Latest Post

 


SANCAnews – Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo membongkar salah satu rahasia yang belum diungkapkan selama ini. Ternyata dia mengakui jika bertemu dengan Kepala Staf Presiden Jenderal (TNI) Moeldoko di suatu tempat.

 

Pertemuan itu ternyata membahas rencana tentang kongres luar biasa (KLB) Partai Demokrat yang diselenggarakan di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 5 Maret 2021.

 

Pengakuan Gatot ini disampaikan pada salah satu program di televisi yang dipandu oleh Najwa Shihab, Rabu malam.

 

"Saya sama sekali tidak terkejut dengan pemilihan Pak Moeldoko. Karena saya sudah bertemu dengan baliau. Dan apa yang dia sampaikan persis terjadi," ujar Gatot seperti dikutip VIVA, Jumat 12 Maret 2021.

 

Gatot kembali menceritakan proses dirinya diajak untuk kudeta AHY dari kursi ketua umum Partai Demokrat. Saat itu, kata Gatot seseorang datang menawarkan untuk menyelenggarakan KLB.

 

Namun, Gatot menolak mentah-mentah dengan alasan SBY punya jasa dalam karier militernya saat masih aktif di TNI. Begini pernyataan Gatot:

 

Orang ini (yang mengajak kudeta) adalah yang ikut sama-sama bangun partai Demokrat, sama-sama bantu Pak SBY.

 

Pada saat akhir jabatan Pak SBY, beliau lapor ke pak SBY bahwa dia mau keluar dari partai sudah cukup dari luar.

 

Ketika ada info KLB, sudah sampaikan, coba dalami lagi, ketika AHY sampaian kudeta, beliau datangi lagi ke saya menyampaian kalau ini sudah pasti akan terjadi. Dan tidak bisa ditolong lagi maka tolong Pak Gatot ikut KLB

 

Lalu saya tanya bagaimana prosesnya, pertama mosi tak percaya dan menurunkan AHY dan saya jamin Pak Gatot pasti menang

 

Saya sampaikan, bahwa saya harus menurunkan AHY, ini sesuatu yang saya bilang tidak bisa karena saya dari Brigjen, Mayjen itu zamannya Pak SBY kemudian bintang 3 dan jabatan Pangkostad dari SBY hingga jadi KSAD. Jadi tidak mungkin. []


 


SANCAnews – Kudeta terhadap demokrasi di Indonesia sudah terjadi berkali-kali di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Hal itu disampaikan analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menanggapi pengambilalihan Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang melibatkan Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko.

 

Ubedilahpun membeberkan beberapa contoh sikap rezim Jokowi yang mencerminkan mengkudeta demokrasi. Di antaranya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK dan tidak mendengarkan aspirasi rakyat tentang UU Omnibus Law.

 

"Sekelas NU dan Muhammadiyah yang menolak UU Omnibus Law tidak didengar suaranya. Termasuk KAMI atau gerakan-gerakan lainnya itu tidak didengar dan ratusan mahasiswa demo menolak juga tidak didengar. Saya kira ini satu bencana demokrasi dan fakta kudeta demokrasi," kata Ubedilah dalam acara Sarasehan Kebangsaan ke-41 yang diselenggarakan DN-PIM bertajuk 'Menyoal KLB Partai Demokrat yang Beraroma Kudeta', Kamis (11/3).

 

Namun, hal itu ditambah dengan upaya pengambilalihan kepemimpinan Demokrat yang melibatkan KSP Moeldoko.

 

"Ini memperkuat satu analisis, sesungguhnya rezim ini melakukan kudeta demokrasi. Merusak tatanan demokrasi, dan kemudian membuat demokrasi menjadi tidak sehat," jelas Ubedilah.

 

Masih kata Ubedilah, berdasarkan studi tentang demokrasi, dinamika politik, partai, banyaknya kasus yang terjadi dianggap bahwa rezim sudah tidak layak dilanjutkan dalam tata kelola negara.

 

"Dengan sekian banyak kasus yang tadi saya sebutkan, dari kasus korupsi, kasus kudeta demokrasi yang berkali-kali itu, maka sesungguhnya rezim ini sudah tidak layak sebagian dilanjutkan dalam konteks tata kelola negara," tegas Ubedilah.

 

Untuk kasus Demokrat, bila berlanjut hingga ke meja hijau, maka sama saja mempertontonkan satu kejahatan demokrasi.

 

"Ini yang membuat pikiran publik sedih ketika generasi milenial mengatakan, 'ya penguasa buruk, partai-partai ini enggak ada gunanya'. Karena tidak memberi contoh terbaik dalam mengelola negara dalam mengelola politik misalnya," tandas Ubedilah. (rmol)


 


SANCAnews – Peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga tampaknya cocok untuk menggambarkan kondisi Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko.

 

Di mana mantan Panglima TNI itu baru saja dinobatkan sebagai ketua umum Partai Demokrat oleh sekelompok mengatasnamakan kader Partai Demokrat yang menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) sepihak di Sibolangit, Deliserdang.

 

Moeldoko dinilai telah rugi secara materi maupun harga diri karena telah menyatakan kemauan untuk diangkat sebagai ketua umum abal-abal.

 

Apalagi setelah Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa AD/ART Partai Demokrat yang diakui pemerintah tahun 2020. Sementara KLB di Deliserdang menggunakan AD/ART 2005.

 

"Akibatnya Moeldoko rugi karena telah keluar uang banyak. Harga diri dipertaruhkan. Dan mencoreng muka Jokowi dan akhirnya dipecat?" ujar pengamat politik, Muslim Arbi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (12/3).

 

Menurutnya, faktor-faktor ini tidak dipertimbangkan secara masak oleh Moeldoko ketika menyatakan kemauan saat didapuk mengambil alih Demokrat.

 

"Ini tentunya sangat memalukan. Kenapa tidak bikin partai saja? Lebih elegan dan tidak merampas partai orang," pungkas Muslim. []


 


SANCAnews – Kubu Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang mengklaim kantor DPP versi KLB terletak di Jalan Pemuda Nomor 712 Rawamangun, Jakarta Timur.

 

Tempat yang disebut sebagai tempat bersejarah itu membawa Ketua Majelis Tinggi PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden Republik Indonesia untuk dua periode.

 

"Kantor DPP Partai Demokrat berada di Jalan Pemuda Nomor 712 Rawamangun, Jakarta Timur," kata, Penggagas KLB PD versi KLB, Darmizal, dalam konferensi pers, di Jalan Terusan Lembang D54, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/3/2021).

 

"Tempat yang sangat bersejarah bagi Partai Demokrat dan tentu saja bagi bangsa Indonesia di mana dari tempat itulah SBY diantarkan selama dua periode menjadi Presiden Republik Indonesia selama dua periode. Tempat itu dipinjamkan oleh Bapak Jhoni Allen Marbun, yang hari ini menjadi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat," lanjutnya.

 

Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng, menjelaskan asal usul tempat tersebut. Andi mengungkap kalau tempat itu milik Jhoni Allen Marbun.

 

"Oh iya, yang di Jalan Pemuda itu memang tempatnya punya Jhoni Allen kalau nggak salah," kata Andi kepada wartawan, Kamis (11/3/2021).

 

Menurut Andi, gedung DPP Demokrat di kawasan Rawamangun itu memang sempat menjadi kantor DPP Demokrat pada masa kepemimpinan Ketum PD Hadi Utomo. Saat itu, kata Andi, gedung tersebut masih disewa untuk dijadikan kantor DPP Demokrat.

 

"Kan waktu itu kalau nggak salah disewa atau gimana. Yang waktu itu kepemimpinannya siapa ya waktu itu ya. Pak Hadi Utomo bukan ya, atau Pak Subur (Ketua Umum Partai Demokrat, Subur Budhisantoso) bukan ya. Jadi itu saya kan tidak, saya tidak tahu tuh, tapi setahu saya sewa atau gimana waktu itu," ungkapnya.

 

"Kalau tidak salah (terakhir dipakai jadi DPP Demokrat zaman) Pak Hadi Utomo awal-awal barangkali, ya," ujarnya.

 

Andi mengatakan DPP Demokrat tidak melanjutkan sewa gedung di Rawamangun karena sudah habis kontrak. Namun ia tidak mengetahui detail keputusan tersebut.

 

"Kan nyewa, udah abis kontraknya. Tapi kan yang menentukan Ketua Umum waktu itu," ujarnya.

 

Lebih jauh Andi menjelaskan kantor DPP Demokrat sempat pindah ke kawasan di Jalan Kramat, Jakarta Pusat, pada masa kepemimpinan Ketum Anas Urbaningrum. Saat itu, dikatakannya, gedung kantor DPP Demokrat juga masih menyewa dari Menteri Perumahan Rakyat Indonesia ke-7 periode 2011-2014, Djan Faridz.

 

"Waktu Pak Anas itu pindah di Jalan Kramat apa ya, tempatnya. Waktu itu nyewa juga. Nyewa juga gedungnya. Milik Djan Faridz," ungkapnya.

 

Setelah kontrak itu selesai, DPP Demokrat membeli gedung kantor sendiri di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. "Ya ini punya sendiri kan. Nggak nyewa-nyewa lagi. Dari dulu nyewa-nyewa terus DPP," ujar Andi.

 

Kondisi kantor yang akan dijadikan DPP versi KLB 

Pantauan detikcom di lokasi, Kamis (11/3/2021) pukul 15.30 WIB, tak ada lagi logo dan tulisan DPP Partai Demokrat. Dari luar, terlihat ada sejumlah pekerjaan renovasi.

 

Beberapa tukang bangunan terlihat sedang bekerja. Ada tumpukan kayu, plafon, serta tripleks bekas yang ditumpuk. Kaca jendela terlihat pecah dan belum diganti dengan yang baru.

 

Seorang pria yang mengaku sebagai pelaksana renovasi gedung menyebut bangunan itu sudah kosong selama lima tahun. "Sudah kosong lima tahun terakhir," kata pria bernama Fadil itu ketika ditemui di lokasi.

 

Dia mengatakan renovasi baru berjalan sepekan. Fadil mengaku belum mengetahui nantinya gedung tersebut akan difungsikan untuk apa.

 

"Ini renovasi baru semingguan, tapi saya belum tahu nantinya ini akan dijadikan apa. Saya hanya ditugasin untuk renovasi gedung ini saja," ujar Fadil. []


 


SANCAnews – Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 anggota FPI Laskar menduga ada eksekutor lain dalam peristiwa di Jalan Tol Km 50 Cikampek, 7 Desember 2020. Baku tembak yang terjadi dan selongsong peluru di TKP kemungkinan besar bukan hanya milik polisi dan anggota laskar tetapi juga pihak lain.

 

Hal itu, menurut Ketua TP3 Abdullah Hehamahua, berdasarkan keterangan sejumlah saksi mata yang ditemukan di sekitarnya, Jumat (12/3/2021).

 

"Harus diperhatikan bahwa pada sore hari, 6 Desember, di kilometer 50 ada orang berpakaian hitam membawa senjata laras panjang. Ini siapa?" kata Abdullah Hehamahua kepada tim Blak-blakan detikcom, Kamis (11/3/2021).

 

Komnas HAM menyebut ada adu tembak pada 7 Desember, tapi bagaimana mereka tahu bahwa selongsong peluru itu milik polisi dan FPI?

 

Abdullah Hehamahua merujuk pengalamannya selama di KPK. Pada 2009, kata dia, Ketua KPK Antasari Azhar menjadi tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjara Nasrudin Zulkarnain. Ternyata di persidangan terungkap tersangka eksekutor yang disewa gagal menunaikan tugas karena pistol macet. Tapi Nasrudin tetap tewas dengan peluru di bagian kepala.

 

"Jadi peluru yang mengenai korban adalah dari sniper, jarak jauh. Kalau bukan ahlinya tak mungkin tertembak karena mobil sedang bergerak. Jadi, kenapa Komnas HAM tidak mengambil pelajaran dari kasus tersebut, bahwa peluru itu bisa punya polisi, FPI, tapi juga bisa punya kelompok lain,?" papar Abdullah Hehamahua yang menjadi penasihat KPK pada 2005-2013.

 

Pada bagian lain, Abdullah juga menilai ada kejanggalan dari polisi di lapangan yang tidak memborgol empat anggota laskar. Akibatnya mereka disebut merampas senjata dan polisi lalu menghabisinya sebagai pembelaan diri.

 

Keanehan lain, polisi melakukan pembongkaran dan pembersihan lokasi kejadian. Padahal di situ ada banyak barang bukti yang semestinya dijaga hingga kasus benar-benar berkekuatan hukum tetap.

 

"Kenapa dibongkar habis? Itu barang bukti yang menurut KUHAP harus dijaga. Terus orang-orang di sekitar lokasi diambil hp-nya lalu dihapus rekaman (foto/video) di dalamnya," kata Abdullah Hehamahua. [*]


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.