SANCAnews –
Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan surat penghentian
penyidikan perkara (SP3) terhadap surat keterangan lunas (SKL) Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap obligor Bank Dagang Negara Indonesia
(BDNI).
Dengan
penerbitan SP3 ini, banyak pihak mengkritik atas langkah dari komisi anti
rasuah, lantaran secara otomatis melepas status tersangka yang sempat
disematkan kepada pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan istrinya, Ijtih Nursalim.
Salah satu
kritik itu dilontarkan oleh Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Abdullah Hehamahua yang menilai akan permasalahan muncul SP3 ini, akibat revisi
undang-undang No 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun
2002 tentang KPK.
Lantaran,
aturan yang tertuang dalam Pasal 40 ayat (1), KPK dapat menghentikan penyidikan
dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan
penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Kemudian
Pasal 40 ayat (2) menyatakan, penghentian penyidikan dan penuntutan harus
dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu terhitung sejak
dikeluarkannya SP3. KPK juga wajib mengumumkan kepada publik.
"Ya,
Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang KPK dimana Amandemen Undang-Undang itu
memungkinkan untuk SP3. Sementara kalau Undang-Undang No 3 Tahun 2002 itu kan
tidak membenarkan SP3," kata Abdullah ketika dihubungi merdeka.com, Minggu
(4/4/2021).
Dia pun
mebeberkan terkait alasan kepada KPK seharusnya tidak diberikan kewenangan
untuk menerbitkan SP3, karena perkara korupsi merupakan kejahatan yang luar
biasa sehingga penanganannya butuh kehati-hatian dan waktu.
"Maka
itulah UU No 30 Tahun 2002 itu tidak dibenarkan untuk adanya SP3 sehingga KPK
itu super hati-hati dalam menetapkan orang sebagai tersangka. Pengalaman saya
selama menetapkan orang sebagai tersangka di KPK itu 99 persen pasti dijatuhi
hukuman pengadilan. Artinya bahwa seseorang menetapkan tersangka itu super
hati-hati sehingga tidak lolos di pengadilan," jelasnya.
Terlebih
penangan kasus perkara korupsi membutuhkan waktu yang lama dalam proses
pembuktian. Karena membutuhkan waktu, hingga bertahun-tahun, batas waktu dua
tahun sebagai syarat diperbolehkannya terbitkan SP3 dinilai tidaklah tepat
"Korupsi
itu kan bersifat kejahatan luar biasa transnasional tidak hanya dalam negeri
tapi sampai luar negeri. Yang kedua pembuktian itu lebih sulit, kalau misalnya
pencuri ayam bisa langsung ditangkap ada sidik jarinya, CCTV, tapi kalau
korupsi itu tidak ada itunya," terangnya.
Padahal,
kata Abdullah, tidak adanya keputusan untuk penerbitan SP3 menjadi suatu
pembeda antara penanganan korupsi di KPK dengan instansi lainnya, seperti
Kepolisian dan Kejaksaan. Oleh karena itu, dia menegaskan kalau akar masalah
ini terjadi pada revisi UU KPK.
"Pada
saat diajukan revisi UU KPK sudah berkali-kali saya katakan, bahwa UU itu bukan
melemahkan KPK, tapi mensakaratulmautkan KPK. Karena kalau melemahkan orang
minum herbal bisa sehat lagi, tapi kalau KPK sudah sakaratulmaut itu tinggal
hitung aja, sedikit lagi meninggal," tegasnya.
Merembet ke
Kasus Lain
"Kenapa,
karena kemudian masyarakat akan berfikir apa beda KPK dengan Kejaksaan, apa
beda dengan Kepolisian. Sehingga itu nanti hanya menghabiskan APBN miliaran, ya
udah bubarkan saja. Karena tidak ada bedanya KPK dengan Kejaksaan dan
Kepolisian," sambungnya.
Atas hal
itu, Abdullah berharap agar judicial review yang diajukan oleh para pegiat
antikorupsi untuk membatalkan revisi undang-undang tersebut haruslah dikabulkan
oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kemudian
nanti kalau sudah ini lolos, maka seharusnya MK kalau serius ingin menegakkan
hukum maka harus merima judicial review dari berbagai pegiat antikorupsi yang
meminta supaya UU KPK yang baru dibatalkan dan kembali ke UU KPK lama. Kuncinya
di UU KPK," tuturnya.
Lantas
ketika disinggung adakah kemungkikan atau potensi surat SP3 yang akan
dikeluarkan lagi KPK. Abdullah sangat menyakini hal itu, termasuk kasus-kasus
seperti Harun Masiku yang belum ditemukan titik terangnya, kemingkinan akan
dikeluarkan SP3.
"Memang
begitu ujungnya (terbitnya SP3), karena UU juga yang mengatakan kan setelah dua
tahun tidak ditangani, KPK boleh terbitkan SP3. Itu bisa merambat ke
perkara-perkara lainnya, seperti Harun Masiku," pungkasnya. []