Latest Post


 


SANCAnews – Habib Rizieq Shihab (HRS) menyayangkan sikap Wali Kota Bogor Bima Arya yang menunda niatnya untuk mencabut laporan polisi terkait swab test di RS UMMI. Bima Arya beralasan tidak mencabut laporannya di kepolisian karena ada pernyataan dari Kapolda Jabar yang tidak ingin laporannya dicabut.

 

Tokoh Papua Christ Wamea buka suara setelah mendengar alasan Bima Arya. Menurut dia, Habib Rizieq sangat jelas telah dikriminalisasi.

 

"Sangat jelas pak HRS dikriminalisasi," cuitnya seperti dikutip dari Twitter @PutraWadapi, Kamis, 15 April 2021.

 

Sebagai informasi, kriminalisasi adalah sebuah proses saat terdapat sebuah perubahan perilaku individu-individu yang cenderung untuk menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat.

 

Lebih lanjut, dalam persidangan kasus swab test yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Habib Rizieq mempertanyakan niat Bima Arya mencabut laporannya ke polisi. Niat tersebut terungkap setelah Bima bertemu dengan Habaib yang dekat dengan Habib Rizieq.

 

"Bahkan tadi Anda bercerita ada niat cabut laporan, tapi Anda cerita ada yang nyatakan dari Polda (Jawa Barat) tak boleh dicabut," kata Habib Rizieq dalam persidangan di PN Jakarta Timur, Rabu 14 April 2021.

 

"Sekarang pertanyaan, Pemkot Bogor punya ahli hukum kenapa enggak tanya bahwa delik aduan itu bisa dicabut kapan saja. Artinya, tidak ada larangan dalam Undang-Undang kita, siapa pun boleh cabut laporannya. Siapa di Polda yang bilang tidak boleh cabut (laporan)?" katanya, menyambungkan.

 

Menjawab hal itu, Bima Arya mengatakan, bahwa ada orang disebutnya sebagai Kapolda sudah menyampaikan keterangan secara terbuka laporan yang dia buat tidak boleh dicabut.

 

"Habib tentunya menyaksikan sendiri, Kapolda secara terbuka dan tidak bisa dicabut," kata Bima Arya.

 

Habib Rizieq kemudian menimpali jawaban Bima Arya. HRS menyayangkan Bima Arya langsung percaya terhadap apa yang disampaikan Kapolda.

 

Padahal, di sisi lain, Bima Arya mempunyai tim hukum yang bisa ditanya soal hukum, "Kenapa enggak tanya ke ahli hukum?" tanya Habib Rizieq.

 

"Saya tidak fokus ke sana, karena bagi saya persoalan hukum ini bisa melihat kejelasan bagi semua," jawab Bima Arya.

 

Dalam perkara swab test RS UMMI, Habib Rizieq didakwa telah menyebarkan berita bohong atau hoaks, yang menyebabkan keonaran soal kondisi kesehatannya yang terpapar COVID-19 saat berada di RS UMMI Bogor. (*)

 


 


SANCAnews – Nota pembelaan (Pledoi) Inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan ditangkis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) melalui nota jawabannya (Replik).

 

Dalam sidang lanjutan yang digelar hari ini, JPU mambacakan nota jawabanya dengan menyampaikan kembali keterangan saksi ahli yang dihadirkan di dalam persidangan sebelumnya.

 

Di mana, mereka mengambil keterangan saksi ahli sosiolog Dr. Trubus Rahardiansyah, yang memperkuat tuntutan yang diajukan JPU yang menilai Syahganda melanggar Pasal 14 ayat 1 UU 1/1946 terkait penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran.

 

Salah seorang Jaksa membacakan pernyataan Dr. Trubus mengenai definisi kabar bohong atau hoax, yaitu tindakan komunikasi suatu individu atau kelompok dalam interaksi sosial yang menyampaikan suatu peristiwa yang tidak sesuai dengan realitas sosial dan fakta-fakta sosial.

 

Dalam replik yang ditandatangani ketua tim penuntut umum Syahnan Tanjung itu, disampaikan bahwa jika ada pernyataan terdakwa Syahganda yang memiliki ciri penyebaran berita bohong dan juga mengundang keonaran, maka bisa dipastikan memiliki unsur perbuatan hukum.

 

"Dengan demikian, unsur menyiarkan berita bohong terpenuhi secara sah dan meyakinkan menurut hukum," ujar Jaksa dalam sidang yang digelar di Ruang 1 Cakra, Pengadilan Negeri (PN) Depok, Kamis (15/4).

 

Maka dari itu, Jaksa Syahnan dalam repliknya kukuh mempertahankan tuntutannya kepada Syahganda, yang meminta Majelis Hakim untuk menghukum Syahganda 6 tahun penjara.

 

"Uraian-uraian replik di atas, demi terciptanya keadilan dan menjamin kepastian hukum. Maka kami JPU tidak sependapat dengan nota pledoi dari tim penasihat hukum dan terdakwa. Kami tetap semula, pada amar tuntutan kami," ucap Syahnan dalam repliknya.

 

"Supaya majelis hakim yang memeriksa memutuskan, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan menimbulkan keonaran, sebagaimana diatur pada pasal 14 ayat 1 UU 1/1946 KUHP," tandasnya.

 

Dalam sidang pembacaan pledoi pekan lalu, penasihat hukum Syahganda, Abdullah Alkatiri mengatakan dalam nota pembelaannya menyebutkan bahwa tuntutan JPU tidak dapat dibuktikan.

 

Karena berdasarkan keterangan saksi lapangan atas nama Andika Fahreza menyatakan, dirinya yang merupakan seorang massa aksi ricuh menolak RUU omnibus law Cipta Kerja Oktober 2020 lalu, tidak terinspirasi dari cuitan Syahganda di Twitter yang menjadi materi dakwaan. Justru, dia terinspirasi mengikuti aksi karena melihat postingan di Instagram.

 

Sementara, Syahganda dalam pledoinya menyatakan bahwa dirinya merasa dijadikan kambing hitam oleh rezim yang tengah mengalami kemunduran demokrasi di masa sekarang ini. Selain itu juga, dia menilai JPU yang memberikan tuntutan 6 tahun penjara atas dugaan pelanggaran yang diarahkannya justru menunjukkan kesan tidak berpengalaman.

 

Adapun dalam sidang pemeriksaan sebelumnya, Sosiolog Trubus Rahardiansyah, juga memaparkan fungsi sosial media adalah untuk memudahkan manusia saling berkomunikasi. Dalam konteks pernyataan Syahganda di akun Twitternya, dia menilai itu telah menimbulkan keonaran.

 

Akan tetapi, terlihat ada kontradiksi pernyataan Dr. Trubus dengan yang di dalam BAP dan di depan persidangan. Sebab, dia sempat ditanya oleh penasihat hukum Syahganda mengenai hoax yang disampaikan di dalam kicauan clientnya.

 

"Saudara Ahli, Anda tadi katakan bahwa apa yang ditulis terdakwa di Twitter merupakan bentuk ekspresi aspirasi. Lalu dimana letak hoaxnya Syahganda sehingga kemudian ditahan?” tanya Abdullah Alkatiri Rabu (24/2).

 

"Kalau soal penahanan terdakwa itu bukan kapasitas saya (untuk menjawab)," jawab Dr. Trubus.

 

Selanjutnya Abullah Alkatiri bertanya lagi, apakah pernyataan Syahganda di akun Twitter, yang menjadi materi dakwaan, yang berbunyi, “Selamat bergerak kaum buruh, kawan-kawan PPMI yang akan turun berdemonstrasi menolak RUU Omnibuslaw” adalah salah.

 

Untuk pertanyaan ini, saksi ahli yang adalah dosen di Universitas Trisakti mengatakan pernyataan itu tidak salah, dan di dalam sosiologi termasuk sebuah ekspresi. (rmol)



 


SANCAnews – Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan menjelaskan status keanggotaan dua tersangka "unlawful killing" adalah anggota Polri dalam pemeriksaan.

 

"Jadi 2 tersangka itu statusnya anggota Polri yang masih dalam pemeriksaan," kata Ramadhan saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (15/4/2021).

 

Menurut Ramadhan, untuk penonaktifan anggota Polri harus melewat sidang etik di Propam Polri.

 

Sidang etik tersebut, lanjut dia, dapat dilaksanakan setelah kasus pidana atau hukumnya vonis atau inkrah di pengadilan.

 

Terkait proses ini, kata dia, tidak bisa disamakan dengan perkara hukum lainnya yang ditangani oleh kepolisian.

 

"Kalau bicara penonaktifan melalui sidang (etik-red) itu. Jadi supaya tidak salah persepsi 2 tersangka masih dalam proses pemeriksaan," kata Ramadhan.

 

Menurut Ramadhan, saat ini proses pidana maupun proses etik terhadap 2 anggota Polri tersangka 'unlawful killing" masih berproses.

 

"Masih berproses jadi kedua-duanya masih proses baik proses pidana maupun proses propam nya itu sendiri," kata Ramadhan.

 

Penyidik Bareskrim Polri pada Selasa (6/4) telah menetapkan 2 anggota Polda Metro Jaya sebagai tersangka kasus "unlawful kiling". Penetapan tersangka dilakukan setelah melakukan gelar perkara terlebih dahulu pada 1 April 2021.

 

Sebelumnya tersangka ada 3 orang, dalam perjalanan waktu, satu tersangka dengan inisial EPZ meninggal dunia pada 4 Januari 2021 karena kecelakaan tunggal, sehingga penyidikan terhadapnya dihentikan.

 

Kasus 'unlawful killing' terungkap setelah investigasi dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

 

Komnas HAM pada 8 Januari 2021 telah melaporkan hasil penyelidikan terhadap kematian 6 orang laskar Front Pembela Islam (FPI) yang berawal dari pembuntutan terhadap Rizieq Shihab pada 6-7 Desember 2020.

 

Saat itu, anggota Polri mengikuti rombongan tokoh FPI itu bersama para pengawalnya dalam sembilan kendaraan roda empat bergerak dari Sentul ke Karawang.

 

Hasil investigasi Komnas HAM menyimpulkan bahwa insiden penembakan empat dari enam laskar FPI merupakan pelanggaran HAM.

 

Menurut Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam penembakan enam laskar merupakan "unlawful killing" sebab dilakukan tanpa upaya menghindari jatuhnya korban oleh aparat kepolisian. (sc)



 


SANCAnews – Penembakan mati 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang dilakukan oleh polisi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada 7 Desember 2020 lalu, hingga kini masih terus diselidiki.

 

Sejumlah pihak meyakini bahwa ada motif politik tertentu di balik peristiwa yang dianggap sebagai unlawful killing tersebut.

 

Salah satunya adalah Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Laskar FPI, Abdullah Hehamahua.

 

Menurut Abdullah, secara garis besar, kasus penembakan mati 6 anggota laskar FPI tersebut bersifat politis, dan bukan kriminal murni. Ia mengaitkan kasus tersebut dengan kepulangan Rizieq Shihab (HRS) dari Arab Saudi.

 

Menurut pengakuannya saat bertemu dengan HRS di Mekkah, Arab Saudi pada tahun 2019, saat itu pemerintah Indonesia tengah melarang HRS keluar dari Arab.

 

"Kenapa tiba-tiba di tahun 2020 pemerintah begitu welcome terhadap Habib Rizieq? Ini kan jadi pertanyaan," katanya.

 

Bukti bahwa kasus tersebut politis, kata mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, dapat dilihat dari rangkaian kegiatan FPI dan Rizieq semenjak pulang dari Arab. Bahkan ia yakin, benang merah kasus penembakan tersebut dapat ditarik hingga ke soal kekalahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilgub DKI 2017.

 

"Nikahan itu aparat pemerintah tahu, intel tahu, kenapa tidak diantisipasi? Ini kan semacam dijebak. Lalu terjadi kasus pelanggaran prokes. Bayar cash Rp50 juta. Ini soal politik, karena 2017, dalam teori politik apapun, Ahok harus menang jadi gubernur," kata Abdullah.

 

Pelanggaran HAM Berat 

Lebih lanjut, Abdullah mengatakan bahwa kasus tersebut termasuk pelanggaran HAM berat.

 

Menurut pengakuannya, 6 anggota laskar FPI tersebut mengalami luka yang tidak mungkin dilakukan polisi di dalam mobil.

 

"Saksi (mengatakan), ketika jenazah dimandikan, rata-rata ada dua peluru, sebelah kiri jantung, kemaluan dianiaya siksa, bagian belakang luka bekas, dan bagian depan luka bakar. Kalau Komnas HAM mengatakan di dalam mobil, bagaimana menganiaya di dalam mobil?" katanya.

 

Abdullah menyebut, polisi sendiri tanpa sadar telah mengakui bahwa anggotanya memang telah melakukan pelanggaran HAM berat. Hal tersebut terlihat di dalam berkas tuntutan pihak kepolisian.

 

"Dalam tuntuan kepolisian menyatakan Pasal 338 (pembunuhan) dan 351 (penganiayaan yang mengakibatkan kematian), berarti secara tanpa sadar polisi mengakui ada pelanggaran HAM berat karena ada penganiayaan," katanya.

 

Sebelum menyampaikan itu semua, Abdullah terlebih dahulu mengecam tindakan penembakan mati 6 anggota Laskar FPI tersebut.

 

"Kucing meninggal saja saya sedih. Ada yang menganiaya saya marah. Ini enam orang. Anak muda yang mempunyai potensi menjadi calon pemimpin masa depan,” katanya. []



 


SANCAnews – Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) laskar FPI, Abdullah Hehamahua, menyebut pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana beberapa waktu lalu ibarat Nabi Musa mendatangi Firaun. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengkritik keras ucapan Hehamahua itu.

 

Ketua PBNU Robikin Emhas awalnya menjelaskan Indonesia berdiri atas kesepakatan bersama. Kesepakatan itu, katanya, berasal dari lintas agama hingga suku.

 

"NKRI dirikan oleh para pendiri bangsa berdasarkan kesepakatan. Itulah mengapa Indonesia disebut juga sebagai negara kesepakatan (darul 'ahdi). Siapa yang bersepakat? Seluruh komponen bangsa. Lintas etnis dan suku, juga budaya dan bahasa," kata Robikin kepada wartawan, Rabu (14/4/2021).

 

Kesepakatan tersebut, menurut Robikin, harus dijalankan secara bersama. Kesepakatan hidup bersama itu tak hanya berhenti pada generasi saat ini, namun ke depan.

 

"Kesepakatan merupakan janji. Dan janji dalam pandangan Islam adalah utang yang mesti dibayar. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus harus memegang kesepakatan para pendiri bangsa sebagai bentuk penunaikan janji," ujarnya.

 

Robikin menjelaskan status pemerintahan Indonesia adalah sah secara Islam. Pemerintah yang dipilih melalui pemilihan ini, menurut Robikin, sah dalam pandangan Islam.

 

"Lalu bagaimana status NKRI menurut pandangan Islam? Jawabannya jelas, sah. Dan karena status NKRI sah menurut pandangan Islam, maka pemerintahan yang dibentuk melalui mekanisme pemilihan yang sah juga sah," ucapnya.

 

Robikin pun mengkritik keras jika TP3 menganggap pertemuan dengan Jokowi bak bertemu dengan Firaun. Menurut Robikin, TP3 tak boleh menyamakan Presiden dengan Firaun.

 

"Nah, karena Presiden terpilih secara sah maka keliru kalau mengalogikan pertemuan dimaksud seperti bertemu Firaun. Perlu ditegaskan, sebagai negara bangsa (nation state) Indonesia bukan negara kafir (darul kuffar). Demikian halnya, presiden dan pemerintah yang ada juga bukan thoghut. Karena itu tidak boleh mengasosikannya sebagai Firaun," ujarnya.

 

Sebelumnya, Abdullah Hehamahua menyebut pertemuan dengan Jokowi di Istana beberapa waktu lalu ibarat Nabi Musa mendatangi Firaun. Pernyataan Abdullah Hehamahua itu disampaikan dalam channel YouTube Ustadz Demokrasi seperti dilihat, Rabu (14/4).

 

"Kemudian tanggal 8 ada telepon dari Istana ke Sekretaris TP3 Pak Marwan Batubara bahwa Istana siap menerima besoknya tanggal 9 jam 10. Disebutkan 10 orang kemudian harus antigen dan antigen itu harus di rumah sakit yang ditetapkan yaitu di rumah sakit bunda di daerah Menteng," kata Abdullah Hehamahua.

 

Pertemuan TP3 dan Jokowi pun akhirnya berlangsung. Abdullah Hehamahua menyebut pertemuan itu seperti Musa mendatangi Firaun.

 

"Singkatnya besoknya kami datang, kami sepakat bahwa kita datang seperti Musa datang kepada Firaun," ujar Abdullah Hehamahua.[]


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.