Latest Post

  


SANCAnews – Dalam agenda putusan sela pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Majelis Hakim menolak nota pembelaan alias eksepsi Habib Rizieq Shihab.

Dengan begitu, Mejelis Hakim yang diketuai oleh Suparman Nyompa memerintahkan Pengadilan untuk mengadili perkara kerumunan di Petambutan, Tanah Abang.

 

“Selanjutnya pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan," kata Suparman Nyompa membacakan putusan di PN Jakarta Timur, Selasa (6/4).

 

Menurut majelis hakim, surat dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum (JPU) telah memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat 2 KUHAP. Artinya, dakwaan telah disusun secara cermat, jelas, dan lengkap menguraikan tindak pidana yang dilakukan Rizieq.

 

“Berdasarkan pertimbangan tersebut, keberatan yang dikemukakan terdakwa dan penasihat hukum terdakwa tidak beralasan hukum," tandas Suparman

 

Majelis hakim juga memerintahkan JPU menghadirkan saksi-saksi dan barang bukti dalam persidangan berikutnya. (rmol)


 


SANCAnews – Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menilai sanksi denda Rp 50 juta yang dibayarkan oleh terdakwa kasus kerumunan Petamburan Habib Rizieq Shihab hanya bersifat sanksi administratif pemerintah provinsi DKI Jakarta.

 

"Pembayaran denda administratif yang dikeluarkan Satpol PP DKI Jakarta, bukan sanksi dari lembaga peradilan tetapi pemberian sanksi tersebut bersifat administratif dari pemerintah DKI Jakarta," kata Ketua Majelis Hakim Suparman Nyompa saat membacakan putusan sela dalam sidang di PN Jakarta Timur, Selasa (6/4/2021).

 

Pembayaran denda Rp 50 juta itu pun tidak membuat Rizieq kebal hukum. Menurut Suparman Nyompa, pembayaran denda tersebut tidak tergolong sanksi hukum.

 

"Karena itu pemberian sanksi administratif terhadap terdakwa tersebut tidak bisa dipandang sebagai putusan hakim," kata Suparman.

 

Sebelumnya, Habib Rizieq Shihab yang terjerat kasus pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 mengatakan dirinya sudah membayar denda Rp 50 juta.

 

Oleh karena itu, menurut dia, proses hukum terhadap dirinya tidak dapat lagi dilakukan, atau sesuai dengan asas nebis in idem seperti yang tertulis dalam Pasal 76 KUHP, tulis kuasa hukum Habib Rizieq dalam nota keberatan (eksepsi) yang dibacakan Jumat (26/3/2021).

 

Berdasarkan eksepsi tersebut, diberitakan bahwa Habib Rizieq dan FPI membayar sanksi denda administratif pada hari Minggu (15/11/2020), atau sehari usai terjadinya kerumunan di kediaman Rizieq di Petamburan, Jakarta Pusat.

 

Kerumunan tersebut berkaitan dengan acara pernikahan putri keempat Rizieq yang dibarengi dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

 

Sekitar 10.000 orang hadir dalam acara tersebut. Kerumunan itu terjadi saat pemerintah sedang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan penularan Covid-19.

 

Adapun dalam persidangan hari ini, majelis hakim menolak eksepsi atau nota keberatan terdakwa Habib Rizieq Shihab untuk kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat dan Memamendung, Puncak, Kabupaten Bogor.

 

Dengan demikian, hakim menyatakan bahwa persidangan kasus kerumunan itu dilanjutkan. Majelis hakim memerintahkan jaksa penuntut umum (JPU) untuk menghadirkan saksi-saksi dan barang bukti ke persidangan yang dibuka untuk umum. []





SANCAnews – Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo melarang media massa untuk menyiarkan ulah polisi yang berbuat arogan. Larangan itu merujuk pada Surat Telegram nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021.

 

Menanggapi hal tersebut, Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, kurang setuju karena seharusnya Kapolri Listyo Sigit tidak perlu melarang media massa tersebut. Sebab media sudah punya pedoman Kode Etik Jurnalistik dan UU Nomor 40/1999 tentang Pers.

 

“Itu tak Perlu, karena liputan media sudah diatur dalam kode etik jurnalistik dan undang-undang pers,” ujar Agus kepada wartawan, Selasa (6/4).

 

Menurut Agus, polisi bisa merujuk kepada dua aturan tersebut. Sehingga tidak perlu untuk membuat aturan baru lewat Surat Telegram Kapolri.

 

“Semestinya polisi merujuk pada keduanya sudah cukup,” ungkapnya.

 

Diketahui, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengarahkan pemberitaan media tentang kinerja Polri agar menampilkan tindakan-tindakan aparat yang tegas namun humanis. Kapolri melarang media menampilkan aksi polisi yang menampilkan kekerasan.

 

Arahan tersebut tertuang dalam surat telegram Kapolri tertanggal 5 april 2020. Surat ditujukan kepada para Kapolda dan Bidang Kehumasan Polri di tiap wilayah.

 

“Diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis,” tulis Listyo dalam telegram tersebut dan dikutip pada Selasa (6/4).

 

Telegram dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 ini ditandatangani oleh Kadiv Humas Pol, Inspektur Jenderal Argo Yuwono atas nama Kapolri. Telegram bersifat sebagai petunjuk arah (jukrah) untuk dilaksanakan jajaran kepolisian.

 

Kapolri meminta agar media tidak menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Selain itu, Kapolri juga meminta agar rekaman proses interogasi kepolisian dalam penyidikan terhadap tersangka tidak disediakan. []



 


SANCAnews – Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar menyebut penerbitan surat telegram Kapolri mengenai larangan media siarkan arogansi dan kekerasan polisi berpotensi membahayakan kebebasan pers.

 

"ST (surat telegram) tersebut berbahaya bagi kebebasan pers karena publik diminta percaya pada narasi tunggal negara. Sementara polisi minim evaluasi dan audit atas tindak-tanduknya, baik untuk kegiatan luring maupun daring," ujar Rivanlee melalui pesan singkat, Selasa (6/4/2021).

 

Rivanlee mengatakan saat ini tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Polri tengah menurun.

 

Namun, langkah yang dilakukan Polri seharusnya tidak dengan menutup akses terhadap media.

 

Seharusnya, kata dia, pembenahan institusi secara struktural harus dilakukan sampai dengan ke tingkat lapangan.

 

Sebaliknya, penerbitan surat telegram tersebut justru akan membuat publik semakin tidak puas.

 

"Terlebih lagi, banyak catatan dari penanganan aksi massa yang brutal. Publik mengharapkan polisi yang humanis, bukan yang suka kekerasan dengan dalih ketegasan," tegas Rivanlee.

 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat telegram yang mengatur soal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.

 

Telegram dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 itu diteken Listyo Sigit pada 5 April 2021, ditujukan kepada pengemban fungsi humas Polri di seluruh kewilayahan.

 

Ada 11 poin yang diatur dalam telegram itu, salah satunya media dilarang menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan.

 

Karena itu, media diimbau menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas, tapi humanis.

 

Peraturan itu dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Perkap Nomor 6 Tahun 2017 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi pada Tingkat Mabes Polri, dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012.

 

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Rusdi Hartono mengatakan, telegram itu dikeluarkan agar kinerja polisi semakin baik.

 

"Pertimbangannya agar kinerja Polri di kewilayahan semakin baik," kata Rusdi, Selasa (6/4/2021).

 

Dia menyatakan, pada dasarnya telegram itu ditujukan kepada seluruh kepala bidang humas.

 

"Telegram itu di tujukan kepada kabid humas. Itu petunjuk dan arahan dari Mabes ke wilayah, hanya untuk internal," ujar dia.

 

Berikut isi lengkap surat telegram Kapolri: 

1. Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.

 

2. Tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.

 

3. Tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.

 

4. Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan.

 

5. Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual.

 

6. Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.

 

7. Menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur.

 

8. Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku.

 

9. Tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.

 

10. Dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten.

 

11. Tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak. []


 



SANCAnews – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat telegram berupa pedoman siaran jurnalistik. Salah satunya, melarang media menyiarkan tindakan polisi yang menampilkan arogansi dan kekerasan.

 

Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/750/Aiv/HUM.3.4.5/2021 tersebut bertanggal 5 April 2021 menjadi dasar pengingat para pengemban fungsi Humas Polri di kewilayahan. Isi surat itu mengatur perihal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan dan/atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.

 

Ada 11 hal yang diinstruksikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada jajaran Humas Polri. "Pertimbangannya agar kinerja Polri di kewilayahan semakin baik," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono ketika dihubungi wartawan, Selasa (6/3/2021).

 

Berikut isi lengkap instruksi Kapolri:

1. Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.

 

2. Tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.

 

3. Tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.

 

4. Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan.

 

5. Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual.

 

6. Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.

 

7. Menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur.

 

8. Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku.

 

9. Tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.

 

10. Dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten.

 

11. Tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak.

 

"Surat Telegram ini bersifat penunjuk dan arahan untuk dilaksanakan dan dipedomani," begitu petikan surat tersebut. Berkas itu ditandatangani oleh Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono atas nama Kapolri. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.