4/2021).

 

Dia membandingkan masalah ini dengan Holocaust, negara-negara barat telah memahami bahwa mempertanyakan holocaust akan melukai sentimen komunitas Yahudi. Sikap serius semacam itu menurut Khan perlu diterapkan atas kasus penghinaan Nabi Muhammad dengan cara yang sama.

 

Pernyataan Khan datang setelah demonstrasi dilakukan oleh kelompok sayap kanan Tehreek-e-Labbaik Pakistan (TLP) selama berhari-hari minggu lalu. TLP menuntut Pakistan mengusir Duta Besar Prancis, terkait sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron yang melindungi penerbitan kembali karikatur Nabi Muhammad atas dalih hak publikasi.

 

Penodaan agama merupakan isu sensitif di Pakistan, bahkan beberapa bentuk penghinaan Islam dapat dijatuhi hukuman mati. Tindakan keras masyarakat Pakistan juga terlihat, seperti sejak 1990 setidaknya 78 orang terbunuh oleh kekerasan massa terkait tuduhan penistaan Islam, menurut penghitungan Aljazeera. []



 


SANCAnews – Tindakan Jozeph Paul Zhang yang mengaku sebagai Nabi ke-26 dan melakukan penistaan terhadap Islam memicu protes dan kecaman dari umat Muslim di tanah air.

 

Tindakan Jozeph dinilai sangat mencederai semangat toleransi yang telah terawat selama ini.

 

"Pertama kita mengecam atas tindakan ini dan meminta harus secepatnya pemerintah dalam hal ini pihak kepolisian untuk menangkap pelaku dan memprosesnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," kata seorang ulama Aceh, Tgk Faisal Ali atau biasa disapa Lem Faisal kepada Kantor Berita RMOLAceh, Selasa (20/4).

 

Lem Faisal menilai tindakan penistaan agama itu merupakan bagian dari menciptakan suasana yang tidak kondusif. Untuk itu dirinya mendesak kepolisian segera menangkap pelaku. Bahkan jika dia berada di luar negeri, polisi harus bisa memulangkan yang bersangkutan ke tanah air.

 

"Maka dia harus ditangkap dan harus dihukum serta jangan sampai ke depan adalagi seperti ini dan harus dihukum dengan seberat-beratnya. Supaya bisa menjadi pembelajaran bahwa dia mengatakan itu sesuatu yang tidak wajar dalam dunia kemajemukan yang terjadi di tempat kita," jelasnya.

 

Untuk itu, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh itu berharap, masyarakat tetap tenang dan menyerahkan proses hukum pada aparat yang berwajib.

 

"Kalau kepolisian sudah melakukan penindakan responsif terhadap masalah itu, maka kita harap masyarakat tetap tenang. Kita tunggu saja bagaimana proses hukum selanjutnya," tutup Lem Faisal. []



 


SANCAnews – Hilangnya nama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari dari Kamus Sejarah Indonesia Jilid I Nation Formation (1900-1950) diakui sebagai kealpaan bukan karena kesengajaan.

 

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid. Dia menegaskan, kesalahan tersebut tak disengaja karena kamus yang ramai beredar, sebenarnya masih dalam bentuk draf dan belum diterbitkan resmi.

 

"Saya mengakui bahwa ini kesalahan karena kealpaan bukan karena kesengajaan, itu poin yang saya tekankan, tapi sekarang sudah diturunkan, dan juga di perpustakaan kemdikbud juga kita tarik," kata Hilmar dalam jumpa pers virtual, Selasa (20/4/2021).

 

Hilmar mengemukakan, pada tahun 2019, ada program pengumpulan hasil karya dari setiap direktorat jenderal di Kemendikbud untuk dimasukkan ke dalam website rumahbelajar.id agar bisa menjadi pengetahuan publik.

 

Namun, Kamus Sejarah Indonesia tersebut terselip ikut masuk, padahal masih berbentuk draf yang belum lengkap.

 

"Saya sudah cek sampai staf di lapangan, kesimpulannya ini keteledoran naskah yang tidak siap kemudian sudah dimuat di website itu," jelasnya.

 

"Kami dari Dirjen Budaya menyesalkan ini terjadi mohon kerjasamanya ke depan agar buku kita lebih berkualitas," ucapnya.

 

Sebelumnya, Ketua Umum NU Circle, R. Gatot Prio Utomo, memprotes Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim karena pendiri NU, Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari mendadak hilang dari Kamus Sejarah Indonesia Jilid I terbitan Kemendikbud.

 

"Kami tersinggung dan kecewa atas terbitnya Kamus Sejarah Indonesia ini. Kamus itu memuat foto Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari tetapi tidak ada entry nama beliau sehingga berpretensi menghilangkan nama dan rekam jejak sejarah ketokohannya," kata Gatot dalam keterangannya, Senin (19/4/2021).

 

Kekecewaan semakin memuncak karena hari-hari ini, warga nahdliyin sedang memperingati hari wafatnya Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari yang wafat pada 7 Ramadhan 1366 hijriah.

 

Di sisi lain, NU Circle menyoroti nama Gubernur Belanda HJ Van Mook dan tokoh komunis pertama di Asia Henk Sneevliet justru dimasukkan dalam kamus sejarah RI. (sc)



 


SANCAnews – Buntut hilangnya sosok pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asyari dalam Kamus Sejarah Indonesia terbitan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud mendapat kecaman dari banyak kalangan.

 

DKN Garda Bangsa menilai Mendikbud Nadiem Makarim harus bertanggungjawab terhadap munculnya buku tersebut di masyarakat. Tidak dimasukkannya KH. Hasyim Asyari dalam kamus tersebut dianggap mencederai Nahdliyin.

 

"Sulit diterima akal sehat sekelas KH. Hasyim Asyari pendiri NU merupakan pahlawan nasional justru tidak muncul. Sedangkan, tokoh komunis dan pengusung paham radikalisme justru muncul di kamus sejarah RI kemendikbud," ujar Ketua DKN Garda Bangsa Bidang Riset dan Pendidikan, Lukman Hakim kepada wartawan, Selasa (20/4).

 

Hakim menyebutkan kasus ini merupakan preseden buruk keberapa kalinya dilakukan oleh lembaga yang dipercaya sebagai gudangnya ilmu pengetahuan.

 

Menurutnya, biarpun sudah diklarifikasi oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid namun tetap saja ini bukti tidak cakapnya komunikasi internal di dalam tubuh kementerian.

 

"Ini bukti keteledoran yang sangat fatal dilakukan oleh kemendikbud," tegasnya.

 

Hakim meminta agar Kemendikbud dapat bersikap arif dan selektif dalam membuat sebuah karya ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Dirinya melihat justru Nadiem harus melakukan bersih-bersih di dalam tubuh lembaga tersebut.

 

"Perlu adanya aksi bersih-bersih jangan sampai dalam tubuh kemendikbud masih ada aliran paham tertentu yang menimbulkan sensitif di masyarakat," ucapnya. (rmol)



 


SANCAnews – Hilangnya Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi dalam Peraturan Pemerintah (PP) 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan mengingatkan bangsa Indonesia pada hilangnya frasa “agama” dalam draf “Peta Jalan Pendidikan 2020-2035” yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

 

Atas alasan itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menilai bahwa dugaan ada kesengajaan dari sejumlah kalangan merupakan hal yang tidak mengherankan.

 

“Mungkin, ada sejumlah ahli di Kemendikbud yang berpandangan bahwa agama, Pancasila, dan bahasa Indonesia tidaklah penting. Saya juga mengetahui ada pandangan bahwa pelajaran agama, menjadi beban bagi dunia pendidikan,” tegasnya kepada wartawan, Selasa (20/4).

 

Fadlin Zon mengakui bahwa dirinya memang tidak tahu secara pasti apakah hilangnya frasa agama, mata kuliah Pancasila, serta mata kuliah bahasa Indonesia merupakan kesengajaan, atau sekadar produk kecerobohan pemerintah belaka, “Yang jelas, kesalahan ini fatal!” tegasnya.

 

Mantan wakil ketua DPR RI itu mengatakan, jika merujuk pada Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945, maka jelas dimandatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan UU.

 

“Jadi, pemerintah wajib menyelenggarakan sebuah ‘pendidikan nasional’,” ujarnya.

 

Apa yang dimaksud sebagai “pendidikan nasional” itu bukan saja mencakup skalanya, yaitu sebuah pendidikan yang diselenggarakan secara nasional, dari Sabang sampai Merauke; namun juga mencakup sifatnya, yaitu sebuah pendidikan yang memiliki ciri kebangsaan (nation).

 

Di poin kedua inilah letak posisi vital “agama”, Pancasila, serta bahasa Indonesia dalam sistem pendidikan Indonesia.

 

“Ketiganya adalah ciri dari pendidikan nasional kita. Tanpa ketiganya, pendidikan yang diselenggarakan pemerintah jadi kehilangan sifat kenasionalannya,” tegasnya. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.