Latest Post


 


SANCAnews – Pemerintah Kota (Pemkot) Pariaman, Sumatera Barat, akan menggunakan nama Wakil Presiden (Wapres) RI saat ini, Ma'ruf Amin, sebagai salah satu nama pantai di daerah itu."Waktu penanaman pohon yang dihadiri oleh Wapres saya meminta izin untuk menggunakan namanya menjadi nama pantai," kata Wali Kota Pariaman, Genius Umar di Pariaman, Selasa (6/4).

 

Ia mengatakan penggunaan nama tersebut merupakan usulan dari masyarakat, Pemkot, dan DPRD Pariaman karena Wapres telah bersedia datang ke daerah itu serta menanam pohon pelindung pantai. Penggunaan nama tersebut juga mengandung nilai historis yang besar karena sejak Indonesia merdeka baru kali ini pemimpin negara datang ke daerah itu atas undangan pemerintah daerah, kata dia.

 

"Mudah-mudahan nanti menjadi kawasan wisata dan mendapat dukungan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif," katanya.

 

Ia menyampaikan lokasi penggunaan nama Wapres yang akan digunakan untuk nama pantai di Pariaman yaitu pantai Desa Taluak, Kecamatan Pariaman Selatan yang merupakan lokasi penanaman ratusan pohon pelindung. "Sebelumnya Pantai Taluak saja karena lokasinya di Desa Taluak," tambahnya.

 

Sebelumnya sebanyak 800 pohon pelindung dari berbagai jenis ditanam di pantai Desa Taluak, Kecamatan Pariaman Selatan, Kota Pariaman, Sumatera Barat saat kunjungan Wapres Ma'ruf Amin ke daerah itu. "Jenisnya macam-macam, ada pinago, ketapang laut dan pale. Ketapang ini dibawa langsung dari Bogor oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)," kata Genius.

 

Ia mengatakan dengan banyaknya jumlah pohon yang ditanam tersebut maka kawasan itu akan rindang dan sejuk sehingga dapat menjadi destinasi wisata baru di Pariaman.Selain itu, lanjutnya pohon yang ditanam tersebut juga dapat mengurangi dampak abrasi serta arus gelombang tsunami ketika menerjang daerah itu.

 

"Hal ini memang pesan dari Kepala BNPB Doni Monardo agar memperbanyak pertahanan vegetasi," katanya. []

 



SANCAnews – Imam Besar Masjid Islamic Center New York, Amerika Serikat, Imam Shamsi Ali meradang dengan pernyataan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj. Ia sampai menyebut pemikiran Ketum PBNU itu gila.

 

Sebelumnya, Said Aqil Siroj berpendapat jika fakultas umum tingkat universitas terlalu sering mengajarkan akidah dan syariah, Akibatnya pelajar bisa terjerumus ke jurang radikalisme. Itulah mengapa, kata dia, untuk mencegah hal tersebut, dia meminta dosen atau pengajar sedikit menguranginya.

 

"Bagi dosen agama yang mengajar agama di bukan fakultas agama, tidak usah banyak-banyak bincang akidah dan syariah. Cukup dua kali pertemuan. Rukun iman dan rukun Islam," ujar Said Aqil, dikutip dari CNN Indonesia, Selasa 6 April 2021.

 

Materi seputar akidah dan syariah, kata Said Aqil, hanya boleh diperdalam di fakultas keislaman. Sebab, jika di luar itu, pelajar dikhawatirkan tak memiliki cukup bekal untuk menyaring mana yang baik dan mana yang sebenarnya kurang baik.

 

"Kecuali (jurusan) ushuluddin, kecuali jurusan fiqih atau tafsir hadis. Itu terserah, itu harus mendalam. Tapi, kalau dosen yang mengajar di fakultas yang umum, teknik, hukum misalnya, enggak usah banyak-banyak tentang akidah dan syariah. Cukup dua kali," ujarnya.

 

Said Aqil kembali mengingatkan, jika materi tersebut diajarkan di fakultas umum—di mana tak semua pelajarnya memiliki bekal keislaman yang cukup, maka radikalisme mungkin saja bisa tumbuh. Hal itu yang kemudian membuatnya khawatir.

 

"Kenapa? Kalau ini diperbanyak, nanti isinya surga-neraka, Islam, kafir, lurus, benar, sesat. Terus-terusan bicara itu, jadinya bakal radikal," ucapnya.

 

Imam Besar Masjid Islamic Center New York, Imam Shamsi Ali menyebut cara berpikir Said Aqil cenderung kontra atau bertentangan dengan logika manusia.

 

Sebab, kata dia, bagaimana mungkin, pelajaran akidah justru membuat orang kehilangan akidah?

 

"Saya menilai cara berpikir ini kontra logika. Mendalami akidah menjadi penyebab radikalisme? Dan karenanya pelajaran akidah perlu dikurangi untuk mencegah radikalisme? Logikah apakah yang dia pakai?" tanya Imam Shamsi Ali.

 

Lebih jauh, dia sekali lagi menegaskan, pernyataan Said Aqil sama sekali tak logis. Bahkan, dia mengaku tak sanggup memahaminya.

 

"Atau harus gila (dulu) untuk memahami pemikiran yang gila?" kata Imam Besar tersebut. (*)



 


SANCAnews Mabes Polri masih menutup rapat dua identitas tersangka kasus dugaan unlawful killing alias pembunuhan di luar hukum terhadap enam laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, Karawang, Jawa Barat. Dalam kasus ini, tiga anggota Polda Metro Jaya Ditetapkan sebagai tersangka.

 

"Nanti akan disampaikan," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (6/4).

 

Dikatakan Rusdi, salah satu tersangka yakni EPZ dinyatakan meninggal dunia, berdasarkan pasal 109 KUHAP, tersangka yang telah dinyatakan meninggal dunia penyidikannya langsung dihentikan.

 

"Jadi kelanjutannya, terdapat dua tersangka anggota yang terlibat dalam peristiwa KM 50. Kita tunggu saja," ujar dia.

 

Selain identitas, Rusdi belum mau membeberkan barang bukti apa saja yang disita dari tangan tersangka. Namun Jenderal bintang satu ini menegaskan, semua barang bukti saat ini telah berada di tangan penyidik Bareskrim 

 

"Sekarang dipegang oleh penyidik, penyidik punya barang bukti plus yang telah diserahkan dari Komnas Ham. Itu menjadi barang bukti sekarang yang digunakan penyidik untuk menuntaskan kasus atau peristiwa KM 50," pungkas Rusdi.

 

Dari hasil gelar perkara, ketiga tersangka ini diduga melanggar Pasal 338 tentang pembunuhan ancaman hukuman 15 tahun penjara Jo pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dengan ancaman penjara 2,8 tahun penjara. (*)



 


SANCAnews Anggota Komisi III DPR Habiburokhman meminta Komnas HAM mendoromg Kepolisian Negara RI untuk memasang kamera pengawas alias CCTV di setiap ruang pemeriksaan para saksi maupun tersangka. Habiburokhman memandang pemasangan CCTV dibutuhkan guna membuktikan ada tidaknya kekerasan dalam pemeriksaan.

 

Pasalnya, kata Habiburokhman penyiksaan dalam penyidikan yang menjadi sorotan Komnas HAM sangat sulit untuk dibuktikan. Hal itu yang kemudian menjadi kendala dalam proses penanganan penyelesaian kasus penyiksaan oleh polisi.

 

Diketahui, Kepolisian Negara RI dalam laporan Komnas HAM lima tahun terakhir memuncaki klasemen pertama pada kategori instansi terbanyak yang diadukan terkait pelanggaran HAM.

 

"Zaman teknologi ini CCTV pak, saya pikir di setiap polres, di ruang pemeriksaannya kita dorong untuk disediakan CCTV. Jadi jangan di jalan-jalan saja kita meleng sedikit kena tilang gitu kan. Tapi di tempat melakukan pemeriksaan BAP ada CCTV sehingga bisa dibuktikan," kata Habiburokhman dalam rapat di Komisi III DPR, Selasa (6/4/2021).

 

Habiburokhman memandan dengan CCTV terssbut maka setiap tindakan yang dilakukan kepolisian terhadap tersangka maupun saksi di dalam tahap pemeriksaan, dapat terpantau. Termasuk jika adanya kekerasan atau penyiksaan yang dilakukan.

 

"Masa ada orang masuk, keluar babak belur tidak bisa dibuktikan ini terjadi pelanggaran HAM. Dan kita tidak mau terjadi seperti ini, mestinya ada CCTV. Saya pikir dengan semangat presisi Polri yang baru beliau akan mudah menerima ide ini," kata Habiburokhman.

 

Kepolisian RI Jadi Instansi Terbanyak Diadukan soal Pelanggaran HAM 

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Kepolisian Negara RI menjadi instansi yang paling banyak mendapat aduan soal pelanggaran HAM. Data itu berdasarkan laporan jumlah aduan selama lima tahun terakhir.

 

Adapun hal tersebut disampaikan Taufan dalam rapat dengan Komisi III DPR.

 

"Kalau kita lihat statistiknya yang paling banyak diadukan Kepolisian Republik Indonesia, yang kedua korporasi, yang ketiga pemerintah daerah. Kemudian tentu saja ada lembaga peradilan, pemerintah pusat dalam hal ini beberapa kementerian-kementerian terkait. Tapi tiga ini selalu menjadi yang tertinggi dalam pengaduan," tutur Taufan, Selasa (6/4/2021).

 

Taufan menjelaskan ada dua jenis aduan pelanggaran HAM terhadap kepolisian.

 

"Kepolisian baik karena ada kasus yang memang menurut aduan itu dilakukan oleh aparat kepolisian, maupun karena ada pihak lain yang diduga atau dituduh oleh pihak pengadu sebagai pelanggaran hak asasi manusia ke pihak kepolisiannya dianggap tidak proper menangani penegakkan hukumnya. Jadi ada dua tipologinya itu," kata Taufan.

 

Kendati begitu, dikatakan Taufan memang tidak seluruhnya aduan pelanggaran HAM terhadap kepolisian itu benar. Setelah dicek san verifikasi kembali ditemukan aduan yang tidak berbasis pada data yang kuat.

 

Namun Taufan tetap menegaskan bahwa berdasarkan statistik laporan, Kepolisian Negara RI menjadi yang paling banyak diadukan.

 

"Tetapi tentu data-data statistik ini menunjukan memang harus ada perhatian yang khusus bagi kepolisian kita. Sehingga kepolisian kita bisa benar-benar menjadi kepercayaan masyarakat di dalam menegakan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan menjaga demokrasi di negeri kita yang kita cintai ini," ujar Taufan.

 

Komnas HAM sebelumnya menyebutkan dalam lima tahun terakhir ada sebanyak 28.305 aduan soal pelanggaran HAM. Namun setelah diseleksi lebih jauh, ada sekitar 9.800 duan yang tidak dilanjutkan karena terkendala permasalahan administratif.

 

"Karena sebagain itu aduannya hanya bersifar tembusan. Jadi tempat pengaduan utamanya justru bukan Komnas HAM, misalnya ORI atau yang lain-lain. Karena itu yang 9.800 ini juga karena alasan administrarif tidak kami lanjutkan," kata Taufan.

 

"Ada 14.363 aduan yang diteruskan yang masuk ke dalam dukungan pemantauan penyelidikan itu 4.536 kasus, kemudian ada 3.400-an kasus yang kami masukan ke dalam dukungan mediasi," pungkasnya. (*)





SANCAnews – "Arah angin" kasus 'unlawful killing' terhadap 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada 7 Desember 2020 lalu, kini berbalik.

 

Semula, 6 anggota Laskar FPI sempat dijadikan tersangka oleh Polri, pada 3 Februari 2021, karena dianggap menyerang duluan. Penetapan itu lantas dicabut selang sehari kemudian.

 

Kini, 3 orang polisi yang menjadi terduga penembak mereka dinaikkan statusnya menjadi tersangka.

 

Namun, satu orang di antara mereka, yakni Ipda Elwira Priyadi Zendrato, yang meninggal dunia pada 4 Januari 2021 karena kecelakaan tunggal, dihentikan penyidikan terhadapnya karena sudah meninggal. Sehingga dengan demikian, yang jadi tersangka adalah dua orang.

 

"Tentang peristiwa KM 50, 3 anggota Polri sebagai terlapor. Hari Kamis kemarin, penyidik telah melaksanakan gelar perkara. Kesimpulannya, status dari terlapor tersebut dinaikkan menjadi tersangka," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono, Selasa (6/4/2021).

 

"Kepada rekan-rekan sekalian kita tunggu saja kasus KM 50 ini secara profesional, transparan, dan akuntabel," Rusdi melanjutkan.

 

Seperti diketahui, Bareskrim Polri telah menaikkan status perkara "unlawful killing" tersebut dari penyelidikan ke penyidikan pada Rabu (10/3/2021).

 

Sejak saat itu, 3 anggota Polda Metro Jaya masih menjadi terlapor kasus pembunuhan dan penganiayaan 6 anggota laskar FPI yang terjadi pada 6-7 Desember 2020 di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek.

 

3 anggota Polda Metro Jaya tersebut telah dibebastugaskan untuk keperluan penyidikan. Ketiganya dikenakan Pasal 338 juchto Pasal 351 KUHP tentang pembunuhan dan penganiayaan.

 

Komnas HAM pada 8 Januari 2021 telah melaporkan hasil penyelidikan, di mana Komnas HAM menyimpulkan bahwa penembakan tersebut merupakan pelanggaran HAM.

 

Menurut Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam penembakan enam laskar merupakan "unlawful killing" sebab dilakukan tanpa upaya menghindari jatuhnya korban oleh aparat kepolisian.

 

Anam meminta Kepolisian menjelaskan secara rinci kepada publik terkait kematian Ipda Elwira.

 

"Kami harap Kepolisian dapat menjelaskan secara rinci agar publik tidak bertanya-tanya," kata Choirul Anam dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (6/4/2021), seperti dikutip dari Antara.

 

Anam mengatakan, Komnas HAM mendapatkan banyak pertanyaan dari masyarakat terkait kematian satu polisi terduga penembak 6 anggota Laskar FPI, apakah normal atau tidak.

 

"Kematian Elwira, berdasarkan penyelidikan Komnas HAM tidak ganggu konstruksi peristiwa. Semua keterangan sudah kami dapatkan karena sudah kami periksa dua kali secara mendalam," ujarnya.

 

Choirul Anam menyebut, Komnas HAM sudah mengingatkan Kepolisian agar bekerja akuntabel, dan itu harus dicerminkan dengan manajemen penegakan hukum bukan pengelolaan isu.

 

Anam mencontohkan pengelolaan isu yang ia maksud, salah satunya terkait Polri mengumumkan enam Laskar FPI sebagai tersangka, padahal sudah meninggal, lalu kemudian penetapan itu dicabut.

 

"Itu contoh manajemen isu, bukan penegakan hukum. Lalu Elwira tiba-tiba diumumkan meninggal. Kalau penegakan hukum, pasti ada orang yang dipanggil sebagai saksi, lalu proses pemeriksaan yang diumumkan," tuturnya. []


 

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.