SANCAnews – Kasus dugaan pencemaran nama baik yang menyeret
nama Denny Siregar, seorang influencer pendukung Presiden Joko Widodo,
terkatung-katung di kepolisian. Kepolisian daerah dan pusat saling lempar
kasus.
Semua bermula pada 27 Juni tahun lalu. Lewat halaman
Facebook-nya, Denny mengunggah sebuah tulisan berjudul “Adek2ku Calon Teroris
yg Abang Sayang” dengan foto seorang santri kecil dari Pondok Pesantren Tahfidz
Daarul Ilmu, Tasikmalaya, Jawa Barat. Unggahan yang kini sudah dihapus itu
bikin geger.
Denny dilaporkan ke Polres Tasikmalaya atas dugaan tindak
pidana penghinaan, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan
penggunaan foto tanpa izin. Ia diduga melanggar Pasal 45A ayat 2 dan/atau Pasal
45 ayat 3, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
“Melaporkan kasus pencemaran nama baik dan memfitnah oleh
Denny Siregar. Tuduhan pada santri kami sebagai teroris dan katakan ustaznya
goblok juga predator. Ini pencemaran nama baik pada ustaz dan santri,” kata
Pimpinan Pondok Pesantren Tahfidz Daarul Ilmi Ahmad Ruslan Abdul Gani, 2 Juli
2020.
Kasus dilimpahkan ke Polda Jawa Barat pada 7 Agustus 2020.
Pelimpahan itu dilakukan dengan alasan agar memudahkan pemeriksaan terlapor.
Baik saat ditangai Polres Tasikmalaya maupun Polda Jawa
Barat, Denny urung diperiksa kendati pemeriksaan korban dan terlapor sudah
lengkap.
Pada 9 Maret lalu, Polda Jawa Barat memutuskan akan
melimpahkan kasus ini ke Bareskrim Mabes Polri. Alasannya, karena locus
delicti—lokasi dugaan kasus—“di Jakarta,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus
Polda Jabar, Yaved Duma Parembang. Pelapor tak diberitahu mengenai pelimpahan
kasus itu.
Sepekan berlalu dan pihak Mabes Polri mengaku belum menerima
pelimpahan kasus dari Polda Jawa Barat. “Masih di Polda Jawa Barat,” kata
Karopenmas Divisi Humas Polri Rusdi Hartono saat konferensi pers, Senin
(15/3/2021) lalu.
Wartawan Tirto telah mencoba menghubungi Duma Parembang untuk
minta penjelasan ulang mengenai penanganan kasus ini, namun hingga Rabu
(17/3/2021) siang tak ada jawaban. Telepon tak diangkat, WhatsApp-nya terakhir
dilihat pada Senin (15/3/2021) siang.
Polisi Tak Boleh Tebang Pilih
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic
Studies (ISESS) Bambang Rukminto mempertanyakan mengapa pengusutan kasus Denny
Siregar seperti saling lempar antara pusat dan daerah.
Ia juga mengkritik keras sikap kepolisian yang menurutnya tidak
siap dalam menanggapi laporan warga sipil biasa ini. Bambang membandingkan
dengan kasus seorang warganet pengejek Gibran Rakabumin, anak Presiden Joko
Widodo yang juga Wali Kota Solo, yang langsung ditangkap dan diperingati tanpa
ada aduan dari korban terlebih dahulu. Padahal, apa yang ditulis oleh pemuda
itu hanya “obrolan warung kopi biasa di media sosial.”
“Ini salah satu efek polisi lebih mengejar sensasi daripada
substansi. Akhirnya kelabakan sendiri ketika ada kasus serupa,” kata Bambang
saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu siang.
“Tanpa konsistensi, kepercayaan masyarakat yang seperti apa
yang akan dibangun kepolisian ke depan? Tanpa ada konsistensi, transparansi
yang berkeadilan seperti apa yang akan diciptakan sesuai jargon PRESISI
Kapolri?” tambah Bambang.
Ia mendesak agar kepolisian segera memproses laporan kasus
Denny Siregar dan tidak berusaha tembang pilih kasus.
“Dalam kasus DS, sebaiknya kepolisian tetap memproses
laporan. Bahwa kemudian dalam perjalanannya terjadi mediasi antara pelapor dan
terlapor, itu fungsi sebenarnya dari konsep restorative justice,” kata dia.
Bambang mengingatkan kembali bagaimana Kapolri Listy Sigit
yang mengeluarkan surat edaran mengenai polisi virtual dan upaya restorative
justice saat melakukan penegakan hukum. Namun, kata dia, fakta di lapangan
implementasinya bermacam-macam dan cenderung tidak proporsional. “Ada yang
paham, ada yang tidak.”
Bambang mengatakan ada banyak faktor mengapa polisi kesulitan
mengimplementasikan surat edaran tersebut. Salah satunya mengenai kualitas
anggota Polri, baik perwira sampai tamtama, yang masih jauh dari kompeten
sehingga tidak memahami surat edaran.
Ia juga menilai bahwa surat edaran mengenai polisi virtual
dan upaya restorative justice masih memerlukan petunjuk pelaksaan (juklak) dan
petunjuk teknis (juknis) penerapan agar tidak multitafsir. “Dan juga, tidak
adanya pengawasan secara konkret di internal terkait surat edaran itu.
Akibatnya surat edaran Kapolri tak lebih dari lembaran surat pengumuman saja
tanpa ada arti yang signifikan,” kata dia.
“Yang patut dipertanyakan, selama ini kerja Irwasum itu apa
saja? Kok seolah tak bisa mengawal visi misi Kapolri,” tambahnya.
Ketika ditanya mengenai perkembangan kasusnya, Denny Siregar
minim komentar. Ia hanya berkata telah menyerahkan semua kepada kepada Muannas
Alaidid--pengacara yang pernah membela Abu Bakar Baasyir dan pernah menjadi
caleg dari PSI. “Saya sudah serahkan semua sama Muannas Alaidid,” kata dia saat
dikonfirmasi wartawan Tirto lewat pesan privat Twitter.
Muannas mengatakan bahwa Denny sudah pernah diperiksa oleh
Polda Jawa. Kata dia, hingga saat ini kliennya masih tetap mengikuti proses
hukum yang berlaku. “Denny sudah pernah dipanggil dan datang untuk dimintai
keterangan,” kata Muannas saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (18/3/2021) dini
hari. []