Latest Post

 


SANCAnews – Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono, mengatakan pihaknya tidak merahasiakan identitas tiga orang terlapor anggota Polda Metro Jaya yang diduga melakukan unlawful killing atau pembunuhan di luar hukum terhadap empat orang Laskar Front Pembela Islam (FPI).

 

"Enggak (dirahasiakan). Saya belum dapat info dari penyidik, nanti kita tanyakan ke penyidiknya," kata Rusdi di Mabes Polri pada Rabu, 24 Maret 2021.

 

Saat ini, kata dia, kasus ini masih diproses penyidikan oleh Tim Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Meski sudah naik tahap penyidikan, tiga orang anggota Polda Metro Jaya belum ditetapkan sebagai tersangka dan masih berstatus saksi terlapor.

 

"Sampai saat ini, tiga pihak yang bersangkutan masih sebagai pihak terlapor," ujarnya.

 

Menurut dia, kasus ini didalami penyidik Bareskrim atas rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Termasuk, sejumlah bukti yang telah ditemukan oleh penyidik juga dapat limpahan dari Komnas HAM.

 

"Penyidik gunakan beberapa barang bukti itu dalam rangka menyelesaikan kasus tersebut," kata dia.

 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan empat rekomendasi atas peristiwa tewasnya enam anggota laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek.

 

Dari hasil penyelidikan yang berlangsung sejak 7 Desember 2020, Komnas HAM menyimpulkan bahwa peristiwa tewasnya enam laskar FPI ini terbagi dalam dua konteks yang berbeda.

 

Dua laskar FPI tewas karena terlibat bentrokan dan saling serang dengan aparat dan tewas di tempat. Sementara empat laksar FPI lainnya tewas karena pelanggaran HAM.

 

Komnas HAM merekomendasikan agar peristiwa tewasnya 4 laskar FPI dilanjutkan ke pengadilan pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan keadilan.

 

Rekomendasi kedua, Komnas HAM meminta dilakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang berada di dalam dua mobil. Dua mobil ini terlibat dalam aksi serempet dengan mobil yang ditumpangi laskar FPI.

 

Mendalami dan melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang terdapat dalam dua mobil Avanza hitam itu berpelat nomor 1759-PWQ dan Avanza silver B-1278-KJD.

 

Rekomendasi berikutnya adalah mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang diduga digunakan oleh laskar FPI. Yang keempat, meminta proses penegakan hukum akuntabel, objektif, transparan sesuai dengan standar HAM.

 

Selanjutnya, penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim membuat laporan model A atas kasus unlawful killing terhadap empat orang pengawal Habib Rizieq Shihab. Artinya, laporan dibuat langsung penyidik.

 

Kemudian, Tim penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri meningkatkan status kasus dugaan unlawful killing atau penembakan di luar hukum terhadap anggota Laskar FPI dari penyelidikan ke tahap penyidikan pada Rabu, 10 Maret 2021. (*)


 


SANCAnews – Guru besar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir mengatakan, dakwaan atas pelanggaran kerumunan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Petamburan dan Megamendung tidak bisa diproses kembali. Hal itu, menurut dia, karena melanggar ketentuan dari Pasal 76 KUHP.

 

"Itu namanya ne bis in idem (pembelaan hukum yang melarang seseorang diadili dua kali). HRS tidak bisa diproses dua kali," ujar Mudzakir, Rabu (24/03/2021).

 

Mudzakir melanjutkan, karena tidak bisa diproses dua kali, pengadilan kemudian menggunakan Pasal 160 KUHP. Padahal, langkah tersebut dinilainya juga tidak bisa dilakukan. "Karena, perbuatan pokok itu sudah diselesaikan dengan peradilan denda," tuturnya.

 

Serupa dengan pelanggaran itu, kata Mudzakir, Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) seharusnya juga tidak bisa melakukan sidang terhadap Habib Rizieq Shihab. Menurut Mudzakir seperti dikutip republika.co.id, hal itu melanggar kompetensi relatif pengadilan yang hanya memiliki wewenang mengadili suatu perkara sesuai wilayah hukumnya.

 

"Iya nggak bisa, itu locus delicti. Kalau perkara yang di Petamburan seharusnya sidang di PN Jakpus, kalau yang di Megamendung harusnya PN Bogor," ujar dia.

 

Dia melanjutkan, persidangan HRS di PN Jaktim menilik pada locus delicti, maka tidak sah karena tidak memiliki wewenang berdasarkan kompetensi relatif pengadilan itu.

 

"Dari dua hal itu sudah tidak bisa. Jadi, kalau sudah diselesaikan (denda), tidak boleh diadili untuk kedua kalinya," ungkap dia.

 

Sebelumnya, saat sidang eksepsi kemarin, Munarman juga menganggap bahwa PN Jaktim tidak berwenang dalam kasus di Megamendung. Karena, pelanggaran itu tidak terjadi di sekitar Jakarta Timur.

 

Keberatan lain yang disampaikannya dalam draf eksepsi adalah menyoal Pasal 160 KUHP. Pasal itu, kata Munarman, tidak bisa diterapkan pada pelanggaran protokol kesehatan. Terlebih, ketika perkara protokol kesehatan yang melibatkan HRS disebutnya juga telah membayar denda.

 

"Tidak pernah ada orang di Indonesia yang melanggar prokes lalu membayar denda sebesar Rp 50 juta. Jadi, kalau ini tetap diproses, ini ne bis in idem namanya," ujar Munarman menjelaskan.

 

Lebih jauh Munarman menyebut, Pasal 160 KUHP adalah pasal yang seharusnya diterapkan pada peristiwa kejahatan. Hal itu berbeda dengan pelanggar protokol kesehatan yang bernada pelanggaran. "Pelanggaran bukan kejahatan. Jadi, kita tolak," katanya menutup. []


 


SANCAnews – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merasa heran dengan adanya polemik pemblokiran terhadap 92 rekening terkait FPI. Terlebih ketika Bareskrim Polri membuat pernyataan bahwa mereka tidak pernah meminta PPATK melakukan pemblokiran tersebut. 

 

Kepala PPATK Dian Ediana Rae merasa heran dengan munculnya penafsiran bahwa Polri yang meminta PPATK melakukan pemblokiran rekening FPI.

 

"Saya malah nggak ngerti, kenapa bisa ada penafsiran kalau Polri meminta PPATK memblokir rekening FPI itu," ujar Dian kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (25/3).

 

Kata Dian, dirinya sudah berulang kali menyampaikan bahwa pemblokiran rekening merupakan kewenangan PPATK berdasarkan UU 8/2010 dan UU 9/2013. Di mana disebutkan bahwa PPATK merupakan lembaga independen yang tidak boleh mengikuti instruksi pihak lain, termasuk pemerintah.

 

Sementara keputusan menghentikan sementara (blokir) itu karena ada keputusan bersama terkait pembubaran dan pelarangan kegiatan FPI.

 

“Tugas kita sebagai lembaga intelejen keuangan adalah melakukan analisis dan pemeriksaan mengenai transaksi-transaksi FPI itu, dan menyerahkan hasilnya kepada lepolisian," jelas Dian.

 

Setelah menerima informasi dari PPATK, kata Dian, pihak Kepolisian berhak melakukan pemblokiran lanjutan atau tidak melakukan pemblokiran.

 

"Dalam hal lepolisian tidak melakukan pemblokiran lanjutan tentu saja rekening yang diblokir terbuka dengan sendirinya karena proses 20 hari di PPATK sudah selesai," terang Dian.

 

Dian pun kembali menegaskan bahwa pemblokiran rekening FPI berawal dilakukan oleh PPATK.

 

"Iya betul (dilakukan) PPATK. Kalau polisi tidak melakukan pemblokiran otomatis akan terbuka dengan sendirinya setelah 20 hari proses PPATK. Jadi harus dibedakan pemblokiran oleh PPATK sebagai lembaga intelejen keuangan dengan pemblokiran oleh Kepolisian sebagai Aparat Penegak Hukum," pungkas Dian. (*)


 


SANCAnews – Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri hingga saat ini belum menetapkan tersangka dalam kasus pembunuhan di luar hukum atau unlawful killing terhadap empat laskar Front Pembela Islam (FPI).

 

Hal itu diungkapkan oleh Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono. Brigjen Rusdi menyebut pihaknya masih melakukan pendalaman terkait kasus tersebut.

 

"Proses masih penyidikan, sedang berjalan. Apabila ada perkembangan dari proses penyidikan ini tentunya akan disampaikan ke publik," kata Brigjen Rusdi di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (24/3/2021).

 

Mengenai nasib tiga anggota Polda Metro Jaya yang diduga melakukan unlawful killing, Rusdi menyebut ketiga anggota itu masih berstatus sebagai terlapor dan belum menjadi tersangka.

 

"Sampai saat ini tiga pihak yang bersangkutan masih sebagai pihak terlapor," beber Rusdi.

Seperti diketahui, pasca aksi baku tembak antara laskar FPI dengan anggota Polda Metro Jaya, terdapat empat laskar yang sebelumnya masih hidup saat berhasil diamankan oleh polisi. Namun, pada akhirnya keempat laskar tersebut ikut tewas menyusul dua rekannya yang tewas akibat baku tembak.

 

Dugaan unlawful killing pun mulai menguak dikasus ini. Bareskrim sendiri tengah menyelidiki dugaan keterlibatan tiga anggota Polda Metro Jaya dalam kasus tersebut.

 

Terkini, Bareskrim Polri sudah melakukan gelar perkara untuk menentukan status kasus tersebut. Hasilnya, kasus tersebut naik ke tingkat penyidikan yang berarti Polri menemukan unsur pidana dalam kasus tersebut. (*)


 


SANCAnews – Warga Myanmar membalas dendam atas kebrutalan polisi dan militer dalam menangani aksi demonstrasi menentang kudeta militer.

 

Saat seorang kapten polisi meninggal, layanan pemakaman menolak memakamkan jenazah polisi tersebut.

 

"Polisi meminta sejumlah layanan pemakaman untuk membantu pengebumian tetapi mereka semua menolak," kata seorang warga Bago, Myanmar, dilansir The Irrawaddy.

 

Polisi yang tewas tersebut bernama Kapten Kyaw Naing Oo (37). Karena warga menolak membantu proses pengebumian, akhirnya petugas kepolisian sendiri yang menjalankan prosesi pemakaman.

 

Jenazah Kyaw Naing Oo dikubur di Sinpyukwin. Saat proses pemakaman, para anggota polisi melakukan pengawalan. Saat menuju lokasi pemakaman, polisi juga mengambil jalur alternatif.

 

“Mereka tidak menggunakan jalan biasa menuju pemakaman, menunjukkan bahwa mereka mencurigai publik,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

 

Kapten Kyaw Naing Oo tewas dalam aksi pembubaran mahasiswa yang menentang kudeta militer. Pembubaran brutal itu tidak hanya memakan korban sipil, tapi juga polisi.

 

Kepolisian Bago menjelaskan bahwa Kapten Kyaw meninggal karena luka, namun tidak memberikan rincian lebih lanjut.

 

Sejak demonstrasi penentangan junta militer Myanmar tersebut, sekitar 220 orang dilaporkan tewas dan lebih dari 2.100 orang ditahan. Gelombang demonstrasi terbesar di negara tersebut juga belum menunjukkan tanda akan berhenti.

 

Masyarakat justru semakin geram dan mengancam melakukan mogok kerja setelah seorang bocah berusia 7 tahun, secara sadis dibunuh oleh aparat. (*)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.