Latest Post



 

SANCAnews – Habib Rizieq Shihab baru saja menyelesaikan studi S3-nya di Universitas Sains Islam Malaysia, meski berstatus sebagai terdakwa sejumlah kasus.

 

Tesis S3 Habib Rizieq dengan judul "Metodologi Pemilahan Ushul & Furu" itu membedah 73 aliran dalam Islam telah selesai diuji pada pukul 15.00 waktu Malaysia, dikutip Fakta Kini, Kamis (15/4/2021).

 

Bekas pentolan Front Pembela Islam (FPI) itu pun lulus dari ujian dan resmi menyandang gelar Ph.D.

 

"Alhamdulillah, IB HRS kini telah resmi gelar PhD," kata salah satu pengacara Habib Rizieq, Ali Alatas, Kamis (15/4/2021).

 

Untuk diketahui, di Indonesia sebutan untuk karya tulis di program S3 (Doktoral) adalah Disertasi, sementara di Malaysia adalah Tesis.

 

Supervisor sidang pengujian ini adalah Profesor. Madya. Dr Kamaluddin Nurdin Maruuni, dan co supervisor adalah Dr Ahmad Kamel Malik.

 

Sebelumnya, Kuasa hukum Habib Rizieq Shihab, Aziz Yanuar mengatakan bahwa selama dua bulan di rumah tahanan (rutan) Bareskrim Polri Habib Rizieq tetap menjalankan aktivitas seperti berdakwah di rutan mengajari narapidana (napi) lain mengaji, dan menyelesaikan disertasinya (S3).

 

"Kegiatan membaca, menyelesaikan disertasi, dan berdiskusi agama serta berdakwah. Mengajari para tahanan yang belum bisa ngaji dan salat agar bisa shalat dan mengaji. Yang sudah bisa jadi tambah baik," tutur Aziz.

 

Habib Rizieq sendiri telah menyelesaikan studi S-1 nya di King Saud University dan S-2 di University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.

 

Tesis S2 Habib Rizieq saat itu membahas "Pengaruh Pancasila Terhadap Penerapan Syariah Islam di Indonesia", lulus dengah hasil Cumlaude / Mumtaz (Sangat memuaskan). []



 


SANCAnews – Pakar hukum Refly Harun menyayangkan pernyataan Wali Kota Bogor Bima Arya yang tidak mau mencabut laporan kasus swab test Habib Rizieq Shihab di RS Ummi Kota Bogor gara-gara pernyataan Kapolda Jabar tersebut. Pernyataan Bima tersebut disampaikan saat menjadi saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Rabu, 14 April 2021.

 

"Kan aneh sekali. Ketika misalnya, kalau benar pernyataan seorang Kapolda bahwa laporan itu tidak bisa dicabut misalnya. Kenapa tidak bisa dicabut? Semua delik aduan bisa dicabut tentunya, kecuali kalau ini delik umum," kata Refly dikutip dari akun Youtube pada Kamis, 15 April 2021.

 

Menurut dia, kalau Bima berpikir untuk menyelesaikan kasus tidak perlu mempidanakan warga negara. Maka itu, seharusnya dicabut saja laporan terhadap Habib Rizieq Shihab.

 

Namun, jika aparat kepolisian menganggap kasus yang dilaporkan Bima Arya itu sebagai delik umum tentu perkara lain.

 

"Perkara kasus itu dianggap delik umum misalnya oleh pihak keamanan. Ya, itu tanggungjawab aparat keamanan bukan lagi tanggungjawab Bima Arya sebagai pihak yang mengadukan," ujarnya.

 

Lagipula, Refly tambah heran dengan Bima yang cuma ingin mengetahui kesehatan Habib Rizieq yang menjalani perawatan di RS Ummi. Menurutnya, Bima sangat berlebihan karena ingin terlalu tahu tentang kondisi Habib Rizieq terpapar COVID-19 atau tidak.

 

"Toh, banyak orang barangkali terpapar COVID-19, yang paling penting adalah yang bersangkutan mau melakukan tindakan. Katakanlah isolasi diri, pengobatan dan sebagainya. Lagipula dokter kan disumpah, tidak mungkin juga dokter akan membahayakan masyarakat," jelas dia.

 

Padahal, kata Refly, ada pejabat seperti Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang tidak mengumumkan terpapar COVID-19. Namun, Gubernur DKI Anies Baswedan juga tak perlu melaporkan Airlangga kepada Kapolda Metro Jaya lantaran tidak mengumumkan sakitnya itu membahayakan.

 

"Kan tentu tidak. Karena kita harus terima, paling tidak sebuah keyakinan selama mengalami terkena COVID-19, seorang Airlangga pasti melakukan isolasi mandiri," katanya.

 

Sebelumnya, Habib Rizieq Shihab menyayangkan Bima Arya yang mengurungkan niatnya untuk mencabut laporan polisi perkara swab test RS UMMI. Bima beralasan tak jadi mencabut laporannya di polisi lantaran ada pernyataan dari Kapolda Jawa Barat, yang tak ingin laporannya dicabut.

 

Dalam sidang perkara kasus swab test yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur itu, Habib Rizieq mempertanyakan soal adanya niat Bima untuk mencabut laporannya di kepolisian. Niat tersebut dinyatakan usai Bima bertemu dengan habaib yang dekat dengan Habib Rizieq.

 

"Bahkan tadi Anda bercerita ada niat cabut laporan, tapi Anda cerita ada yang nyatakan dari Polda (Jawa Barat) tak boleh dicabut," kata Habib Rizieq di PN Jakarta Timur pada Rabu, 14 April 2021.

 

Dalam perkara swab test RS UMMI, Habib Rizieq didakwa telah menyebarkan berita bohong atau hoaks, yang menyebabkan keonaran soal kondisi kesehatannya yang terpapar COVID-19 saat berada di RS UMMI Bogor.

 

Habib Rizieq dalam perkara tersebut didakwa dengan Pasal 14 Ayat (1), Ayat (2), Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 14 Ayat (1), Ayat (2) UU RI Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan/atau Pasal 216 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (*)



 


SANCAnews – Habib Rizieq Shihab (HRS) menyayangkan sikap Wali Kota Bogor Bima Arya yang menunda niatnya untuk mencabut laporan polisi terkait swab test di RS UMMI. Bima Arya beralasan tidak mencabut laporannya di kepolisian karena ada pernyataan dari Kapolda Jabar yang tidak ingin laporannya dicabut.

 

Tokoh Papua Christ Wamea buka suara setelah mendengar alasan Bima Arya. Menurut dia, Habib Rizieq sangat jelas telah dikriminalisasi.

 

"Sangat jelas pak HRS dikriminalisasi," cuitnya seperti dikutip dari Twitter @PutraWadapi, Kamis, 15 April 2021.

 

Sebagai informasi, kriminalisasi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan perilaku individu-individu yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat.

 

Lebih lanjut, dalam persidangan kasus swab test yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Habib Rizieq mempertanyakan niat Bima Arya mencabut laporannya ke polisi. Niat tersebut terungkap setelah Bima bertemu dengan Habaib yang dekat dengan Habib Rizieq.

 

"Bahkan tadi Anda bercerita ada niat cabut laporan, tapi Anda cerita ada yang nyatakan dari Polda (Jawa Barat) tak boleh dicabut," kata Habib Rizieq dalam persidangan di PN Jakarta Timur, Rabu 14 April 2021.

 

"Sekarang pertanyaan, Pemkot Bogor punya ahli hukum kenapa enggak tanya bahwa delik aduan itu bisa dicabut kapan saja. Artinya, tidak ada larangan dalam Undang-Undang kita, siapa pun boleh cabut laporannya. Siapa di Polda yang bilang tidak boleh cabut (laporan)?" katanya, menyambungkan.

 

Menjawab hal itu, Bima Arya mengatakan, bahwa ada orang disebutnya sebagai Kapolda sudah menyampaikan keterangan secara terbuka laporan yang dia buat tidak boleh dicabut.

 

"Habib tentunya menyaksikan sendiri, Kapolda secara terbuka dan tidak bisa dicabut," kata Bima Arya.

 

Habib Rizieq kemudian menimpali jawaban Bima Arya. HRS menyayangkan Bima Arya langsung percaya terhadap apa yang disampaikan Kapolda.

 

Padahal, di sisi lain, Bima Arya mempunyai tim hukum yang bisa ditanya soal hukum, "Kenapa enggak tanya ke ahli hukum?" tanya Habib Rizieq.

 

"Saya tidak fokus ke sana, karena bagi saya persoalan hukum ini bisa melihat kejelasan bagi semua," jawab Bima Arya.

 

Dalam perkara swab test RS UMMI, Habib Rizieq didakwa telah menyebarkan berita bohong atau hoaks, yang menyebabkan keonaran soal kondisi kesehatannya yang terpapar COVID-19 saat berada di RS UMMI Bogor. (*)

 


 


SANCAnews – Nota pembelaan (Pledoi) Inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan ditangkis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) melalui nota jawabannya (Replik).

 

Dalam sidang lanjutan yang digelar hari ini, JPU mambacakan nota jawabanya dengan menyampaikan kembali keterangan saksi ahli yang dihadirkan di dalam persidangan sebelumnya.

 

Di mana, mereka mengambil keterangan saksi ahli sosiolog Dr. Trubus Rahardiansyah, yang memperkuat tuntutan yang diajukan JPU yang menilai Syahganda melanggar Pasal 14 ayat 1 UU 1/1946 terkait penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran.

 

Salah seorang Jaksa membacakan pernyataan Dr. Trubus mengenai definisi kabar bohong atau hoax, yaitu tindakan komunikasi suatu individu atau kelompok dalam interaksi sosial yang menyampaikan suatu peristiwa yang tidak sesuai dengan realitas sosial dan fakta-fakta sosial.

 

Dalam replik yang ditandatangani ketua tim penuntut umum Syahnan Tanjung itu, disampaikan bahwa jika ada pernyataan terdakwa Syahganda yang memiliki ciri penyebaran berita bohong dan juga mengundang keonaran, maka bisa dipastikan memiliki unsur perbuatan hukum.

 

"Dengan demikian, unsur menyiarkan berita bohong terpenuhi secara sah dan meyakinkan menurut hukum," ujar Jaksa dalam sidang yang digelar di Ruang 1 Cakra, Pengadilan Negeri (PN) Depok, Kamis (15/4).

 

Maka dari itu, Jaksa Syahnan dalam repliknya kukuh mempertahankan tuntutannya kepada Syahganda, yang meminta Majelis Hakim untuk menghukum Syahganda 6 tahun penjara.

 

"Uraian-uraian replik di atas, demi terciptanya keadilan dan menjamin kepastian hukum. Maka kami JPU tidak sependapat dengan nota pledoi dari tim penasihat hukum dan terdakwa. Kami tetap semula, pada amar tuntutan kami," ucap Syahnan dalam repliknya.

 

"Supaya majelis hakim yang memeriksa memutuskan, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan menimbulkan keonaran, sebagaimana diatur pada pasal 14 ayat 1 UU 1/1946 KUHP," tandasnya.

 

Dalam sidang pembacaan pledoi pekan lalu, penasihat hukum Syahganda, Abdullah Alkatiri mengatakan dalam nota pembelaannya menyebutkan bahwa tuntutan JPU tidak dapat dibuktikan.

 

Karena berdasarkan keterangan saksi lapangan atas nama Andika Fahreza menyatakan, dirinya yang merupakan seorang massa aksi ricuh menolak RUU omnibus law Cipta Kerja Oktober 2020 lalu, tidak terinspirasi dari cuitan Syahganda di Twitter yang menjadi materi dakwaan. Justru, dia terinspirasi mengikuti aksi karena melihat postingan di Instagram.

 

Sementara, Syahganda dalam pledoinya menyatakan bahwa dirinya merasa dijadikan kambing hitam oleh rezim yang tengah mengalami kemunduran demokrasi di masa sekarang ini. Selain itu juga, dia menilai JPU yang memberikan tuntutan 6 tahun penjara atas dugaan pelanggaran yang diarahkannya justru menunjukkan kesan tidak berpengalaman.

 

Adapun dalam sidang pemeriksaan sebelumnya, Sosiolog Trubus Rahardiansyah, juga memaparkan fungsi sosial media adalah untuk memudahkan manusia saling berkomunikasi. Dalam konteks pernyataan Syahganda di akun Twitternya, dia menilai itu telah menimbulkan keonaran.

 

Akan tetapi, terlihat ada kontradiksi pernyataan Dr. Trubus dengan yang di dalam BAP dan di depan persidangan. Sebab, dia sempat ditanya oleh penasihat hukum Syahganda mengenai hoax yang disampaikan di dalam kicauan clientnya.

 

"Saudara Ahli, Anda tadi katakan bahwa apa yang ditulis terdakwa di Twitter merupakan bentuk ekspresi aspirasi. Lalu dimana letak hoaxnya Syahganda sehingga kemudian ditahan?” tanya Abdullah Alkatiri Rabu (24/2).

 

"Kalau soal penahanan terdakwa itu bukan kapasitas saya (untuk menjawab)," jawab Dr. Trubus.

 

Selanjutnya Abullah Alkatiri bertanya lagi, apakah pernyataan Syahganda di akun Twitter, yang menjadi materi dakwaan, yang berbunyi, “Selamat bergerak kaum buruh, kawan-kawan PPMI yang akan turun berdemonstrasi menolak RUU Omnibuslaw” adalah salah.

 

Untuk pertanyaan ini, saksi ahli yang adalah dosen di Universitas Trisakti mengatakan pernyataan itu tidak salah, dan di dalam sosiologi termasuk sebuah ekspresi. (rmol)



 


SANCAnews – Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan menjelaskan status keanggotaan dua tersangka "unlawful killing" adalah anggota Polri dalam pemeriksaan.

 

"Jadi 2 tersangka itu statusnya anggota Polri yang masih dalam pemeriksaan," kata Ramadhan saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (15/4/2021).

 

Menurut Ramadhan, untuk penonaktifan anggota Polri harus melewat sidang etik di Propam Polri.

 

Sidang etik tersebut, lanjut dia, dapat dilaksanakan setelah kasus pidana atau hukumnya vonis atau inkrah di pengadilan.

 

Terkait proses ini, kata dia, tidak bisa disamakan dengan perkara hukum lainnya yang ditangani oleh kepolisian.

 

"Kalau bicara penonaktifan melalui sidang (etik-red) itu. Jadi supaya tidak salah persepsi 2 tersangka masih dalam proses pemeriksaan," kata Ramadhan.

 

Menurut Ramadhan, saat ini proses pidana maupun proses etik terhadap 2 anggota Polri tersangka 'unlawful killing" masih berproses.

 

"Masih berproses jadi kedua-duanya masih proses baik proses pidana maupun proses propam nya itu sendiri," kata Ramadhan.

 

Penyidik Bareskrim Polri pada Selasa (6/4) telah menetapkan 2 anggota Polda Metro Jaya sebagai tersangka kasus "unlawful kiling". Penetapan tersangka dilakukan setelah melakukan gelar perkara terlebih dahulu pada 1 April 2021.

 

Sebelumnya tersangka ada 3 orang, dalam perjalanan waktu, satu tersangka dengan inisial EPZ meninggal dunia pada 4 Januari 2021 karena kecelakaan tunggal, sehingga penyidikan terhadapnya dihentikan.

 

Kasus 'unlawful killing' terungkap setelah investigasi dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

 

Komnas HAM pada 8 Januari 2021 telah melaporkan hasil penyelidikan terhadap kematian 6 orang laskar Front Pembela Islam (FPI) yang berawal dari pembuntutan terhadap Rizieq Shihab pada 6-7 Desember 2020.

 

Saat itu, anggota Polri mengikuti rombongan tokoh FPI itu bersama para pengawalnya dalam sembilan kendaraan roda empat bergerak dari Sentul ke Karawang.

 

Hasil investigasi Komnas HAM menyimpulkan bahwa insiden penembakan empat dari enam laskar FPI merupakan pelanggaran HAM.

 

Menurut Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam penembakan enam laskar merupakan "unlawful killing" sebab dilakukan tanpa upaya menghindari jatuhnya korban oleh aparat kepolisian. (sc)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.