Latest Post

 


SANCAnews – Salah satu kuasa hukum dari mantan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab menolak untuk datang dalam sidang yang bakal dilaksanakan secara daring yang rencananya bakal digelar hari ini, Jumat (19/3/2021).

 

Ia berdalih, sidang yang dilaksanakan secara daring kerap terkendala dan terganggu urusan teknis. Ia juga menjelaskan bahwa perwakilan jaksa penuntut umum sendiri sudah mendatangi Rutan Mabes Polri untuk mengirim panggilan kepada HRS.

 

Meski demikian, pihak Habib Rizieq sudah menegaskan menolak penandatanganan surat panggilan dan enggan hadir dalam sidang bila masih digelar secara virtual.

 

“Benar pada hari Rabu malam kemarin beberapa orang Jaksa datang ke Rutan Mabes Polri membawa panggilan Sidang Online HRS dkk untuk hari Jumat esok dengan alasan belum ada penetapan Hakim untuk Sidang Offline,” kata ujar Aziz Yanuar, melansir Hops.id (jaringan Suara.com).

 

“Maka HRS dan kawan-kawan pun menolak menandatangani Surat Panggilan Sidang, dan menyatakan tidak akan hadir Sidang Online. HRS dan kawan-kawan (tim kuasa hukum) hanya siap hadir untuk Sidang Offline di Pengadilan sesuai amanat UU," ujarnya lagi.

 

Ia juga balik menantang, meski HRS dijemput dengan satu truk penuh dengan pasukan bersenjata, hal itu sama sekali tidak menyurutkan niatnya untuk menolak sidang virtual.

 

Pihaknya juga tak akan segan-segan untuk melawan melalui jalur hukum dan memperjuangkan hak-hak Habib Rizieq sebagai terdakwa.

 

“Komitmen dari Habib Rizieq sudah jelas, kalau pun ada jemput paksa dengan satu truk pasukan bersenjata sekali pun, maka akan dilawan, yaitu dilawan sesuai dengan hak-hak yang diatur oleh hukum yang berlaku, karena Hak Terdakwa dilindungi UU,” tegasnya.

 

Dengan alasan itu, ia meminta agar majelis hakim tidak memperkeruh suasana dengan tetap melaksanakan sidang online namun tanpa kehadiran HRS.

 

“Jadi para Hakim dan Jaksa udah enggak usah bikin gaduh. Silakan Hakim dan Jaksa lanjutkan saja sidangnya hingga Vonis tanpa Terdakwa,” tandasnya. []


 


SANCAnews – Kasus dugaan pencemaran nama baik yang menyeret nama Denny Siregar, seorang influencer pendukung Presiden Joko Widodo, terkatung-katung di kepolisian. Kepolisian daerah dan pusat saling lempar kasus.

 

Semua bermula pada 27 Juni tahun lalu. Lewat halaman Facebook-nya, Denny mengunggah sebuah tulisan berjudul “Adek2ku Calon Teroris yg Abang Sayang” dengan foto seorang santri kecil dari Pondok Pesantren Tahfidz Daarul Ilmu, Tasikmalaya, Jawa Barat. Unggahan yang kini sudah dihapus itu bikin geger.

 

Denny dilaporkan ke Polres Tasikmalaya atas dugaan tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan penggunaan foto tanpa izin. Ia diduga melanggar Pasal 45A ayat 2 dan/atau Pasal 45 ayat 3, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

 

“Melaporkan kasus pencemaran nama baik dan memfitnah oleh Denny Siregar. Tuduhan pada santri kami sebagai teroris dan katakan ustaznya goblok juga predator. Ini pencemaran nama baik pada ustaz dan santri,” kata Pimpinan Pondok Pesantren Tahfidz Daarul Ilmi Ahmad Ruslan Abdul Gani, 2 Juli 2020.

 

Kasus dilimpahkan ke Polda Jawa Barat pada 7 Agustus 2020. Pelimpahan itu dilakukan dengan alasan agar memudahkan pemeriksaan terlapor.

 

Baik saat ditangai Polres Tasikmalaya maupun Polda Jawa Barat, Denny urung diperiksa kendati pemeriksaan korban dan terlapor sudah lengkap.

 

Pada 9 Maret lalu, Polda Jawa Barat memutuskan akan melimpahkan kasus ini ke Bareskrim Mabes Polri. Alasannya, karena locus delicti—lokasi dugaan kasus—“di Jakarta,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar, Yaved Duma Parembang. Pelapor tak diberitahu mengenai pelimpahan kasus itu.

 

Sepekan berlalu dan pihak Mabes Polri mengaku belum menerima pelimpahan kasus dari Polda Jawa Barat. “Masih di Polda Jawa Barat,” kata Karopenmas Divisi Humas Polri Rusdi Hartono saat konferensi pers, Senin (15/3/2021) lalu.

 

Wartawan Tirto telah mencoba menghubungi Duma Parembang untuk minta penjelasan ulang mengenai penanganan kasus ini, namun hingga Rabu (17/3/2021) siang tak ada jawaban. Telepon tak diangkat, WhatsApp-nya terakhir dilihat pada Senin (15/3/2021) siang.

 

Polisi Tak Boleh Tebang Pilih 

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mempertanyakan mengapa pengusutan kasus Denny Siregar seperti saling lempar antara pusat dan daerah.

 

Ia juga mengkritik keras sikap kepolisian yang menurutnya tidak siap dalam menanggapi laporan warga sipil biasa ini. Bambang membandingkan dengan kasus seorang warganet pengejek Gibran Rakabumin, anak Presiden Joko Widodo yang juga Wali Kota Solo, yang langsung ditangkap dan diperingati tanpa ada aduan dari korban terlebih dahulu. Padahal, apa yang ditulis oleh pemuda itu hanya “obrolan warung kopi biasa di media sosial.”

 

“Ini salah satu efek polisi lebih mengejar sensasi daripada substansi. Akhirnya kelabakan sendiri ketika ada kasus serupa,” kata Bambang saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu siang.

 

“Tanpa konsistensi, kepercayaan masyarakat yang seperti apa yang akan dibangun kepolisian ke depan? Tanpa ada konsistensi, transparansi yang berkeadilan seperti apa yang akan diciptakan sesuai jargon PRESISI Kapolri?” tambah Bambang.

 

Ia mendesak agar kepolisian segera memproses laporan kasus Denny Siregar dan tidak berusaha tembang pilih kasus.

 

“Dalam kasus DS, sebaiknya kepolisian tetap memproses laporan. Bahwa kemudian dalam perjalanannya terjadi mediasi antara pelapor dan terlapor, itu fungsi sebenarnya dari konsep restorative justice,” kata dia.

 

Bambang mengingatkan kembali bagaimana Kapolri Listy Sigit yang mengeluarkan surat edaran mengenai polisi virtual dan upaya restorative justice saat melakukan penegakan hukum. Namun, kata dia, fakta di lapangan implementasinya bermacam-macam dan cenderung tidak proporsional. “Ada yang paham, ada yang tidak.”

 

Bambang mengatakan ada banyak faktor mengapa polisi kesulitan mengimplementasikan surat edaran tersebut. Salah satunya mengenai kualitas anggota Polri, baik perwira sampai tamtama, yang masih jauh dari kompeten sehingga tidak memahami surat edaran.

 

Ia juga menilai bahwa surat edaran mengenai polisi virtual dan upaya restorative justice masih memerlukan petunjuk pelaksaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) penerapan agar tidak multitafsir. “Dan juga, tidak adanya pengawasan secara konkret di internal terkait surat edaran itu. Akibatnya surat edaran Kapolri tak lebih dari lembaran surat pengumuman saja tanpa ada arti yang signifikan,” kata dia.

 

“Yang patut dipertanyakan, selama ini kerja Irwasum itu apa saja? Kok seolah tak bisa mengawal visi misi Kapolri,” tambahnya.

 

Ketika ditanya mengenai perkembangan kasusnya, Denny Siregar minim komentar. Ia hanya berkata telah menyerahkan semua kepada kepada Muannas Alaidid--pengacara yang pernah membela Abu Bakar Baasyir dan pernah menjadi caleg dari PSI. “Saya sudah serahkan semua sama Muannas Alaidid,” kata dia saat dikonfirmasi wartawan Tirto lewat pesan privat Twitter.

 

Muannas mengatakan bahwa Denny sudah pernah diperiksa oleh Polda Jawa. Kata dia, hingga saat ini kliennya masih tetap mengikuti proses hukum yang berlaku. “Denny sudah pernah dipanggil dan datang untuk dimintai keterangan,” kata Muannas saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (18/3/2021) dini hari. []


 


SANCAnews – Eks Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, menanggapi pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD. Mahfud menyebut hukum atau konstitusi boleh dilanggar demi menyelamatkan rakyat.

 

Jimly mengaku tidak sependapat dengan pernyataan itu. Ia menegaskan sebagai negara hukum, Indonesia tidak boleh melanggar UUD.

 

"Di luar ini, negara hukum dilarang keras langgar UUD," tulis Jimly dalam akun twitternya dikutip, Kamis (18/3).

 

Jimly kemudian mengingatkan soal Pasal 12 UUD 1945. Dalam Pasal itu, presiden dapat menetapkan keadaan bahaya dengan menggunakan UUD dibanding melanggar konstitusi.

 

"Ini harus dibaca berdasarkan Pasal 12 UUD 45. Inilah dasar dan pintu masuk bagi berlakunya HTN (hukum tata negata) Darurat. Maka, tidak usah ragu terapkan keadaan darurat," ungkap dia.

 

Berikut bunyi dari Pasal 12 UUD 1945: 

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-undang.

 

Selain itu, Jimly menambahkan jika Pasal 12 UUD 1945 dinilai tidak relevan, presiden juga bisa mengeluarkan Perppu baru. Sehingga hukum tidak perlu dilanggar.

 

"Kalau UU/Perppu Keadaan Bahaya 1959 Jo UU Prp 1960 dinilai ketinggalan, ubahlah dengan Perppu baru," tulis Jimly.

 

Dalam konteks ini, Mahfud sebelumnya menyebut keselamatan rakyat menjadi hukum tertinggi di tengah pandemi COVID-19. Sehingga, ia menyebut tidak masalah jika konstitusi dilanggar termasuk jika dilakukan oleh pemerintah.

 

Mahfud menambahkan, pemerintah sudah membuat dua program berbeda yang tertuang dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2020 yakni perang melawan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

 

Menyikapi itu, Jimly mengatakan UU yang dijadikan dasar dalam penanganan COVID-19 tidak menggunakan Pasal 12 dalam UUD 1945. Sehingga situasi saat ini masih dalam keadaan normal dan ia menilai salus populi suprema lex tidak bisa digunakan.

 

"Semua UU yang jadi dasar penanganan COVID seperti UU Bencana 2007, UU Karantina Kesehatan 2018, UU COVID 2020 tidak 1 pun gunakan pintu darurat Pasal 12," kata Jimly.

 

"Artinya yang dipakai harus HTN normal, maka asas "salus populi suprema lex" tidak bisa gunakan fasilitas yang tersedia untuk menyimpang dari UUD," tutup dia. (*)




SANCAnews – Serangkaian kejahatan rasial terhadap orang Asia telah merajalela di Amerika Serikat. Kejahatan tersebut bahkan semakin meningkat menyusul serangan di panti pijat di Atlanta yang menewaskan delapan orang, termasuk 6 diantaranya adalah orang Asia.

 

Sejak saat itu, banyak serangan lainnya dilaporkan telah terjadi di wilayah tersebut. Di sisi lain, pada Rabu (17/3/2021) ada lagi satu serangan terjadi di San Francisco.

 

Dalam video yang dibagikan oleh KPIX 5 News, seorang pria terlihat di atas tandu sementara seorang wanita China lansia terlihat memegang kantong es di wajahnya yang bengkak.

 

Tampak dalam video tersebut, wanita tua itu terdengar meratap dan menunjuk ke pria di tandu dan berkata dalam bahasa Kanton bahwa dia memukulnya.

 

“Pria ini memukulku! Saya baru saja di sini dan dia baru saja meninju saya!" ucapnya dilansir dari World of Buzz, Kamis (18/3/2021).

 

Menurut KPIX 5, wanita tersebut mengatakan bahwa dia sedang bersandar di tiang lampu ketika tiba-tiba, pria bule datang dan meninju dia.

 

Dia bertindak berdasarkan naluri dan membalas dengan memukulnya. Pihak berwenang tiba di tempat kejadian tak lama setelah itu dan memisahkan keduanya. Keduanya kemudian dikirim ke rumah sakit.

 

Petugas San Francisco menyebutkan bahwa ada korban kedua pada pagi yang sama, seorang pria Asia berusia 83 tahun. Seorang pria berusia 39 tahun telah ditangkap untuk membantu penyelidikan dengan dua kasus ini.



https://www.ketv.com/article/75-year-old-chinese-woman-attacked-in-san-francisco-but-fights-off-attacker/35868670#

 


SANCAnews – Seperti yang diketahui, Covid-19 telah menghantui seluruh negara dengan banyaknya korban yang jatuh. Namun, hal tersebut masih menjadi tanda tanya darimana virus itu berasal.

 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kini pun telah menemukan jawaban dari pertanyaan itu. WHO menemukan bahwa peternakan satwa liar di Tiongkok kemungkinan besar menjadi sumber virus SARS CoV 2, yang mengawali pandemi Covid-19.

 

Peternakan satwa liar ini, banyak berdiri di sekitar provinsi Yunnan, Tiongkok Selatan, dan kemungkinan terbesarnya peternakan ini memasok hewan liar tersebut ke pedagang di Pasar Grosir Makanan Laut Huanan Wuhan.

 

Tim WHO yang melakukan perjalanan ke Tiongkok ini menduga, bisa saja hewan liar tersebut tertular virus SARS CoV 2 dari kelelawar yang ada di daerah tersebut.

 

Dilansir dari Live Science, Kamis (18/3/2021), WHO berencana akan merilis temuan secara lengkap dalam beberapa minggu yang akan datang.

 

Pada Januari 2021 lalu, tim ahli WHO melakukan perjalanan ke Tiongkok untuk menyelidiki penyebab pandemi yang menewaskan lebih dari 2,6 juta penduduk dunia ini.

 

Banyak teori konspirasi merebak yang menduga terkait asal usul virus ini, salah satu teori menyebutkan jika virus ini dibuat di laboratorium Wuhan secara sengaja, namun penyidik WHO menepis anggapan itu.

 

Pendapat umum di antara para ilmuwan, yakni virus corona berpindah dari kelelawar ke manusia dan kemungkinan melalui perantara spesies hewan lain.

 

Dan hasilnya hasil investigasi WHO menemukan jika kemungkinan virus ditularkan kelelawar di Tiongkok Selatan ke salah satu hewan peternakan satwa liar, hingga akhirnya berpindah ke manusia.

 

Sementara itu peternakan satwa liar di Tiongkok adalah proyek pemerintah setempat sejak 20 tahun lalu, tujuannya agar penduduk desa terbebas dari kemiskinan dan mengurangi kesenjangan di pedesaan dan di perkotaan.

 

Hal ini dungkap Ahli Ekologi Penyakit WHO Peter Daszak yang melakukan perjalanan ke Wuhan, Tiongkok.

 

"Mereka (penduduk) memburu hewan eksotis, seperti musang, landak, trenggiling, anjing rakun dan tikus bambu, dan mereka membiakkannya di penangkaran," terang Daszak. []


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.