Latest Post

 


SANCAnews – Kasus hilangnya barang bukti 11 kg sabu di Surabaya, Jawa Timur perlu diusut Mabes Polri setelah persidangan kurir sabu Agus Hariyanto digelar di Pengadilan Negeri Surabaya.

 

"Kapolri perlu memerintahkan Kabareskrim untuk membentuk tim khusus dalam mengusutnya, agar diketahui secara persis barang bukti itu hilang di lingkungan kepolisian, kejaksaan atau dimana," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) melalui keterangan tertulisnya, Selasa (6/4/2021).

 

Kata Neta IPW melihat, kasus hilangnya barang bukti sabu sebanyak 11 kg itu menunjukkan adanya mafia pengutil barang bukti di lingkungan aparatur penegak hukum yang membuat barang bukti tidak aman, terutama jenis narkoba.

 

"Tikus tikus pengutilnya tidak boleh dibiarkan," sebutnya.

 

Hilangnya barang bukti sabu 11 kg itu terungkap dalam sidang terhadap Agus Hariyanto, kurir narkoba asal Medan.

 

Menurut Neta, terkuaknya bahwa barang bukti sabu seberat 11 kg raib dalam persidangan ini mengejutkan banyak pihak.

 

Seperti yang diketahui surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Suparlan dari Kejari Surabaya, dinyatakan bahwa terdakwa Agus Hariyanto, pada Sabtu (5/9/2020) di Hotel Swiss Bell Medan, Sumatera Utara, bersama Riki Reinnaldo (tewas ditembak aparat) mendapat 35 bungkus sabu dalam kemasan teh asal China masing masing seberat 1 kg dari bandar Saepudin (DPO) untuk dibawa ke Jakarta dan Surabaya.

 

Barang bukti sabu yang dimasukan dalam dua koper tersebut, oleh terdakwa sebanyak 15 bungkus (15 kg) diserahkan kepada pengedar di Jakarta.

 

Namun petugas Satreskoba Polrestabes Surabaya yang telah memetakan keberadaannya, Senin (6/9/2020) terdakwa bersama dua rekannya yakni Nur Cholis (44) dan Riki Reinnnaldo (22) ditangkap di salah satu hotel di kawasan Sukomanunggal, Surabaya.

 

Karena berusaha melawan dan menyerang petugas menggunakan parang saat akan diamankan, kedua rekan terdakwa Nur Cholis (44) dan Riki Reinnaldo (22) diberi tindakan tegas dan tewas setelah dadanya diterjang timah panas.

 

Dari tangan ketiganya
petugas menyita barang bukti sabu seberat 21 kg. Namun ternyata saat disidangkan barang bukti di pengadilan hanya 10 kg dan yg 11 kg lainnya raib entah kemana.

 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Suparlan dari Kejari Surabaya saat dikonfirmasi wartawan di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (5/4/2021) terkait jumlah barang bukti yang dihadirkan dalam sidang, menyatakan sesuai dalam dakwaan. "Barang bukti yang kami terima sesuai dalam dakwaan, sebanyak 10 bungkus yang dimasukan dalam kemasan Teh China," terang Suparlan.

 

Disinggung 11 kg sabu barang bukti yang raib tersebut, Suparlan mengaku mendapat limpahan sesuai dakwaan.

 

"IPW mendesak Kapolri agar memerintahkan Kabareskrim mengusut kasus hilangnya barang bukti sabu ini. Kasus ini tidak boleh dibiarkan," kata Neta.

 

Menurutnya 'tikus-tikus' pengutil barang bukti sabu harus diseret ke pengadilan.

 

"Jika tidak kasus narkoba akan terus berkembang biak di negeri ini karena oknum aparat penegak hukumnya menjadi tikus tikus yg bermain di balik bisnis ilegal narkoba," beber Neta. []



 


SANCAnews – Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani menyinggung tewasnya oknum anggota polisi yang diduga pelaku penembakan terhadap laskar Front Pembela Islam (FPI). Menurut Arsul, Komnas HAM perlu menyelidiki hal ini dan menjelaskannya ke masyarakat.

 

Dia menilai saat ini sebagian masyarakat meragukan keterangan polisi terkait tewasnya pelaku penembakan laskar FPI. Maka itu, Komnas HAM perlu turun tangan menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi.

 

"Ada satu lagi nih pak menurut hemat saya yang perlu diteruskan. Salah satu di antara yang diduga melakukan apa yang sering disebut sebagai unlawful killing itu meninggal dunia, katanya karena kecelakaan ini banyak diragukan juga masyarakat," kata Arsul, saat rapat Komisi III dengan Komnas HAM di Gedung DPR, Selasa 6 April 2021

 

Arsul menyampaikan hal tersebut bukan berarti tak yakin dengan kepolisian. Politikus PPP ini yakin Polri pasti profesional dalam menjalankan tugas dan tidak akan melakukan rekayasa seperti yang dituding sejumlah pihak.

 

Namun, Arsul meminta agar Komnas HAM menyelidiki lagi dan melaporkan hasil penyelidikan hal tersebut. Sebab, jika Komnas HAM melakukan penyelidikan dan didapat hasil yang akurat masyarakat akan lebih percaya.

 

"Tentu saya yakin polisi juga tidak akan apa merekayasa apa-apa. Saya punya keyakinan itu. Tapi, ada baiknya kalau yang menjelaskannya polisi sendiri kan nggak dipercaya," jelas Arsul.

 

Menurut dia, jika yang menjelaskan Komnas HAM setidaknya ada lembaga selain Polri yang memberikan keterangan.

 

"Tapi, begitu yang menjelaskan Komnas HAM ya paling nggak tingkat kepercayaannya jauh lebih baik daripada oleh polisi sendiri. Itu saja harapan saya," ujarnya.

 

Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono mengatakan, satu dari tiga anggota Polda Metro Jaya yang berstatus terlapor kasus unlawful killing atau pembunuhan di luar hukum terhadap empat orang Laskar FPI meninggal dunia. Oknum polisi tersebut dibilang meninggal dunia karena kecelakaan tunggal pada Januari 2021.

 

"Untuk diinformasikan salah satu terlapor atas nama EPZ telah meninggal dunia karena kasus kecelakaan tunggal yang terjadi tanggal 3 Januari 2021," kata Rusdi di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Jumat, 26 Maret 2021. []


 



SANCAnews – Penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri resmi menetapkan tiga orang anggota Polda Metro Jaya sebagai tersangka kasus dugaan unlawful killing alias pembunuhan di luar hukum terhadap enam laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, Karawang, Jawa Barat.

 

"Penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa KM 50. Dan kesimpulan dari gelar perkara yang dilakukan maka status dari terlapor tiga (anggota Polda Metro Jaya) tersebut dinaikkan menjadi tersangka," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (6/4).

 

Namun, kata Rusdi, salah satu tersangka yakni EPZ dinyatakan meninggal dunia, berdasarkan pasal 109 KUHAP, tersangka yang telah dinyatakan meninggal dunia penyidikannya langsung dihentikan.

 

"Jadi kelanjutannya, terdapat dua tersangka anggota yang terlibat dalam peristiwa KM 50. Kita tunggu saja, tugas yang dilaksanakan penyidik untuk dapat menuntaskan kasus KM 50 ini secara profesional, transparan dan akuntabel," pungkas Rusdi. 

 

Ketiga tersangka ini diduga melanggar Pasal 338 Jo pasal 351 KUHP tentang pembunuhan. []


 


SANCAnews – Beredar video pengakuan terduga teroris yang mengklaim sebagai simpatisan Front Pembela Islam (FPI).

 

Menanggapi hal itu Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar FPI, Abdullah Hehamahua, menilai bahwa hal itu bukan urusan murni hukum melainkan ada unsur politik untuk menghancurkan Habib Rizieq Shihab.

 

"Ini adalah skenario untuk bagaimana pokoknya untuk menghancurkan HRS sampai 2024, sampai kemudian bisa lolos 2024 nah baru dilepaskan. Jadi disitu ada politik unsur politik disitu," kata Abdullah saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/4/2021).

 

Menurutnya, narasi untuk memojokkan Rizieq tersebut bermula ketika Basuki Tjahja Purnama kalah di Pilkada 2017. Menurutnya, ada dendam ke Rizieq pasca momen tersebut.

 

"Kenapa kalah? Karena HRS dengan 212 turun ke lapangan ke mesjid musala. Itu lah dendam awal. Sehingga apapun harus dihabiskan," tuturnya.

 

Selain itu ia juga menyoroti adanya atribut FPI yang dijadikan barang bukti dalam penangkapan terduga teroris di Condet, Jakarta Timur dan Bekasi, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Ia menduga hal itu sengaja disusupkan.

 

"Jadi kalau misalnya ada bendera atau apa itu apa susahnya? Untuk disusupkan dan seterusnya," ungkapnya.

 

Lebih lanjut, mantan Penasehat KPK itu juga menyoroti adanya dugaan diskriminatif terhadap proses hukum kasus kerumunan. Ia mengatakan, banyak kasus kerumunan lain terjadi namun hanya Rizieq yang diproses secara hukum.

 

"Karena itu kami katakan bahwa kasus ini bukan kasus pure hukum tapi kasus hukum bercampur dengan politik," tandasnya. []



 


SANCAnews – Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) terhadap surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap obligor Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

 

Dengan penerbitan SP3 ini, banyak pihak mengkritik atas langkah dari komisi anti rasuah, lantaran secara otomatis melepas status tersangka yang sempat disematkan kepada pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan istrinya, Ijtih Nursalim.

 

Salah satu kritik itu dilontarkan oleh Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua yang menilai akan permasalahan muncul SP3 ini, akibat revisi undang-undang No 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

 

Lantaran, aturan yang tertuang dalam Pasal 40 ayat (1), KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.

 

Kemudian Pasal 40 ayat (2) menyatakan, penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu terhitung sejak dikeluarkannya SP3. KPK juga wajib mengumumkan kepada publik.

 

"Ya, Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang KPK dimana Amandemen Undang-Undang itu memungkinkan untuk SP3. Sementara kalau Undang-Undang No 3 Tahun 2002 itu kan tidak membenarkan SP3," kata Abdullah ketika dihubungi merdeka.com, Minggu (4/4/2021).

 

Dia pun mebeberkan terkait alasan kepada KPK seharusnya tidak diberikan kewenangan untuk menerbitkan SP3, karena perkara korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa sehingga penanganannya butuh kehati-hatian dan waktu.

 

"Maka itulah UU No 30 Tahun 2002 itu tidak dibenarkan untuk adanya SP3 sehingga KPK itu super hati-hati dalam menetapkan orang sebagai tersangka. Pengalaman saya selama menetapkan orang sebagai tersangka di KPK itu 99 persen pasti dijatuhi hukuman pengadilan. Artinya bahwa seseorang menetapkan tersangka itu super hati-hati sehingga tidak lolos di pengadilan," jelasnya.

 

Terlebih penangan kasus perkara korupsi membutuhkan waktu yang lama dalam proses pembuktian. Karena membutuhkan waktu, hingga bertahun-tahun, batas waktu dua tahun sebagai syarat diperbolehkannya terbitkan SP3 dinilai tidaklah tepat

 

"Korupsi itu kan bersifat kejahatan luar biasa transnasional tidak hanya dalam negeri tapi sampai luar negeri. Yang kedua pembuktian itu lebih sulit, kalau misalnya pencuri ayam bisa langsung ditangkap ada sidik jarinya, CCTV, tapi kalau korupsi itu tidak ada itunya," terangnya.

 

Padahal, kata Abdullah, tidak adanya keputusan untuk penerbitan SP3 menjadi suatu pembeda antara penanganan korupsi di KPK dengan instansi lainnya, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Oleh karena itu, dia menegaskan kalau akar masalah ini terjadi pada revisi UU KPK.

 

"Pada saat diajukan revisi UU KPK sudah berkali-kali saya katakan, bahwa UU itu bukan melemahkan KPK, tapi mensakaratulmautkan KPK. Karena kalau melemahkan orang minum herbal bisa sehat lagi, tapi kalau KPK sudah sakaratulmaut itu tinggal hitung aja, sedikit lagi meninggal," tegasnya.

 

Merembet ke Kasus Lain

 

"Kenapa, karena kemudian masyarakat akan berfikir apa beda KPK dengan Kejaksaan, apa beda dengan Kepolisian. Sehingga itu nanti hanya menghabiskan APBN miliaran, ya udah bubarkan saja. Karena tidak ada bedanya KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian," sambungnya.

 

Atas hal itu, Abdullah berharap agar judicial review yang diajukan oleh para pegiat antikorupsi untuk membatalkan revisi undang-undang tersebut haruslah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

 

"Kemudian nanti kalau sudah ini lolos, maka seharusnya MK kalau serius ingin menegakkan hukum maka harus merima judicial review dari berbagai pegiat antikorupsi yang meminta supaya UU KPK yang baru dibatalkan dan kembali ke UU KPK lama. Kuncinya di UU KPK," tuturnya.

 

Lantas ketika disinggung adakah kemungkikan atau potensi surat SP3 yang akan dikeluarkan lagi KPK. Abdullah sangat menyakini hal itu, termasuk kasus-kasus seperti Harun Masiku yang belum ditemukan titik terangnya, kemingkinan akan dikeluarkan SP3.

 

"Memang begitu ujungnya (terbitnya SP3), karena UU juga yang mengatakan kan setelah dua tahun tidak ditangani, KPK boleh terbitkan SP3. Itu bisa merambat ke perkara-perkara lainnya, seperti Harun Masiku," pungkasnya. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.