Latest Post


 


SANCAnews – Sebuah kelompok hak sipil bernama Muslim Advocates menuntut Facebook dan para eksekutifnya karena membuat pernyataan palsu dan menipu di hadapan Kongres Amerika Serikat, New West Records melaporkan, Minggu (11/4/2021).

 

Di Kongres tersebut, CEO Facebook Mark Zuckerberg mengatakan bahwa aplikasi tersebut telah berhasil mencegah konten diskriminatif dengan menghapus ujaran kebencian dan materi lain yang melanggar aturannya.

 

"Zuckerberg dan eksekutif senior lainnya telah terlibat dalam kampanye yang terkoordinasi untuk meyakinkan publik, perwakilan terpilih, pejabat federal, dan pemimpin non-profit di ibu kota negara bahwa Facebook adalah produk yang aman," tulis gugatan yang diajukan di Pengadilan Tinggi Washington DC, Amerika Serikat.

 

Dalam gugatannya, Facebook telah berulang kali diperingatkan tentang ujaran kebencian dan seruan untuk melakukan kekerasan di platformnya.

 

Aplikasi dinilai tidak melakukan tindakan apapun, atau sangat sedikit, dalam mencegah komentar tersebut.

 

Muslim Advocates juga menyebut bahwa pernyataan Zuckerberg yang dinilai menipu ini, telah melanggar aturan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen District of Columbia dan larangan penipuan di sana.

 

"Setiap hari, orang biasa dibombardir dengan konten berbahaya yang melanggar kebijakan Facebook sendiri tentang ujaran kebencian, penindasan, pelecehan, organisasi berbahaya, dan kekerasan. Serangan penuh kebencian dan anti-Muslim itu sangat menyebar di Facebook," tambah gugatan tersebut.

 

Dalam sebuah pernyataan, Facebook mengatakan tidak mengizinkan ujaran kebencian di platformnya. Mereka juga mengaku secara teratur bekerja sama dengan ahli, organisasi non-profit, dan pemangku kepentingan untuk membantu memastikan Facebook adalah tempat yang aman bagi semua orang.

 

Perusahaan yang berbasis di Menlo Park, California, mengatakan telah berinvestasi dalam teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, yang bertujuan menghapus komentar yang mengandung ujaran kebencian.

 

Bahkan dengan teknologi ini, Facebook mengklaim dapat mendeteksi 97 persen dari keseluruhan komentar yang dihapus.

 

Facebook sendiri menolak menjawab tuduhan gugatan bahwa mereka tidak menghapus ujaran kebencian dan jaringan anti-Muslim di platformnya, bahkan setelah diberitahu tentang keberadaan mereka.

 

Salah satu contoh kasus yang diberikan adalah beredarnya hasil penelitian dari Profesor Megan Squire dari Elon University. Saat itu, Squire menerbitkan penelitian tentang kelompok anti-Muslim di Facebook dan memberi tahu mereka.

 

Namun gugatan menyebut bahwa Facebook tidak menghapus grup sesuai hasil penelitian Squire. Mereka malah mengubah cara untuk mengakses hasil penelitian tersebut. Sehingga, penelitian ini tidak bisa diakses oleh akademisi luar dan hanya bisa dilakukan oleh karyawan Facebook.

 

Kasus lainnya terjadi pada 25 April 2018, di mana Squire melaporkan ke Facebook adanya sebuah grup anti-Muslim bernama 'Purge Worldwide'.

 

Hal ini diketahui dari deskripsi grup yang bertuliskan "Ini adalah kelompok anti Islam A Place untuk berbagi informasi tentang apa yang terjadi di bagian dunia anda."

 

Sayang, Facebook memutuskan bahwa mereka tidak akan menghapus grup tersebut.(sc/sanca)



 

SANCAnews – Langkah Presiden Joko Widodo membentuk Tim Satgas Hak Tagih dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dianggap kurang tepat dan blunder.

 

Pakar politik dan hukum daru Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam menilai pemikiran Jokowi terbalik dan kurang tepat dalam mengeluarkan kebijakan pembentukan tim tagih BLBI.

 

"Menurut saya Jokowi lagi-lagi membuat kebijakan yang kurang tepat dan blunder," ujar Saiful kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (11/4).

 

Tidak tepatnya itu, kata Saiful, karena Jokowi baru membentuk satgas tersebut setelah Sjamsul Nursalim (SN) dinyatakan bebas oleh Mahkamah Agung (MA) dan terpaksa KPK mengeluarkan SP3.

 

“Tentu publik bertanya-tanya. Apa SN akan begitu saja mengembalikan begitu saja keuangan negara? Ia sudah bebas kok baru ditagih, mestinya sebelum bebas dong ditagihnya, baru kemudian SN akan ketakutan," jelas Saiful.

 

“Saya menduga SN sudah tertawa lebar melihat ini semua,” tutupnya. []



 


SANCAnews – Sebuah video viral di media sosial, pertunjukan live musik terjadi di kawasan Pasar Lama Tangerang, Kelurahan Sukasari, Kota Tangerang, Sabtu (10/04/2021) sekitar pukul 20.00 WIB.

 

Dari akun IG @satusuaraexpress.official, yang dilansir dari @info_ciledug, acara live musik ini diadakan di jalan sekitar kawasan Pasar Lama.

 

Dalam video yang direkam salah satu warga, terlihat beberapa orang sedang bernyanyi membawakan lagu Kangen dari grup band Dewa 19 dengan diiringi beberapa pemain alat musik.

 

Di sekitarnya pun terlihat beberapa orang sedang menikmati lagu yang dibawakan grup band tersebut, namun terlihat beberapa orang yang menonton tidak mengenakan masker.

 

Baca juga:  Odin Bar 5 Kali Langgar Prokes, Ariza: Kami Beri Sanksi, Tak Ada Bekingan Siapa pun!

 

Selain itu ada pula para petugas Satpol PP yang terlihat berjaga di sekitar lokasi diadakannya acara live musik tersebut, dan di sekeliling konser, petugas menaruh cone pembatas jalan. Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari pejabat daerah terkait dengan live musik tersebut. []

 



 


SANCAnews – Presiden Joko Widodo seharusnya diperlakukan sama seperti Habib Rizieq Shihab (HRS) karena kembali menimbulkan keramaian publik saat berkunjung ke Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur.

 

Dikhawatirkan kerumunan publik yang terjadi berubah menjadi klaster baru Covid-19 dan terjadi di daerah bencana.

 

Bagi pengamat sosial politik, Muslim Arbi, kerumunan yang terus berulang saat Jokowi melakukan kunjungan daerah patut didalami unsur kesengajaannya. Jika terus dibiarkan, maka dikhawatirkan Indonesia akan semakin lamban keluar dari pandemi.

 

"Kehadiran Jokowi menimbulkan kerumunan, dan negara ini belum bebas covid. Ini jelas-jelas pelanggaran. Jika terus-terus timbulkan kerumunan, ini ada unsur kesengajaan langgar protokol kesehatan," ujar Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (11/4).

 

Dia lantas membandingkan dengan Habirb Rizieq Shihab yang menimbulkan kerumunan lalu ditangkap, ditahan, dan diadili atas dugaan pelanggaran protokol kesehatan. Seharusnya, perlakuan serupa dikenakan kepada Presiden Joko Widodo jika negeri ini dalam satu tujuan bersama keluar dari pandemi.

 

"Ini bukti ketidakadilan yang nyata. Kalau HRS ditangkap dan diadili karena kerumunan, maka Jokowi juga seharusnya sama diperlakukan seperti HRS. Karena prinsip negara hukum, equality before the law,” jelas Muslim.

 

Jika Jokowi tidak diperlakukan yang sama, maka tindakan Jokowi tebar kerumunan merupakan cerminan negara kekuasaan.

 

"Penguasa semaunya dan seenaknya berbuat apa saja. Hukum, keadilan dan UU tunduk di bawah kaki penguasa. Ini potret kerusakan negara di bawa rezim Jokowi," pungkas Muslim. (rmol)



 


SANCAnews – Aktivis Muslim yang juga mujahid 212, Damai Hari Lubis menilai seharusnya Presiden Jokowi dijadikan tersangka sebab sudah beberapa kali melakukan pelanggaran protokol kesehatan covid 19.

 

Yang terbaru, kehadiran Presiden Jokowi di Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali mengundang kerumunan warga. Seperti terlihat dari sejumlah video yang merekam kedatangan Jokowi ke Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur (Flotim).

 

"Seharusnya Jokowi dijadikan TSK OTT atau Orang yang Tertangkap Tangan oleh sebab bukti hukum, dia telah kali keberapa melakukan pelanggaran Prokes Covid 19.", kata Damai Hari Lubis dalam keterangan tertulis kepada redaksi gelora.co, Minggu (11/4/2021).

 

"Setelah Kunjungan di Maumere dan Pernikahan Aurel Seharusnya Jokowi, walau dirinya Presiden, mesti diperlakukan sama seperti Habib Rizieq Shihab (HRS), namun justru fenomena yang nampak,  Jokowi malah kembali menimbulkan keramaian publik (kerumunan) saat berkunjung ke Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur", tegas Damai.

 

"Terlepas dari pada pembelaan kelak atau adanya pembenarannya, ini lain soal itu penyidik atau JPU yang menilainya sesuai regulasi yang ada di KUHAP. Bahkan proses peradilan secara hukum dan kepatutan dan keadilan yang mestinya menentukan,  yang jelas secara rule of law yang digariskan oleh sumber konsitusi kita semua orang equal dihadapan hukum", tambahnya menjelaskan.

 

Namun Damai mempertanyakan apakah Kapolri dan Menkopolhukàm punya nyali dalam menegakkan hukum kepada pimpinannya (presiden).

 

"Ini hal yang serius dalam pelaksanan amanah konstitusi, selain sebagai tanggung jawab moral bernegara para pihak yang berwenang", imbuhnya. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.