SANCAnews – Kondisi pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap
terhambatnya seluruh bidang kehidupan, juga mengubah tatanan hidup.
Meski masyarakat tentunya dituntut untuk lebih menjaga
kedisiplinan, dan menerapkan pola hidup yang lebih baik, supaya mampu
berdampingan dengan virus tersebut. Karena tak ada yang bisa memastikan kapan
pandemi Covid-19 berakhir.
Begitupun pandemi Covid-19 juga telah menghambat
program-program pemerintah, serta rencana yang sebelumnya akan dilakukan.
Seperti halnya mengenai pemindahan ibu kota.
Terkait hal itu, Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen
(BKSAP) DPR RI Fadli Zon mengatakan, seharusnya Pemerintah Indonesia mempunyai
kebijakan prioritas agar bisa keluar dari pandemi Covid-19 dengan cepat dan
sesedikit mungkin korban.
Serta memulihkan ekonomi negara dengan menggenjot ekonomi
rakyat. Fadli juga menilai bahwa untuk saat ini, pemindahan ibu kota negara
belum menjadi hal yang urgen untuk dilakukan pemerintah.
Hal itu diungkapkan Fadli Zon menyusul pertanyaan dari
Anggota BKSAP Didi Irawadi Syamsuddin dalam Focus Group Discussion (FGD) BKSAP
dengan Tema ‘Sustainable Economic Goals and Covid-19 Pandemic’ di Sentul,
Bogor, Jawa Barat, Kamis, 2 April 2021 lalu, terkait rencana pemindahan Ibu
Kota Negara (IKN) baru ke Kalimantan untuk pencapaian Sustainable Development
Goals (SDGs).
“Untuk pemindahan Ibu Kota Negara baru, menurut saya sama
sekali tidak ada urgensinya. Itu bisa dilakukan kalau kita dalam kondisi normal
atau ada kelebihan anggaran,” kata Fadli.
Ia juga mengatakan bahwa saat ini Indonesia tengah kesulitan
anggaran, terlebih kondisi hutan negara yang menumpuk.
“Utang kita menumpuk, melebihi Rp6 ribu triliun. Saya kira,
tidak pada tempatnya melanjutkan rencana pemindahan Ibu Kota Negara baru itu,”
kata Fadli.
Sebelumnya Anggota BKSAP DPR RI Didi Irawadi mempertanyakan
rencana pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara untuk tujuan SDGs ini yang
kembali muncul saat pandemi.
Meskipun sudah lama direncanakan oleh Bappenas, tetapi ia
mempertanyakan manfaat pemindahan IKN bagi bangsa. Apalagi situasi bangsa saat
ini yang harus mengeluarkan banyak biaya untuk penanganan pandemi.
Ia mengatakan bahwa sebagaimana diketahui pemindahan Ibu Kota
Negara memerlukan biaya yang sangat besar. Sebagaimana dikutip dari laman DPR
RI.
“Sepengetahuan saya, rencana awal paling tidak (anggarannya)
lebih dari Rp400 triliun. Bahkan di dalam perjalanan ke depan bisa ribuan
triliun diperlukan. Nah pertanyaan saya, apakah dalam situasi dunia yang sudah
modern sekarang,” kata Didi.
Ia juga mempertanyakan soal konsep, bahwa ibu kota negara
harus berada di center atau di tengah-tengah suatu negara itu masih relevan.
“Jika kita belajar dari Amerika Serikat saja misalnya. Kita
tidak pernah mendengar bahwa ibu kota negara Amerika yang berada di ujung timur
Washington DC itu dipindahkan demi kesejahteraan,” kata Didi.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam sejarah Amerika, hampir 250
tahun tidak pernah dipindahkan ke tengah, misalnya ke Kansas City. Namun jika
dilihat, menurutnya Amerika sampai hari ini tetap sejahtera.
“Begitu juga masyarakat di negara-negara bagian lainnya, di
selatan ada Texas, di tenggara Amerika ada Florida, semua sejahtera,” tutur
Didi.
Politisi Partai Demokrat itu menambahkan, hal yang sama juga
terjadi di Inggris. Letak ibu kotanya, London, berada di selatan wilayah
Inggris. Namun mereka tidak melakukan pemindahan ibu kota kalau dipindahkan,
wilayah yang paling mungkin adalah di Manchester.
Bahkan menurut analisanya, beberapa negara lain juga gagal
memindahkan ibu kota. Misalnya Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahannya
ke Putrajaya, ternyata tidak sederhana. Padahal letak Putrajaya sangat dekat
dari Kuala Lumpur, hanya beberapa puluh kilometer.
“Memindahkan manusia yang jumlahnya banyak, memindahkan akar
budaya, dan sebagainya. Kita memindahkan anak sekolah saja tidak sesederhana
itu,” kata Didi.
Ia juga menyarankan bahwa banyak aspek lain yang harus
dipertimbangkan demi SDGS. Misalnya pembangunan pelabuhan-pelabuhan,
bandara-bandara yang bagus.
“Misalnya di ujung timur diambil dua kota besar, Papua dan
Maluku. Di tengah-tengah, bisa Makassar ataupun Manado dan di tempat lainnya,”
kata Didi.
Karena dari segi biaya, ia menuturkan bahwa pemindahan ibu
kota ini memakan biaya yang sangat banyak, biaya yang sangat besar, tidak ada
jaminan lebih sejahtera.
“Berarti itu kan ada alokasi yang sangat besar ke luar Pulau
Jawa, ke Kalimantan Timur. Kalau itu berhasil, kalau tidak berhasil
(bagaimana?),” kata Didi.
Maka masyarakat di luar Pulau Jawa tidak sejahtera, dan
masyarakat di Pulau Jawa juga ikut terganggu. Ia menyatakan bahwa konsep ini
harus dipikirkan lagi oleh Bappenas.
“Saya pikir karena situasi pandemi kemarin, pemikiran itu
tidak jadi didorong,” katanya.***