Latest Post

 


SANCAnews – Seorang Komandan Kompi Brimob di Maluku berinisial Iptu LT meninggal dunia karena COVID-19, Minggu (4/4). Dia sempat mengikuti vaksinasi AstraZeneca dosis pertama pada Selasa (30/3).

 

“Memang yang bersangkutan vaksin tanggal 30 Maret kemarin. Tadi malam subuh tadi meninggal,” kata Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol Oem Ohirat kepada kumparan.

 

“Baru (tahap) 1 AstraZaneca. Divaksin kemarin tanggal 30 itu. Secara massalkan Polda Maluku dilakukan tanggal 30 kemarin,” sambung Oem.

 

Oem menuturkan, dari hasil pemeriksaan, dokter menyimpulkan Iptu LT positif COVID-19. Pihaknya menduga Iptu LT sudah positif COVID-19 sebelum vaksinasi.

 

“Terus setelah dilakukan pemeriksaan ternyata yang bersangkutan COVID-19. Tidak bisa (dikaitkan). Jelas-jelas COVID-19 kok. Bagaimana kita hubungkan dengan vaksin,” ujar Oem.

 

Oem enggan berkomentar banyak karena bukan wewenangnya. Ia menyerahkan petugas kesehatan.

 

“Setelah divaksin ini kan belum tentu ada imunnya jalan. Jelasnya saya tidak bisa jelaskan menyangkut itu,” tandasnya.

 

Vaksin AstraZeneca harus disuntikkan 2 kali ke penerimanya. Apabila baru menerima suntikan pertama imun belum tercipta karena harus ada booster yang disuntikkan.

 

Penyuntikan kedua AstraZeneca dilakukan 8 pekan setelah suntikan pertama. Oleh sebab itu, masyarakat tetap diimbau menaati protokol kesehatan dalam proses tersebut. []





SANCAnews – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur seharusnya sejak awal persidangan menghadirkan terdakwa Habib Rizieq Shihab secara langsung, bukan secara virtual.

 

"Menurut saya, lakukanlah secara fair. Karena kalau enggak, jadi dagelan di seluruh dunia. Kok bisa ada pengadilan terdakwanya kagak ada. Terus pembelanya kagak ada, lawyer-nya kagak ada, penontonnya kagak ada," kata ekonom senior Rizal Ramli saat berbincang dengan Neno Warisman dalam video yang disebarluaskan Minggu (4/4).

 

Menurut RR, sapaan Rizal Ramli, keputusan pengadilan yang menghadirkan Habib Rizieq secara virtual, sama sama menuruti kemauan penguasa.

 

"Hakimnya, betul-betul tunduk sama kekuasaan. (Habib Rizieq) Enggak boleh hadir, hanya boleh online, pengacara dan penonton juga enggak boleh masuk. Jadi kelihatan sekali kaya dagelan gitu. Istilah bahasa saya, how low can you go, segitu rendahnya kah pengadilan Indonesia? Sehingga tunduk dengan maunya yang kuasa," tutur RR.

 

Selain itu, ia juga melihat peradilan yang dilakukan terhadap Habib Rizieq sarat muatan politis. Ia berkaca pada peristiwa yang dialami saat masih menjadi aktivis mahasiswa tahun 1978 lalu. Saat itu, ia merasa diadili di pengadilan politik yang pasti akan dihukum karena kepentingan penguasa saat itu.

 

Keputusan pengadilan yang ngotot menghadirkan Habib Rizieq secara daring terbukti telah memancing amarah rakyat. Dengan tidak dihadirkannya Habib Rizieq secara langsung, seakan-akan pengadilan tidak berada di posisi independen dan adil.

 

"Harusnya malu, hakim itu tinggi sekali, berwibawa, sumpahnya sama Tuhan. kalau begitu kaya sirkus yang enggak lucu. Ngapain ngadain sidang pengadilan, hukum saja (habib Rizieq tanpa peradilan) jadi ketahuan. Kita nyaris sama dengan negara otoriter dan negara komunis, bisa menghukum orang seenaknya," pungkas RR. (rmol)



 


SANCAnews – Dalam konteks hukum politik, kebebasan berpendapat di media sosial pada era rezim Presiden Joko Widodo sekarang ini hanya dimiliki oleh buzzer pemerintah, tapi untuk masyarakat dibungkam lewat peraturan perundang-undangan.

 

Begitulah yang diungkapkan pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (3/4).

 

"Jadi buzzer-buzzer punya peran besar dalam menjaga dan melindungi bos-bosnya. Dan juga untuk mengcounter berita-berita dari lawan politiknya," ujar Ujang Komarudin.

 

Pada faktanya, Direkrur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini melihat perlakuan tidak adil aparat pemerintah dalam hal penegakan hukum.

 

Sebagai contoh, Ujang Komarudin menyinggung soal kasus hukum Syahganda Nainggolan yang baru saja dituntut 6 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di sidang PN Depok, Kamis (1/4), karena dinilai menyebarkan kabar bohong atau hoax yang menyebabkan keonaran terkait aksi unjuk rasa menolak RUU omnibus law Cipta Kerja.

 

"Itulah faktanya. Pihak yang mengkritik bisa dikerjai dan dikriminalisasi. Di saat yang sama, mereka-mereka yang kritis di medos diberangus dengan UU," ucapnya.

 

Maka dari itu, Ujang memandang wajah hukum Indonesia sekarang ini masih jauh dari rasa keadilan. Karena, hukum masih bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang punya kekuasaan dan jabatan, dan memihak pada mereka yang ada di lingkaran istana.

 

"Mereka yang beroposisi dikerjai, sedang mereka yang dilingkaran istana dilindungi. Tapi kita tetap harus optimis, semoga kedepan wajaj hukum kita tak bopeng dan berpihak pada keadilan dan kebenaran," demikian Ujang Komarudin menambahkan. []


 


SANCAnews – SA masih belum percaya suaminya BS ditangkap Densus 88 karena diduga terlibat aktivitas terorisme. Kini dia bingung karena ada tanggungan tunggakan yang harus dibayar setiap bulannya.

 

Hal itu diceritakan SA saat dihubungi detikcom, Sabtu (3/4/2021). SA mengaku harus membayar uang sebesar Rp 1,5 juta untuk cicilan uang suaminya setiap bulan hingga satu tahun ke depan.

 

"Suami pernah pinjam uang ke bank, untuk apa-apanya saya enggak tahu. Berapa besarnya pun saya enggak tahu, hanya saya bayar Rp 1,5 juta per bulan," kata SA kepada detikcom, Sabtu (3/4/2021).

 

SA bahkan berniat mencari kerja agar bisa membayar cicilan tersebut. BS disebut SA adalah satu-satunya tulang punggung keluarga. Terlebih ada bayi berusia 3 bulan yang masih membutuhkan biaya tidak sedikit, belum lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya.

 

"Selama satu tahun saya hanya tahu suami saya bekerja sebagai sopir di rumah makan, selebihnya saya tidak tahu aktivitasnya apa saja. Tapi tanggung jawab ke keluarga ada, rejeki mengalir dari suami," ucapnya.

 

SA mengetahui semua aktivitas suaminya setelah Densus 88 dan dari pihak kepolisian mendatangi rumahnya. "Saya kaget, sampai sekarang masih kepikiran. Apalagi suami dikaitkan dengan aktivitas terorisme, saya enggak tahu apa-apa tiba-tiba polisi datang dan melakukan penggeledahan," katanya.

 

Sebelumnya pada Selasa (30/3) lalu sebuah rumah bercat hijau di RT 14 RW 3, Kampung Limbangan, Desa Cibodas, Kecamatan Bojonggenteng, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat digeledah polisi dan Densus 88. Penggeledahan itu merupakan pengembangan dari penangkapan terduga teroris berinisial BS di Jakarta.

 

Sejumlah barang bukti diamankan kemudian disimpan polisi di atas meja dalam ruang Bhayangkari Polsek Parungkuda. Selain pipa paralon dan pipa besi, terlihat serbuk hitam di dalam toples plastik bening. Seluruh barang bukti itu terlihat di foto oleh petugas identifika. []


 


SANCAnews – Politisi Amien Rais membahas soal kinerja kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini. Dirinya juga membandingkan pemerintahan Jokowi dengan zaman Soeharto.

 

Dalam sebuah video yang diunggah akun Youtube Bang Arief, Amien Rais bersama Arief Munandar membahas soal demokrasi di Indonesia saat ini.

 

Awalnya, Amien Rais berdiskusi mengenai kondisi politik di Indonesia. Dirinya juga membeberkan tujuannya dalam membangun Partai Ummat.

 

Dalam video tersebut, Amien menyinggung tentang masalah demokrasi di Indonesia. Amien menyebut bahwa demokrasi di Indonesia saat ini telah rusak.

 

"Demokrasi kita ini makin rusak," ungkapnya, dikutip Beritahits.id, Sabtu (3/4/2021).

 

Lebih lanjut, dirinya pun kemudian membandingkan masa pemerintahan Jokowi dengan Soeharto.

 

Menurutnya, pada saat pemerintahan Soeharto segala keputusan ada di tangan Soeharto. Akan tetapi, menurut Amien, Soeharto masih memiliki etika dibandingkan presiden saat ini.

 

"Dulu keberatan kita pada orde baru namanya Republik tapi Presiden seperti raja, apapun di tangan Pak Harto. Tapi dulu Pak Harto masih ada etika, tapi kalau sekarang saya tidak tahu apa istilahnya," jelasnya.

 

Amien mengatakan, pada pemerintahan Jokowi saat ini menurutnya ornag-orang yang memberikan kritikan untuk rezim saat ini akan dijerat pasal.

 

"Tutup mata, tutup telinga semua keliru yang benar cuma rezim, semua yang berani mengkritik akan dicari pasalnya," katanya.

 

Menurutnya, hal ini menyedihan. Sebab, menurut Amien, Presiden Jokowi dianggap sudah tidak melaksanakan kinerjanya sebagai presiden.

 

"Ini menyedihkan, menurut saya Pak Lurah ini sudah tidak melaksanakan sebagai presiden," tuturnya.

 

Amien Rais menilai bahwa di belakang Jokowi ada organisasi yang menjadi latar belakang perkembangan ekonomi.

 

Ia mengungkapkan pada zaman Soeharto masih ada perbedaan antara bisnis dan politik.

 

"Di belakang Jokowi seperti ada Economic Military yang besar sekali. Dulu selemah-lemahnya Pak Harto, masih ada perbedaan antara bisnis jangan masuk politik. Kalau sekarang politik sudah di ketiak ekonomi," jelasnya. (glc
)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.