Latest Post


 


SANCAnews  Lukman (26), pelaku bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar menulis surat wasiat untuk keluarganya. Hal serupa juga dilakukan oleh Zakiah Aini (26), pelaku penyerangan di Mabes Polri.

 

Menurut kacamata ilmu grafologi, ada benang merah antara surat wasiat yang ditulis oleh keduanya.

 

Grafologi adalah ilmu untuk mempelajari kondisi psikologis seseorang lewat goresan tulisan tangannya. detikcom meminta grafolog Deborah Dewi untuk menganalisis tulisan tangan Lukman dan Zakia Aini pada surat wasiat mereka. Deborah adalah ahli grafologi yang telah memenuhi Standard Competence EC-0293 sebagai Graphologist Expert dan tervalidasi oleh Apostille The Hague Convention.

 

"Dari 2 kejadian berentet yang sedang melanda negara kita saat ini, keduanya meninggalkan jejak yang sama yaitu surat wasiat yang ditulis secara manual. Meskipun gaya tulisan dan pola tulisan tangan keduanya berbeda tapi keduanya memiliki beberapa indikator yang secara grafis berbeda namun intepretasinya sama," kata Deborah Dewi kepada detikcom, Kamis (1/4/2021).

 

Menariknya, menurut hasil analisa Deborah, jika semua indikator grafis tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dianalisis secara komprehensif maka akan terdapat perbedaan signifikan dari segi karakter pelaku maupun pemicu internal yang mendorong bersangkutan rela melakukan aksinya.

 

"Beberapa pola indikator grafis yang berbeda namun mengacu pada satu benang merah intepretasi umum yang menjadi pemicu internal di antara karakter keduanya yaitu rasa cemas, tidak mampu, dan kurang percaya diri yang membuat mereka merasa tidak aman (insecurity)," ungkapnya.

 

Deborah menjelaskan bahwa secara verbal keduanya memberikan alasan berbau spiritual saat menjalankan aksinya. Namun, berdasarkan analisis grafologi, tidak ada dorongan spiritual kuat bagi mereka untuk menjalankan jihadnya.

 

"Meskipun secara verbal mereka memberikan alasan yang berbau spiritual namun indikator grafis di dalam sampel tulisan tangan keduanya justru tidak menunjukkan dorongan spiritual yang kuat untuk mengeksekusi 'jihad'," tuturnya.

 

Lebih lanjut, Deborah menyebut bahwa dorongan utama Zakiah Aini adalah kemarahan atas status sosial. Sedangkan Lukman dorongan utamanya adalah ketakutan akan masa depannya.

 

"Untuk Zakiah, dorongan yang utama adalah kemarahan atas status sosial (non material) yang melekat pada dirinya. Sedangkan untuk Lukman dorongan yang utamanya adalah kemarahan dan ketakutan dalam menghadapi masa depan di kehidupannya yang akan sangat berdampak pada sang Ibu," ujar Deborah. []



 


SANCAnews Eks Ketua KPK Busyro Muqoddas tak habis pikir pimpinan KPK menerbitkan SP3 P atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

 

Menurut Busyro, Pemerintahan Jokowi, sukses mencapai tujuannya yaitu membuat penerapan kewenangan SP3 pada KPK rezim baru.

 

"Ucapan sukses besar bagi pemerintah Jokowi yang mengusulkan revisi UU KPK yang disetujui DPR juga parpol-parpol yang bersangkutan. Itulah penerapan kewenangan menerbitkan SP3 oleh KPK wajah baru," kata Busyro melalui pesan singkat, Kamis (1/4).

 

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM itu khawatir, SP3 ini akan menjalar ke kasus lain.

 

"SP3 skandal ratusan triliun ini sangat rentan menjalar liar ke setiap kasus mega korupsi yang di belakangnya berperan elite politik dan bisnis papan atas yang berposisi sebagai kreditur politik dalam pemilu yang lalu. Sangat mungkin akan ditutup melalui SP3," ucap Busyro.

 

Busyro mengatakan, langkah KPK menerbitkan SP3 pada kasus besar telah meruntuhkan prinsip the rule of law dan demokrasi yang bebas diskriminatif.

 

"Sangat mengkhawatirkan runtuhnya prinsip the rule of law dan demokrasi yang menjunjung tinggi etika politik penegakan hukum yang bebas diskriminatif," tegasnya.

 

Busyro menyesalkan langkah pimpinan dan Deputi Penindakan KPK karena telah menyederhanakan mega skandal kasus BLBI dengan alasan demi kepastian hukum.

 

"Dengan mencampakkan asas yang lebih fundamental yaitu keadilan masyarakat sebagai victim kolektif dampak perampokan uang negara," katanya.

 

Sebelumnya, KPK menghentikan penyidikan dugaan korupsi BLBI yang menjerat suami istri, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Kasus tersebut berdasarkan hasil audit BPK merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun.

 

"Penghentian penyidikan terkait dugaan korupsi yang dilakukan tersangka SN (Sjamsul Nursalim) selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan ISN (Itjih Sjamsul Nursalim) bersama-sama SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung) selaku Kepala BPPN," ujar Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata.

 

Ini merupakan pertama kali KPK menghentikan penyidikan kasus korupsi atau penerbitan SP3.

 

Alex menyatakan, penerbitan SP3 sesuai dengan kewenangan yang dimiliki KPK dalam Pasal 40 UU 19/2019. Sebab menurut Alex, kasus BLBI tidak memenuhi adanya unsur penyelenggara negara lantaran Syafruddin telah divonis lepas di tingkat kasasi MA pada 2019. []



 


SANCAnews – Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan dianggap mengalahkan tuntutan untuk koruptor.

 

Hal itu disampaikan oleh pakar hukum tata negara, Ahmad Yani saat berbincang dengan  ahli hukum tata negara, Margarito Kamis membahas soal tuntutan JPU yang menuntut Syahganda dengan hukuman 6 tahun penjara.

 

"Ustaz (Margarito Kamis) juga kan pernah menjadi saksi dan berbagai macam keterangan ahli juga mengatakan tidak ada peristiwa-peristiwa yang dikaitkan bahwa apa yang dilakukan saudara Syahganda itu merupakan perbuatan melawan hukum yang bisa diancam pidana. Nah ini tuntutannya luar biasa ini, bahkan mengalahkan tuntutan dari para koruptor," ujar Ahmad Yani mengawali perbincangan seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL dari video yang diunggah akun Youtube Ahmad Yani Channel, Jumat (2/4).

 

Margarito pun mengaku kaget atas tuntutan JPU kepada Syahganda, "Itu mengagetkan saya, sebagai orang yang pernah jadi ahli di dalam perkara ini, betul-betul ini mengagetkan," kata Margarito.

 

Margarito menilai, jika Syahganda dihukum dipenjara, maka dianggapnya sebagai penghinaan kepada Bung Hatta dan Soepomo.

 

Karena kata Margarito, Bung Hatta merupakan orang yang menghendaki dibentuknya Pasal 27 UUD 1945 sebelum diganti saat ini menjadi Pasal 28 UUD 1945.

 

"Bung Hatta yang mendesak untuk ada pasal yang mengatur yang memberikan jaminan terhadap warga negara untuk berkumpul dan menyatakan pendapat. Nah sekarang sudah dikuatkan lagi di UUD Pasal 28 J," jelas Margarito.

 

Sehingga kata Margarito, apa yang dilakukan oleh Syahganda merupakan sebuah kritikan dan menyampaikan pikirannya seperti yang digagas oleh Bung Hatta dalam Pasal 27 UUD 1945 pada saat itu.

 

"Ini hakekatnya adalah cara para pendiri bangsa pada waktu itu memberikan jaminan agar pemerintah ini tidak menyalahgunakan kekuasaannya, tidak menghadirkan penderitaan kepada rakyat dan seterusnya," terangnya.

 

"Syahganda kan mengkritik, berfikir, masuk lah itu dalam Pasal 27 yang digagaskan oleh Bung Hatta itu. Makanya saya bilang, kok begini, orang berfikir kok salah, orang berfikir kok dihukum," sambung Syahganda.

 

Ahmad Yani lantas menyebutkan bahwa, tuntutan yang disampaikan JPU hanya mengambil ulang dari dakwaan yang pernah disampaikan di pengadilan.

 

"Saya kira karena Jaksa susah menemukan, mengkonstruksi fakta yang ada di dalam persidangan itu untuk memberikan bobot hukum fakta itu sebagai fakta pidana," kata Margarito. []



 


SANCAnews – Keadilan hukum di Tanah Air kian dipertanyakan. Upaya penegakan oleh beberapa lembaga hukum di Indonesia masih menunjukkan sisi ketidakadilan.

 

Aktivis Petisi 28, Haris Rusly Moti secara khusus menyoroti dinamika ketidakadilan hukum dari dua kasus yang sedang hangat dipertontonkan.

 

"Kita disajikan dua kabar yang menghentak nurani. Syahganda Nainggolan, aktivis yang berbeda pendapat dengan penguasa dituntut 6 tahun penjara," kata Haris Rusly Moti di akun Twitternya, Kamis (1/4).

 

Tuntutan hingga pidana enam tahun penjara karena perbedaan pendapat tersebut, kata Haris Rusly seakan kontras dengan keputusan hukum terhadap kasus yang jauh lebih besar bahkan masuk dalam kategori skandal.

 

Adalah kasus tindak pidana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Samsul Nursalim (ISN).

 

Proses hukum skandal BLBI telah berlangsung lama, yakni sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri. Sjamsul Nursalim dan sang istri, yang selalu absen sat dipanggil sebagai saksi maupun tersangka itu kini justru diterbitkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3).

 

"Koruptor BLBI, Sjamsul Nursalim justru di-SP3-kan oleh KPK. Runtuhnya negara hukum dan lenyapnya demokrasi," tandasnya.

 

Dalam persidangan ke-17 di PN Depok, Syahganda dituntut 6 tahun penjara oleh JPU lantaran dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menyiarkan berita bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran.

 

Di sisi lain, SP3 kepada Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Samsul Nursalim diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan telah sesuai dengan Pasal 40 UU KPK. (rmol)



 


SANCAnews – Tuntutan hukum terhadap inisiator Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan, dinilai tidak cukup adil jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Henry Subiakto.

 

Henry Subiakto baru-baru ini tertangkap basah diduga menyebarkan kabar bohong atau hoax di media sosial Twitternya, berupa cuplikan gambar video yang disebut dalam kicauannya sebagai kejadian rasisme oleh seorang warga di Amerika Serikat kepada warga Indonesia.

 

Postingannya tersebut mendapat kecaman warganet, hingga akhirnya Henry Subiakto mengklaim apa yang disampaikannya itu sebagai eksperimen untuk menguji reaksi warganet terkait informasi kejadian yang sudah cukup lama terjadi.

 

Namun, menurut Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, tindakan Henry Subiakto ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, alias terlepas dari ranah hukum.

 

Karena menurutnya, kasus hukum yang tengah dialami Inisiator KAMI, Syahganda Nainggolan, memiliki struktur kejadian hukum yang serupa, yaitu sama-sama berbicara soal penyebaran informasi di media sosial.

 

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini memandang, ada ketidakadilan dalam penegakan hukum oleh aparat negara jika membandingkan dua perkara yang serupa ini.

 

"Wajah hukum kita memang masih jauh dari rasa keadilan. Hukum kita masih bisa dimainkan oleh orang-orang yang punya kekuasaan dan jabatan. Hukum masih memihak mereka yang ada di lingkaran istana," ujar Ujang saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (2/4).

 

Sementara itu, masyarakat seperti Syahganda yang mengkritik atau cendrung opposite dnegan pemerintah justru dikerjai melalui instrumen hukum yang ada.

 

"Mereka yang beroposisi dikerjai, sedang mereka yang dilingkaran istana dilindungi," ucapnya.

 

Namun begitu, Ujang mengajak semua pihak untuk yakin akan penegakan hukum di masa yang akan datang bisa lebih baik dari rezim yang tengah memimpin peerintahan sekaligus negara sekarang ini.

 

"Kita tetap harus optimis, semoga kedepan wajaj hukum kita tak bopeng dan berpihak pada keadilan dan kebenaran," demikian Ujang Komarudin.

 

Dalam sidang tuntutan kemarin di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Syahganda Nainggolan dituntut 6 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), karena dinilai menyebarkan hoax yang menciptakan keonaran.

 

Tuntutan itu didasarkan pada fakta persidangan dan alat bukti yang ada berup cuitan Syahganda dalam akun Twitternya yang terkait dengan aksi demonstrasi menolak RUU omnibus law Cipta Kerja pada Oktober 2020 lalu. []


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.