Minta Ruang Polisi Ada CCTV, DPR: Masak Orang Masuk, Keluar Babak Belur
SANCAnews – Anggota
Komisi III DPR Habiburokhman meminta Komnas HAM mendoromg Kepolisian Negara RI
untuk memasang kamera pengawas alias CCTV di setiap ruang pemeriksaan para
saksi maupun tersangka. Habiburokhman memandang pemasangan CCTV dibutuhkan guna
membuktikan ada tidaknya kekerasan dalam pemeriksaan.
Pasalnya, kata Habiburokhman penyiksaan dalam penyidikan yang
menjadi sorotan Komnas HAM sangat sulit untuk dibuktikan. Hal itu yang kemudian
menjadi kendala dalam proses penanganan penyelesaian kasus penyiksaan oleh
polisi.
Diketahui, Kepolisian Negara RI dalam laporan Komnas HAM lima
tahun terakhir memuncaki klasemen pertama pada kategori instansi terbanyak yang
diadukan terkait pelanggaran HAM.
"Zaman teknologi ini CCTV pak, saya pikir di setiap
polres, di ruang pemeriksaannya kita dorong untuk disediakan CCTV. Jadi jangan
di jalan-jalan saja kita meleng sedikit kena tilang gitu kan. Tapi di tempat
melakukan pemeriksaan BAP ada CCTV sehingga bisa dibuktikan," kata
Habiburokhman dalam rapat di Komisi III DPR, Selasa (6/4/2021).
Habiburokhman memandan dengan CCTV terssbut maka setiap
tindakan yang dilakukan kepolisian terhadap tersangka maupun saksi di dalam
tahap pemeriksaan, dapat terpantau. Termasuk jika adanya kekerasan atau
penyiksaan yang dilakukan.
"Masa ada orang masuk, keluar babak belur tidak bisa
dibuktikan ini terjadi pelanggaran HAM. Dan kita tidak mau terjadi seperti ini,
mestinya ada CCTV. Saya pikir dengan semangat presisi Polri yang baru beliau
akan mudah menerima ide ini," kata Habiburokhman.
Kepolisian RI Jadi Instansi Terbanyak Diadukan soal Pelanggaran HAM
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Kepolisian
Negara RI menjadi instansi yang paling banyak mendapat aduan soal pelanggaran
HAM. Data itu berdasarkan laporan jumlah aduan selama lima tahun terakhir.
Adapun hal tersebut disampaikan Taufan dalam rapat dengan
Komisi III DPR.
"Kalau kita lihat statistiknya yang paling banyak
diadukan Kepolisian Republik Indonesia, yang kedua korporasi, yang ketiga
pemerintah daerah. Kemudian tentu saja ada lembaga peradilan, pemerintah pusat
dalam hal ini beberapa kementerian-kementerian terkait. Tapi tiga ini selalu
menjadi yang tertinggi dalam pengaduan," tutur Taufan, Selasa (6/4/2021).
Taufan menjelaskan ada dua jenis aduan pelanggaran HAM
terhadap kepolisian.
"Kepolisian baik karena ada kasus yang memang menurut
aduan itu dilakukan oleh aparat kepolisian, maupun karena ada pihak lain yang
diduga atau dituduh oleh pihak pengadu sebagai pelanggaran hak asasi manusia ke
pihak kepolisiannya dianggap tidak proper menangani penegakkan hukumnya. Jadi
ada dua tipologinya itu," kata Taufan.
Kendati begitu, dikatakan Taufan memang tidak seluruhnya
aduan pelanggaran HAM terhadap kepolisian itu benar. Setelah dicek san
verifikasi kembali ditemukan aduan yang tidak berbasis pada data yang kuat.
Namun Taufan tetap menegaskan bahwa berdasarkan statistik
laporan, Kepolisian Negara RI menjadi yang paling banyak diadukan.
"Tetapi tentu data-data statistik ini menunjukan memang
harus ada perhatian yang khusus bagi kepolisian kita. Sehingga kepolisian kita
bisa benar-benar menjadi kepercayaan masyarakat di dalam menegakan
prinsip-prinsip hak asasi manusia dan menjaga demokrasi di negeri kita yang
kita cintai ini," ujar Taufan.
Komnas HAM sebelumnya menyebutkan dalam lima tahun terakhir
ada sebanyak 28.305 aduan soal pelanggaran HAM. Namun setelah diseleksi lebih
jauh, ada sekitar 9.800 duan yang tidak dilanjutkan karena terkendala
permasalahan administratif.
"Karena sebagain itu aduannya hanya bersifar tembusan.
Jadi tempat pengaduan utamanya justru bukan Komnas HAM, misalnya ORI atau yang
lain-lain. Karena itu yang 9.800 ini juga karena alasan administrarif tidak
kami lanjutkan," kata Taufan.
"Ada 14.363 aduan yang diteruskan yang masuk ke dalam
dukungan pemantauan penyelidikan itu 4.536 kasus, kemudian ada 3.400-an kasus
yang kami masukan ke dalam dukungan mediasi," pungkasnya. (*)