SANCAnews – Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar menyebut penerbitan surat
telegram Kapolri mengenai larangan media siarkan arogansi dan kekerasan polisi
berpotensi membahayakan kebebasan pers.
"ST (surat telegram) tersebut berbahaya bagi kebebasan
pers karena publik diminta percaya pada narasi tunggal negara. Sementara polisi
minim evaluasi dan audit atas tindak-tanduknya, baik untuk kegiatan luring
maupun daring," ujar Rivanlee melalui pesan singkat, Selasa (6/4/2021).
Rivanlee mengatakan saat ini tingkat kepuasan publik terhadap
kinerja Polri tengah menurun.
Namun, langkah yang dilakukan Polri seharusnya tidak dengan
menutup akses terhadap media.
Seharusnya, kata dia, pembenahan institusi secara struktural
harus dilakukan sampai dengan ke tingkat lapangan.
Sebaliknya, penerbitan surat telegram tersebut justru akan
membuat publik semakin tidak puas.
"Terlebih lagi, banyak catatan dari penanganan aksi
massa yang brutal. Publik mengharapkan polisi yang humanis, bukan yang suka
kekerasan dengan dalih ketegasan," tegas Rivanlee.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat
telegram yang mengatur soal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang
dilakukan polisi/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.
Telegram dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 itu diteken
Listyo Sigit pada 5 April 2021, ditujukan kepada pengemban fungsi humas Polri
di seluruh kewilayahan.
Ada 11 poin yang diatur dalam telegram itu, salah satunya
media dilarang menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan
kekerasan.
Karena itu, media diimbau menayangkan kegiatan kepolisian
yang tegas, tapi humanis.
Peraturan itu dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Perkap Nomor 6 Tahun 2017 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi pada Tingkat Mabes Polri,
dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Rusdi Hartono
mengatakan, telegram itu dikeluarkan agar kinerja polisi semakin baik.
"Pertimbangannya agar kinerja Polri di kewilayahan
semakin baik," kata Rusdi, Selasa (6/4/2021).
Dia menyatakan, pada dasarnya telegram itu ditujukan kepada
seluruh kepala bidang humas.
"Telegram itu di tujukan kepada kabid humas. Itu
petunjuk dan arahan dari Mabes ke wilayah, hanya untuk internal," ujar
dia.
Berikut isi lengkap surat telegram Kapolri:
1. Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang
menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan
kepolisian yang tegas namun humanis.
2. Tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan
penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.
3. Tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang
dilakukan oleh kepolisian.
4. Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan
meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta
pengadilan.
5. Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau
kejahatan seksual.
6. Menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan
seksual dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan
keluarganya.
7. Menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan
keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah
umur.
8. Tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan
dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyampaikan identitas pelaku.
9. Tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara
detail dan berulang-ulang.
10. Dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak
membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh
personel Polri yang berkompeten.
11. Tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci
tentang cara membuat dan mengaktifkan bahan peledak. []