Latest Post


 


SANCAnews – Rumah Ketua Umum Persaudaraan Alumni (PA) 212, Slamet Maarif, yang berada di bilangan Cimanggis, Depok, Jawa Barat, kembali dilempari batu oleh orang tidak dikenal.

 

Aksi pelemparan batu yang ditujukan ke rumahnya itu terjadi pada Kamis, 1 April 2021 sekitar dini hari.

 

Peristiwa diduga teror ini bukan kali pertama menimpa Slamet Maarif. Sebelumnya, pada Februari 2020 kasus serupa pernah terjadi.

 

Kemudian, pada Desember 2020 lalu, orang tidak dikenal melakukan perusakan terhadap mobil miliknya yang diparkir di garasi rumah yang sama.

 

Lemparan batu pada dini hari tadi menyebabkan kaca jendela rumah milik Slamet Maarif pecah.

 

Jendela yang pecah kali ini pun merupakan jendela yang sama dengan yang dilempari batu pada tahun lalu.

 

Slamet menjelaskan, dirinya sedang tidur ketika batu mengenai kaca jendela rumahnya. Bunyi pecahan kacanya pun terdengar hinga membuat dirinya terbangun.

 

"Kami pas lagi tidur tahu-tahu dengar suara 'gumbrang', kaca pecah. Kami bangun, kami lihat belakang tidak ada apa-apa, kemudian saya curiga, jangan-jangan kayak dulu nih," kata Slamet Maarif kepada wartawan, Kamis (1/4/2021).

 

Slamet pun langsung mengecek dari dalam ruangan. Ia membuka gorden dan mendapati kaca jendela ruang salat sudah pecah.

 

Slamet lantas memeriksa rekaman kamera CCTV rumahnya dan mendapati insiden itu terjadi pukul 01.59, ketika orang-orang tak dikenal melempar batu dari jarak sekitar 2 meter dari jendela sasaran.

 

"Pelakunya empat orang, pakai dua motor. Semua rapat, pakai helm, masuk dari arah sini (depan kompleks), lalu berputar, sampai sini lagi dia lempar, dia lari," ujar dia.

 

"Saya tungguin juga, jangan-jangan kayak dulu, balik lagi, karena dulu kan balik lagi. Ternyata tidak. Sampai dengan azan subuh kami tungguin CCTV, empat orang dan dua motor itu tidak balik lagi."

 

Slamet memastikan, tidak ada seorang pun yang terluka akibat insiden ini.

 

Ia sendiri tak bisa banyak menerka motif para pelaku melempari rumahnya dengan batu. Sebab, situasi politik sedang dingin, tidak seperti situasi pada dua penyerangan sebelumnya.

 

Ia berharap teror yang sudah tiga kali terjadi di rumahnya dalam kurun 2020-2021 tak terjadi lagi.

 

"Kami berharap yang ketiga bisa diungkap. Mudah-mudahan dari CCTV, pelat nomornya bisa terbaca dan sebagainya, dan ke pihak kepolisianlah kami serahkan," kata Slamet. (*)



 


SANCAnews – Aksi teror yang terjadi secara beruntun belakangan ini membuat gempar masyarakat Indonesia.

 

Pasalnya, belum lama sebuah gereja di Makassar menjadi target pemboman, kini Mabes Polri yang menjadi target penyerangan, yaitu tepatnya pada Rabu kemarin, 31 Maret 2021.

 

Meskipun diimbau untuk tak mengaitkan dengan agama tertentu, tetapi fakta di lapangan sulit untuk membuat kita tak berpikir demikian.

 

Itu karena mulai dari barang bukti hingga pakaian sang peneror atau pelaku penyerangan memang cenderung merujuk ke suatu agama tertentu.

 

Oleh karena itu, mantan juru bicara Front Pembela Islam (FPI), yakni Munarman, turut buka suara terkait hal ini.

 

“Saya kira peristiwa-peristiwa seperti ini, baik itu yang di Makassar beberapa hari lalu, maupun yang sekarang (di Mabes Polri), dari sudut pandang bahwa ini seolah-olah mewakili Islam, saya kira justru dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti ini, umat Islam dirugikan,” papar Munarman panjang lebar dalam sebuah video YouTube di kanal Refly Harun, dikutip terkini.id dari Tribunnews pada Kamis, 1 April 2021.

 

“Kita lihat komentar-komentar netizen, itu banyak yang justru mencaci maki pada akhirnya,” lanjutnya.

 

Munarman kemudian menyebut bahwa ada indikasi aksi para teroris sengaja dirancang khusus agar seolah-olah merepresentasikan ajaran Islam.

 

Padahal, kata Munarman, ajaran Islam itu sendiri tidak pernah membenarkan aksi terorisme.

 

“Jadi, menurut saya dari segi framing dan labeling, pada akhirnya aksi-aksi yang seperti ini justru merugikan,” tuturnya.

 

“Kembali lagi pertanyaan besarnya, apakah memang si perancang aksi ini memang merancang untuk tujuan menjatuhkan Islam, bukan dalam konteks kepentingan Islam.”

 

Mantan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YBLHI) tersebut lantas setuju jikalau aksi penyerangan di Makassar dan Mabes Polri disebut sebagai terorisme.

 

Itu karena menurut Munarman, para pelaku yang melakukan aksi teror tersebut bukanlah bagian dari Islam.

 

“Jadi, ini sudah betul disebut terorisme karena memang dia bukan bagian dari Islam,” pungkas Munarman. []



 


SANCAnews – Kapolsek Ciracas Kompol Jupriono mengunjungi keluarga terduga teroris ZA yang berada di Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, Kamis, 1 April.

 

Jupriono tiba di lokasi sekitar pukul 11.30 WIB didampingi oleh Ketua RT 03. Dalam kunjungannya itu, Jupriono juga membawa bantuan kebutuhan pokok.

 

"Ini ada sedikit 'oleh-oleh' paling tidak bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari," kata Jupriono saat berbincang dengan keluarga dari terduga teroris ZA.

 

Jupriono mengatakan bahwa pemberian bantuan berupa kebutuhan pokok ini sebagai bentuk kepedulian dari Polsek Ciracas terhadap keluarga terduga teroris sekaligus untuk sedikit meringankan beban mereka.

 

"Kami tidak melihat permasalahannya apa. Semuanya warga kami. Apa yang ibu butuh kami akan bantu," ujar Jupriono.

 

Setelah kurang lebih 20 menit berbincang, Jupriono pun kemudian pamit kepada pihak keluarga terduga teroris.

 

Situasi di depan rumah keluarga terduga teroris ZA sendiri masih dipadati oleh awak media yang telah menunggu sejak pagi. Tak hanya itu, warga di sekitar lokasi juga tampak ikut menyaksikan. []





SANCAnews – Ayah ZA, M Ali, mengaku tidak menyangka putrinya menjadi pelaku penyerangan Markas Besar (Mabes) Polri pada Rabu (31/3) kemarin. Dia menduga ada orang tak dikenal yang menuntun anaknya melakukan tindakan itu.

 

Hal itu diungkapkan Ali ketika berbincang dengan Ketua RT06/RW08 Tiuaria, selepas menunaikan salat zuhur dan berjalan pulang ke rumahnya, Kamis (1/4).

 

"Tidak mungkin dia berbuat seperti itu kalau tidak ada yang menuntun, pasti ada yang menuntun," kata Ali ketika berbincang dengan Tiuria.

 

Ali pun tak percaya kalau anak bungsunya yang dikenal pendiam dan mengidap penyakit sampai melakukan tindakan seperti itu. “Orang anaknya lemes, sakit-sakitan gitu. Pasti ada yang menuntunnya,” ujarnya.

 

Ketika hendak diwawancarai awak media yang berada di depan rumahnya, seusai berbincang dengan Tiuaria, Ali menolak dan menyarankan agar pertanyaan tersebut diwakili Tiuaria.

 

"Innalillahi wainnaillaihi rajiun, maaf, tanya ke ibu itu aja ya (sambil menunjuk Tiuaria)," ucap Ali.

 

Setelah diminta Ali untuk menjelaskan kepada awak media, Tiuaria membenarkan bahwasanya pihak keluarga tidak ada yang menyangka ZA menjadi pelaku penyerangan. "Iya memang benar. Kami sebagai warga sekitar pun tidak percaya. Katanya ada orang yang menuntun dia, ada yang bawa dia, bapaknya bilang gitu. Karena anak seperti itu masih labil lah ketika diajak, ya dia mau," kata Tiuaria ketika dikonfirmasi.

 

"Orangnya gimana sih kayanya lugu, kurus, tidak kelihatan gagah. Iya, kaya kurang sehat gitu," tambahnya.

 

Bahkan, Tiuaria pun menyampaikan kalau orang tuanya tidak pernah mengetahui kalau ZA sempat mengikuti latihan menembak di salah satu klub. Mereka baru mengetahui setelah kabar insiden penyerangan itu merebak di media sosial.

 

Sebagaimana diketahui, beredar kartu klub menembak yang diduga milik penyerang Mabes Polri. Di kartu itu tertera nama ZA.

 

"Tidak tahu itu semua didapat dari instagram. Dapat mereka itu semua kalau beliau (ZA) itu sudah begitu. Engga tahu bapaknya (kabar menembak), kegiatan di luar itu sama sekali bapaknya tidak tahu, orang tua, keluarganya tidak tahu. Makanya tadi bilang ada yang nuntun ada yang bawa," tuturnya.

 

Sebelumnya, kalau kabar ZA yang kala itu berpakaian gamis hitam, bercadar dan berkerudung masuk ke area Mabes Polri Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin (31/3) sore. Dia masuk sembari menodongkan benda diduga senjata ke petugas.

 

ZA tewas usai dilumpuhkan polisi. Jenazahnya telah dimakamkan di TPU Pondok Rangon pada Kamis (1/4) dini hari. []



 


SANCAnews – Inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan, mendapat tuntutan maksimal oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

 

Jaksa Syahnan Tanjung menyatakan, Syahganda Nainggolan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menyiarkan berita bohong atau hoax yang menciptakan keonaran, dalam postingan dan kicaunnya di akun Twitter pribadinya, @syahganda.

 

"Menyatakan terdakwa Syahaganda Nainggolan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menyiarkan berita bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran," ujar Jaksa Syahnan Tanjung dalam sidang

 

"Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 14 ayat 1 undang-undang (UU) nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana dalam dakwaan pertama penuntut umum," sambungnya.

 

Karena itu, lanjut Syahnan, JPU menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun kepada Syahganda Nainggolan.

 

"Dikurangi selama terdakwa berada di dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan," tuturnya.

 

Dalam pertimbangannya, Jaksa menilai postingan Syahganda yang menimbulkan keonaran itu dilakukan sebanyak 5 kali secara berkala. Yaitu mulai tanggal 12 September hingga yang terkahir 10 Oktober 2020.

 

Postingan Syahganda yang terkahir pada tanggal 10 Oktober 2020 menjadi satu yang dipersoalkan JPU. Karena di dalamnya Syahganda menyatakan akan ikut turun aksi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.

 

"Bahwa tulisan terdakwa yang kelima kalinya pada caption akun Twitter @syahganda, tanggal 10 Oktober 2020 mempertanyakan 'Ini Benar ya ada aksi?' Selanjutnya, terdakwa mengatakan 'Saya mau ikut aksi Selasa 13 Oktober di Bundaran HI (Hotel Indonesia)," ungkap Syahnan.

 

Atas cuitan tersebut, JPU menilai Syahganda telah menghasut kawan-kawan buruh PPMI98, serikat buruh, mahasiswa berjaket biru dan berjaket almamater kuning, serta terlibatnya anak-anak SMA hingga SMK dan masyarakat melakukan protes atau demonstrasi yang menyebabkan anarkis dan kerusakan yang terjadi di Jakarta,

 

Dasar penuntutan ini, kata Syahnan juga merupakan fakta persidangan yang bersumber dari keterangan lima orang saksi dan tujuh orang saksi ahli yang dihadirkan JPU, serta empat orang saksi ahli yang dihadirkan pihak penasihat hukum Syahganda Nainggolan.

 

Dalam kasus ini, mulanya Syahganda Nainggolan dianggap melanggar Pasal 28 undang-undang (UU) Informasi Transaksi Elektronik (ITE) oleh kepolisian dalam proses penyidikan.

 

Namun dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Syahganda dengan pasal berlapis yang terkait dengan penghasutan yang menciptakan keonaran.

 

Yaitu, pertama, Pasal 14 ayat (1) UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana; atau kedua, Pasal 14 ayat (2) UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana; atau ketiga, Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. []


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.