Latest Post




SANCAnews – Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon meminta Badan Intelijen Negara (BIN) dan lembaga lain melakukan evaluasi atas rentetan aksi teror belakangan ini. Dia tak ingin ada oknum yang justru memelihara terorisme agar selalu ada.

 

Politisi Partai Gerindra itu membandingkan dengan aksi-aksi teror di Amerika. Mengutip buku Terror Factory karya Trevor Aaronson, Fadli menyebut ratusan aksi teror muncul karena sengaja dibuat oknum tertentu.

 

"Ada satu buku yang namanya Terror Factory, itu dari 581 kasus terorisme di Amerika yang bikin adalah FBI," kata Fadli usai menghadiri acara di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Kamis (8/4/2021).

 

"Jangan sampai ada oknum-oknum yang memelihara agar selalu ada terorisme di Indonesia. Seharusnya kita harus habisi yang namanya terorisme itu, dan jangan ada yang menghidup-hidupkan," imbuhnya.

 

Dia pun mempertanyakan efektivitas dari kinerja BIN, kepolisian dan lembaga yang berkaitan dalam penanganan terorisme. Sebab, kata dia, dengan banyaknya program penanggulangan teror, seharusnya kasus teror semakin kecil.

 

"Termasuk BIN, harus menjadi evaluasi bersama semua lembaga, bagi yang punya anggaran dalam pemberantasan terorisme, agar ada semacam evaluasi, sejauh mana efektivitas dalam program deradikalisasi dan lain-lain," ujar dia.

 

Selain itu, Fadli mengingatkan terkait istilah radikalisme yang sering diucapkan pemerintah. Dia meyakini masyarakat Indonesia tidak ada yang radikal.

 

"Cukup banyak yang salah kaprah dengan istilah radikalisme dan sebagainya, ini kan tidak pernah ada. Kita tak pernah tahu ada bom bunuh diri sebelum tahun 2002 lalu sejak Bom Bali. Dalam sejarah Indonesia dari tahun 1945-2002 tidak ada yang bom bunuh diri," katanya.

 

"Menurut saya orang Indonesia itu sangat moderat kok, saya tidak melihat ada orang yang radikal, pemahaman agama Indonesia sudah bercampur dengan tradisi. Kan Islam tidak pernah menumpas tradisi, ketika Islam masuk Jawa terjadi islamisasi jawa, akulturasi budaya," pungkasnya. (*)





SANCAnews – Ketua Harian Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKNU) H Tjetep Muhammad Yasin, SH MH mengaku heran, usai melihat kemarahan sejumlah warga NU di media sosial terkait flyer info Kajian Ramadhan 1442 H yang digelar di PT Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) Persero dengan sejumlah ustad yang dinilai radikal.

 

“Heran saja! Mengapa warga NU jadi pemarah, merasa paling benar. Yang lain dinilai radikal, mengancam eksistensi NKRI. Ini sudah kelewatan. Menurut hemat saya, banyak nahdliyin yang larut dalam permainan orang. Atas nama NKRI, NU mau dibenturkan dengan kelompok lain,” demikian Gus Yasin, panggilan akrab H Tjetep Muhammad Yasin kepada duta.co, Jumat (9/4/21).

 

Menurut Gus Yasin, banyak warga NU yang keliru memahami motivasi berdirinya organisasi ini. Bahwa ada perlawanan terhadap kelompok lain (Wahabi di Makkah, saat itu red.) yang hendak menggusur sejumlah makam termasuk makam Kenjeng Nabi, lebih dari itu visi dan missi besar NU adalah membumikan nilai-nilai ahlussunnah waljamaah an-nahdliyyah.

 

“Selama ini NU tidak pernah meminta pemerintah menutup pengajian. Baru saat ini NU menjadi pemarah, seakan menjadi penguasa segala-galanya. Lalu, minta yang lain dihabisi, tidak boleh hidup. Bukankah ini soal keilmuan. Dan NU, itu gudangnya orang alim. Hanya NU yang bisa menggelar Munas Alim-Ulama. Jadi, kalau soal Wahabi itu, kecil,” jelas Gus Yasin, alumni PP Tebuireng ini.

 

Tetapi, lanjutnya, menjadi ironis karena yang kecil itu dibesarkan, jadi menakutkan. Apalagi disebut mengancam NKRI, mengganti Pancasila dengan Khilafah. “Hanya orang bodoh yang percaya itu. Saya mau tanya: Apa ada orang pro khilafah duduk di Parlemen, Senayan? Apa ada partai politik yang memperjuangkan khilafah sebagai ganti Pancasila? Tidak ada. Yang ada justru ancaman mengganti Pancasila dengan Tri Sila, Eka Sila. Ini sudah di depan mata. Ironisnya, banyak nahdliyin tidak sadar,” tegasnya.

 

Ditanya bagaimana caranya menghadapi kelompok radikal? Gus Yasin menegaskan, bahwa, keilmuan itu harus dilawan dengan keilmuan. Kajian harus dilawan dengan kajian. Dan, sekali lagi, NU itu gudang ulama. “Kalau kajian mereka keliru, NU harus segera membuat kajian yang sama. Luruskan! Ingat. Kita gudangnya orang alim. Ada Gus Baha, Gus Qoyyum, Gus Najih, Kiai Idrus Romli, KH Luthfi Bashori. Ada juga Kiai Cholil Nafis, Kiai Abdurahman Nafis, Kiai Ma’ruf Khozin. Beliau-beliau ini tak kalah hebat dengan mereka,” tambahnya.

 

Masih menurut Gus Yasin, PPKN juga bisa membuat kajian-kajian terbuka untuk melawan pemahaman yang salah. Jika perlu, mereka yang disebut radikal itu, diajak duduk bersama. Ustad-ustad radikal itu, disuruh bawa seluruh kitabnya, warga NU cukup mengundang santri-santri Ma’had Aly.

 

“Atau pakai model Habib Rizieq Shihab (HRS). Beliau ini kalau tidak cocok dengan kelompok Wahabi, siapkan dalil. Lihat video ‘Habib Rizieq Menjelaskan Siapakah Wahabi Salafi dan Ustadz2nya di Indonesia?’ dan bahaya pemikirannya. Tidak ada Wahabi yang berani membantah. Dia sebut dari Firanda Andirja, Kholid Basalamah sampai Riyadh Bajrey. Inilah cara NU, ahlussunnah wal jamaah. Bukan dengan membubarkan pengajian mereka. Itu memalukan,” urainya.

 

Lebih gila lagi, tambah Gus Yasin, ada penjelasan atas nama direksi, ikut-ikutan menilai radikal. “Anda baca di grup-grup itu. Katanya, semalam dia mendapat info di luar Pelni terkait flyer Kajian Ramadhan, dan sudah saya laporkan kepada Deputy SDM dan IT. “Ini bukan domainnya. Ini justru bentuk radikalisme, mengadu domba dengan kelompok lain. Berbahaya,” terangnya.

 

Seperti terbaca duta.co tersebar kalimat: “Kami (saya dan Dir SDM) baru saja menerima flyer info penceramah dlm kegiatan Ramadhan di Lingk Pelni dr Badan Dakwah Pelni yg dikirim oleh kawan2 diluar Pelni. Sehubungan dgn hal tsb, Perlu kami sampaikan klarifikasi bahwa: 1. Direksi belum memberi ijin terkait dengan penunjukkan pembicara. 2. Direksi sampai saat ini belum mendapat info pembicara yg akan diundang dlm kegiatan Ramadhan. 3. Panitia menyebarkan info terkait pembicara Ramadhan belum ada ijin dari Direksi. Oleh sebab itu, Direksi menyatakan bahwa kegiatan tsb belum ada ijin. Sehubungan dengan hal tersebut, kami memutuskan utk meniadakan kegiatan ceramah dlm kegiatan Ramadhan. Mohon maaf atas kejadian ini. Terima kasih ~ Laila Nur ~

 

“Memalukan, bukan? Mestinya kalau itu urusan agama, biarlah diurus ahlinya, alim-ulama. Negara tidak perlu sibuk dengan radikalisme atas nama agama. Kecuali kalau ini ‘proyek’,” pungkasnya. []




SANCAnews – Setelah badai KLB menghantam Partai Demokrat, kini badai KLB melanda Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lho. Bedanya desakan KLB PKB ini muncul dari kalangan internal, nggak ada unsur eksternal.

 

Nah sejumlah pengurus DPC PKB dikabarkan resah ada banyak pelanggaran AD ART gitu. Isu KLB PKB ini muncul selepas ada konflik personal antara salah satu pengurus DPC dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Gus Ami.

 

Isu KLB PKB ini muncul dari mantan Ketua DPC PKB Karawang, Ahmad Zamakhsyari alias Jimmy.

 

Dikutip dari Tempo, Kang Jimmy menegaskan ia dan sejumlah kader PKB lain tetap menginginkan kongres luar biasa (KLB) digelar. Alasannya dia menemukan ada banyak pelanggaran anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai.

 

Malahan Kang Jimmy mengatakan, bukan cuma pelanggaran AD ART saja yang terjadi, amanat Muktamar Bali pun dilanggar pula.

 

Kang Jimmy yang merupakan mangan Wakil Bupati Karawang ini menunjukkan salah satu pelanggaran amanat Muktamar Bali, yaitu penunjukan DPC. Sesuai amanat Muktamar, DPC ditunjuk oleh DPP, tapi Kang Jimmy mengatakan penjaringan namanya tetap dilakukan oleh DPW.

 

Nah kata dia, praktik di lapangan DPP asal tunjuk sesuai keinginan mereka. Pelanggarannya lainnya, Kang Jimmy menyoroti mekanisme musyawarah wilayah dan musyawarah cabang kerap tidak dijalankan. Carut marutnya yaitu ada Dewan Syuro yang tidak dilibatkan dan diikutsertakan dalam penandatanganan kebijakan penting partai, seperti SK dan yang lainnya.

 

Pelanggaran lainnya yakni soal kepengurusan ganda dan rangkap jabatan Pengurus DPP yang merangkap jadi ketua DPW, “Mereka Ketua DPC mereka pengurus DPW. Sementara orang lain ini disingkirkan,” kata Kang Jimmy dikutip Tempo, Jumat 9 April 2021.

 

Ternyata kader DPC melawan 

Ternyata eh ternyata, internal PKB bergejolak dengan banyaknya pelanggaran aturan partai itu. Kang Jimmy mengungkapkan, selama ini kader-kader di tingkat DPC telah berusaha melawan pelanggaran tersebut.

 

Makanya wajar, perlawanan ini memunculkan dorongan KLB segara dilakukan agar Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin lebih memahami masalah tersebut.

 

“Temen-temen DPC PKB yang dirugikan nunggu momentum dan komando para Masayikh dan Ulama sepuh aja,” kata Jimmy.

 

Konflik dengan Cak Imin selesai 

Kang Jimmy menuturkan KLB ini nggak ada kaitannya dengan konflik dia dengan Cak Imin beberapa waktu lalu. Sebab, perseteruannya dengan Cak Imin sudah bisa diselesaikan.

 

Adapun konfliknya dengan Cak Imin yakni soal pernyataan Cak Imin dalam sebuah acara DPW PKB. Namun sudah selesai masalah itu.

 

“Itu sudah selesai. Kita sudah saling memaafkan, tidak ada dendam, tidak ada apapun. Benar sudah selesai,” ujar Kang Jimmy kepada Tempo.

 

Dia menegaskan dorongan KLB ini berkaitan dengan adanya sejumlah pelanggaran AD ART atau konstitusi partai yang dilakukan oleh elite partai. Atas gejolak ini, Kang Jimmy meminta Cak Imin agar tahu persoalan. (*)


 


SANCAnews – Pakar hukum Refly Harun mengkritisi Polri dalam kasus unlawful killing terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI). Refly heran dengan tumpukan kejanggalan dalam kasus tersebut.

 

Keheranan Refly bukan tanpa dasar. Salah satunya, Polri hingga saat ini enggan mengungkap identas para pelaku kasus unlawful killing. Bahkan, sekadar inisial tersangkanya saja tak diberitahukan pada publik.

 

Kejanggalan terbaru adalah langkah Polri yang tak menahan tersangka yang masih hidup. Padahal dalam kasus protokol kesehatan saja, Habib Rizieq Shihab langsung ditahan. Kejanggalan ini lalu menimbulkan perdebatan publik apakah kasus protokol kesehatan lebih berbahaya daripada pembunuhan.

 

"Menurut saya, banyak kejanggalan kalau kita menyimak kasus tersebut," kata Refly pada Republika, Kamis (8/4).

 

Refly kemudian menyebut sikap tertutup Polri dalam kasus ini patut dipertanyakan. Ia menganggap publik pantas meragukan keabsahan anggota kepolisian yang dijadikan tersangka.

 

"Kita tidak tahu, apakah yang dijadikan tersangka pelaku di lapangan atau tidak," ujar Refly.

 

Selain itu, Refly menangkap kesan bahwa aksi unlawful killing seolah terjadi atas inisiatif anggota kepolisian di lapangan. Padahal menurutnya, aksi semacam itu diragukan dapat terjadi tanpa restu atasan.

 

"Juga mau dikesankan bahwa ini soal lapangan saja, tidak ada perintah dari siapa-siapa dalam penembakan tersebut," ucap Refly.

 

Diketahui, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan tiga anggota Polda Metro Jaya sebagai tersangka dengan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atas tewasnya empat laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek. Sebelumnya, tiga orang tersebut berstatus sebagai terlapor, dan satu diantaranya telah meninggal dunia akibat kecelakaan.

 

Untuk salah satu tersangka berinisial EPZ yang telah meninggal dunia terlebih dulu maka penyidikannya diberhentikan. Keputusan pemberhentian ini berdasarkan pasal 109 KUHAP.

 

"Pada hari Kamis kemarin, penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa KM 50 dan kesimpulan dari gelar perkara yang dilakukan maka status dari terlapor tiga tersebut dinaikkan menjadi tersangka," ungkap Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Rusdi Hartono saat ditemui di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (6/4).

 

Kendati demikian, Rusdi menyatakan, dua tersangka tersisa belum dilakukan penahanan meski sudah ditetapkan sebagai tersangka. Terkait alasan tidak dilakukan penahanan terhadap dua tersangka kasus pelanggaran HAM tersebut, kata Rusdi, penyidik memiliki pertimbangan sendiri.

 

"Dengan mempertimbangkan, penyidik punya pertimbangan subjektif dan objektif, nanti penyidik akan mempertimbangkan itu," terang Rusdi. (*)




SANCAnews – Mahkamah Agung (MA) membebaskan advokat Lucas karena dinilai tidak terbukti menghalang-halangi penyidikan KPK. MA beralasan kesaksian itu hanya didasarkan pada keterangan penyidik KPK Novel Baswedan.

 

Advokat Lucas didakwa menghalangi-halangi KPK menangkap Eddy Sindoro dengan menyarankan Eddy agar kabur ke luar negeri. Namun hal itu dinilai MA tidak terbukti.

 

"Yang memberi kesaksian bahwa Terdakwa lah yang menyarankan agar Eddy Sindoro tidak pulang dulu ke Indonesia adalah saksi Novel Baswedan," kata juru bicara MA hakim agung Andi Samsan Nganro kepada wartawan, Jumat (9/4/2021).

 

Andi menyatakan, menurut keterangan Novel Baswedan di persidangan bahwa sekitar bulan Desember 2016, Novel mendapatkan bukti adanya rekaman antara Eddy Sindoro dengan Lucas. Dalam pembicaraan tersebut terdengar Eddy Sindoro tidak mau pulang karena TLucas yang memberikan saran dan masukan agar tidak boleh pulang dulu.

 

"Keterangan Novel Baswedan ini berdiri sendiri dan bertentangan dengan alat bukti lainnya karena keterangan Terdakwa maupun keterangan saksi Eddy Sindoro (semua disumpah di persidangan) menyatakan bahwa mereka tidak pernah berkomunikasi sejak bulan April 2016," ucap Andi mengutip pertimbangan putusan PK tersebut.

 

Di persidangan, Novel tidak mendengar langsung pembicaraan antara Lucas dengan Eddy Sindoro. Tetapi hanya memperoleh informasi adanya rekarnan pembicaraan tersebut dari pihak lain.

 

"Keterangan saksi seperti ini sangat lemah karena tidak didengar langsung sehingga dapat menimbulkan distorsi dan pemahaman yang keliru dalam mendengar dan menyampaikannya kepada orang lain. Dalam praktek kesaksian testimonium de auditu seperti ini tidak dapat diterima sebagai alat bukti karena tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 26 KUHAP dimana keterangan saksi harus dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri," beber Andi.

 

Novel juga meyakini bahwa percakapan dalam rekaman tersebut adalah benar suara Lucas dengan Eddy Sindoro.

 

"Keterangan ini sifatnya subyektif dan keliru karena rekaman pembicaraan tersebut diambil pada tahun 2016 sementara saksi Novel Baswedan mengakui bahwa baru mengenal Terdakwa ketika melakukan penangkapan pada tanggal 1 Oktober 2018 dan Eddy Sindoro ketika menyerahkan diri pada tanggal 12 Oktober 2018," ujar Andi membacakan pertimbangan majelis.

 

"Jadi bagaimana mungkin saksi Novel Baswedan bisa menyakini itu ada suara Terdakwa dan Eddy Sindoro di tahun 2016 padahal saksi Novel Baswedan sendiri baru mengenal Tedakwa dan Eddy Sindoro di tahun 2018?" sambungnya. (dtk)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.